KPA Beber Permainan PT Sawita Ledong Jaya

Jumat, 27 Juli 2012 – 04:45 WIB

JAKARTA - Perwakilan Kelompok Tani Karya Lestari dan Penghijauan, Desa Sukarame, Kecamatan Kualuh Hulu, Labuhanbatu Utara (Labura), Sumut, yakni Tumino (40) dan Efendi Marpaung (36), terus roaw show ke sejumlah instansi di Jakarta untuk memperjuangkan nasibnya.

Setelah bertemu dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan Senin (237), kemarin mereka mendatangi Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Mereka melaporkan kembali persoalan lahan garapan mereka yang terus saja diganggu oleh security, preman bahkan aparat keamanan.

"Pondokan dan rambong (karet) kami dibakar, tapi setiap laporan kami selalu saja mentok," ujar Tumino kepada wartawan usai menyampaikan laporan ke Mabes Polri.

Di Mabes Polri, dua warga ini melaporkan tindakan Kepolisian Resort Labuhan Batu Utara kepala Divisi Propam Mabes Polri. Dasarnya, masyarakat menilai bahwa segala laporan warga tentang perilaku perusahaan sawit ini tidak pernah ditindaklanjuti.

Sementara, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang intens mengadvokasi korban konflik lahan, kemarin membeber "permainan" PT Sawita Ledong Jaya, yang bermasalah dengan petani setempat.

Deputi Sekjen KPA Iwan Nurdin kepada JPNN menyebutkan, bedah kasus yang diselenggarakan di KPA menemukan banyak sekali fakta yang melanggar hukum,  sebelum dan sesudah keberadaan perkebunan Sawita Ledong Jaya.

Pertama, Izin Prinsip PT Sawita Ledong Jaya yang ditandatangani oleh Bupati Labuhan Batu pada tahun 1996 berada dalam Kawasan Hutan Lindung register 4/KL. Atas dasar izin prinsip tersebut, dan didukung oleh surat dari BPN Labuhan Batu, Gubsu, Dirjen Perkebunan dan lain-lain,  perusahaan melakukan pembukaan lahan.

Kedua, lanjut Iwan, karena perusahaan tidak pernah mengajukan surat pelepasan kawasan hutan, Badan Planologi Kehutanan memberikan surat kepada Bupati Labuhan Batu yang mengingatkan bahwa pembukaan hutan tanpa didahului oleh pelepasan kawasan hutan adalah tindak pidana yang diatur dalam pasal 50 jo 78 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Surat tersebut dilayangkan oleh Badan Planologi 21 April 2005.

"Namun surat tersebut datang terlambat, sebab pembukaan lahan telah usai, bahkan kebun dan lahan garapan masyarakat dengan semena-mena ikut digusur," ujar Iwan.

Ketiga, pada tahun 2006, meski telah dijelaskan sebagai kawasan hutan lindung, terdapat dokumen jual beli lahan di kawasan hutan lindung tersebut yang ditandatangi oleh oknum pemerintah daerah dan politisi lokal. "Saya memperkirakan, bahwa dokumen jual beli ini untuk digunakan sebagai proses mendaftarkan HGU perusahaan kepada BPN dengan mengabaikan bahwa lokasi tersebut adalah kawasan hutan lindung," terangnya.

Keempat, dilakukan penentuan titik koordinat, pemetaan dan pengukuran yang dilakukan oleh Polda Sumut dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan yang menyimpulkan bahwa Sawita berada di dalam kawasan hutan produksi dan konservasi.

Iwan menyatakan, masyarakat yang tergusur meminta agar diberi perlindungan hukum dan perlindungan garapan melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKM) namun sampai sekarang pemerintah daerah belum memberikan lampu hijau dan membiarkan aktivitas perusahaan sawit. "Saya menyayangkan fakta-fakta yang terang benderang tersebut belum menyerat pihak yang terlibat dalam kasus hukum," tegas Iwan.

Dia juga menyesalkan sikap pemda, yang seharusnya bisa memfasilitasi HKM untuk menjamin hak warga negara atas pengelolaan hutan."Padahal, pemerintah daerah dapat melakukan verifikasi warga, validasi kependudukan dan pemetaan areal yang diusulkan dan mengajukannya kepada Menteri Kehutanan. Sehingga bentrok yang memakan korban tidak akan terjadi," pungkas Iwan. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merak Kembali Macet


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler