jpnn.com - MESKI berlabel republik, sebutan negeri diktator tidak lepas dari Korea Utara (Korut). Namun, mereka juga memiliki pemilihan umum (pemilu) karena republik. Meski namanya pemilu, itu ya pemilu-pemiluan.
Dengan jumlah angka kehadiran pemilih yang mencapai 99.98 persen, kandidat untuk mengisi kursi parlemen telah dipilih sebelum pelaksanaan pemilu. Berlangsung pada awal Minggu (9/3), parlemen memilih presiden mereka sebulan kemudian, tepatnya Rabu (9/4). Pilihan mereka sudah pasti jatuh pada Kim Jong un.
BACA JUGA: Pria Beristri 39 dan Bercucu 127 Jadi Incaran Para Caleg
''Terpilihnya'' Kim sebagai presiden dilakukan pada sesi pertama sidang ke-13 Dewan Rakyat. Kim yang juga menjadi pemimpin militer Korut mendapat sambutan meriah dari anggota parlemen.
Bagi warga Korut, pemilu tersebut merupakan topeng dari sensus tidak resmi. “Sudah pasti kami tidak melakukan apa pun yang 'diharamkan'. Misalnya, tidak memilih calon yang ada di dalam kertas suara atau mencoret nama-nama yang tidak kami sukai,” ujar seorang pelarian Korut, Mina Yoon.
BACA JUGA: Barbie Hidup Umbar Foto tanpa Make-Up
Mina menyatakan, inti pemilu tersebut sebenarnya sensus. “Jika ada di dalam negeri, sudah pasti kami akan datang memilih. Mereka yang tidak datang dalam pemilu umumnya yang memilih bermigrasi,” jelas Mina.
Memang, banyak warga Korut yang mencari suaka ke negara lain. Sebagian besar di antaranya memilih jalur tidak resmi. Misalnya, menyelundup masuk ke negeri tetangga. Salah satu yang sering jadi rujukan adalah Tiongkok. Sebab, Tiongkok berbatasan langsung dengan Korut.
BACA JUGA: Kepulauan Solomon Diguncang Gempa 7,6 Skala Richter
“Pemerintah memiliki daftar pemilih. Jika nama Anda tidak ada atau ada nama Anda tetapi Anda tidak ada, mereka akan melakukan penyelidikan,” ungkapnya kepada harian The Telegraph. “Saat pemilu itu, pemerintah akan mengetahui siapa saja yang sudah melarikan diri dari Korut,” tambah Mina.
Andrei Lankov, ahli Korut dari Universitas Kookmin di Seoul, Korea Selatan, menyatakan bahwa tujuan utama pemilu Korut adalah melegitimasi rezim yang sudah ada. “Memang, ini analogi yang salah. Tidak semestinya kita membandingkan pemimpin negara dengan Hitler. Tetapi, Hitler pun punya pemilu,” kata Lankov. Yang resmi, Korut merupakan negara republik dan republik seharusnya melakukan pemilu.
Lankov menuturkan, dengan mendapatkan suara 99 persen, masyarakat berarti memilih pemimpin yang sudah ada. “Ini legitimasi. Legitimasi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka merupakan pemerintahan yang paling populer di dunia,” paparnya. (CNN/Channel News/c15/tia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Militan Rusia Kuasai Markas Polisi di Ukraina Timur
Redaktur : Tim Redaksi