Koreksi Pendapat Pakar Hukum soal Tanah Rempang, Chandra Singgung Putusan MK

Senin, 25 September 2023 – 21:35 WIB
Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan (tengah) soal tanah Pulau Rempang. Foto: tangkapan layar YouTube.

jpnn.com, JAKARTA - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menyampaikan legal opini guna mengoreksi pendapat pakar hukum pertanahan Dr. Ir. Tjahjo Arianto S.H., MHum terkait tanah Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (kepri).

Chandra juga mengutip pernyataan Tjahjo Arianto yang menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan bukan tanah adat.

BACA JUGA: Pakar Hukum: Pulau Rempang Kawasan Hutan, Bukan Tanah Adat

"Pertama, bahwa perlu diketahui tanah adat adalah mereka menggarap tanah itu turun-temurun, tinggal di situ turun-temurun, sedangkan Suku Melayu telah menempati sejak ratusan tahun yang lalu secara genealogis dan teritorial," ujar Chandra, dikutip dari keterangannya, Senin (25/9).

Pendapat itu disampaikannya merujuk pada data dari sejumlah literatur yang terlampir berikut ini;

BACA JUGA: Dari 900 KK, Pemerintah Klaim 300 KK di Pulau Rempang Sudah Rela Direlokasi

1. Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, "Tuhfat al-Nafis". Edited by Virginia Matheson. (Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti, 1997);

2. Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, "Tuhfat al-Nafis Naskhah Terengganu", Rewritted by 'Alawi from Karimun Archipelagos. (Kuala Terengganu: The House of Tengku Ismail, 1991);

BACA JUGA: Pernyataan Bahlil soal Rempang Eco City: Ini Kami Mau Merebut Investasi

3. "Furu' al-Ma'mur: Inilah satu Undang-Undang Qanun yang terpakai oleh Kepala-kepala yang besar. pangkat kecil dan besar yang menjaga negeri dalam Kerajaan Riau dan takluk adanya". Alih aksara Hasan Junus. (Pekanbaru: Pusat Pengembangan Bahasa dan Kebudayaan Melayu Universitas Riau, 1996);

4. Aswandi Syahri, "Melacak Kembali Hari Jadi Batam: Raja Isa dan Jejak Awal Sejarah Pemerintahan di Pulau Batam (1829-1913)". Lampiran dalam Perda Kota Batam No. 4 Tahun 2009 Tentang Hari Jadi Kota Batam;

5. Cynthia Chou and Vivienne Wee, "Tribality and Globalization: The Orang Suku Laut and the 'Growth Triangle' in a Conntested Environment". Dalam Geoffrey Benjamin and Cynthia Chou (ed.), Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural, and Social Perspectives. (Singapore: IIAS and ISEAS, tt).;

6. Jan van der Putten, "His Word is the Truth: Haji Ibrahim's Letters and Other Writtings". (Leiden: Research School of Asian, African, and Amerindian Studies, 2001).

Kedua, kata Chandra, perlu diketahui bahwa peraturan perundang-undangan tentang hutan baru ada setelah Republik Indonesia berdiri. Maka, secara  geneologis mereka (yang menempati Pulau Rempang sebelum itu) lebih berhak.

Chandra menjelaskan bahwa konflik agraria terjadi disebabkan karena adanya legal pluralisme antara pemerintah dan masyarakat.

"Legal pruralism merupakan situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial," tuturnya.

Di Indonesia, lanjutnya, hukum negara dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dalam pengelolaan sumber daya alam dibandingkan hukum adat.

"Sering kali negara mengambil kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut," ucapnya.

Ketiga, merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, menegaskan bahwa hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan milik negara dan pemerintah. Masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam, termasuk atas hutan adat.

"Pengakuan terhadap hak-hak ini, merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi yang melekat pada masyarakat adat dan dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Agraria No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria," terang Chandra.

Keempat, katanya, bahwa ditinjau secara geopolitik, letak Batam sangat strategis berada di Selat Malaka, pintu gerbang orang-orang asing masuk ke wilayah Indonesia, dekat dengan Singapura dan Laut Natuna (Laut Cina Selatan) yang sedang konflik antara Negara China, Amerika Serikat, dan berbagai negara.

"Semestinya pulau yang berada di garis terdepan tersebut diperkuat, bukan sebaliknya diberikan kepada investor asing. Jika tidak diperkuat, 'NKRI harga mati' hanya sebatas slogan yang tunduk kepada kepentingan investor," kata Chandra.(fat/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler