KPAI: Orang Tua Kena PHK, Anak Putus Sekolah, Pernikahan Dini Makin Marak

Rabu, 17 Februari 2021 – 14:13 WIB
Ilustrasi pernikahan. Foto: Dokumen JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan, pandemi Covid-19 dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) memicu peningkatan pernikahan anak.

Anak-anak yang putus sekolah karena orang tuanya terdampak pandemi, akhirnya menjalani pernikahan dini.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Langkah Bu Risma Melambat, Juliari dan Edhy Pantas Dihukum Mati, Ancaman Novel Bamukmin

"Kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar dari rumah (BDR) atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah kemudian menikah dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orang tua kena PHK," jelas Retno di Jakarta, Rabu (17/2). 

Ketika anak menikah atau bekerja, otomatis mereka berhenti sekolah. Saat KPAI melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di masa pandemi pada 8 provinsi (seluruh provinsi di Pulau Jawa ditambah Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu), ternyata beberapa kepala sekolah menyampaikan ada peserta didiknya yang putus sekolah.

BACA JUGA: Materi Roasting Singgung Betrand Peto, Ridwan Remin Dipanggil KPAI

Penyebabnya beragam, misalnya tidak memiliki alat daring. Kalau pun punya, mereka tidak mampu membeli kuota internet,  sehingga anak-anak tersebut selama berbulan-bulan tidak mengikuti PJJ, dan akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah.

 “Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun”, ujar Retno.

BACA JUGA: Hasil Survei: Ada Anak yang Setuju Pernikahan Dini untuk Menghindari Zina

Pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah orang tua peserta didik, berawal dari tidak munculnya anak-anak tersebut saat PJJ berlangsung dan tidak pernah lagi mengumpulkan tugas.

Saat didatangi wali kelas dan guru bimbingan konseling, sekolah baru mengetahui bahwa siswa yang bersangkutan mau menikah, atau sudah menikah, atau sudah bekerja. 

Retno menceritakan kisah inspiratif di Kabupaten Bima dan  Lombok Barat (NTB), di mana pihak sekolah berhasil membujuk siswa dan orang tua untuk melanjutkan pendidikan yang tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan.

"Usaha para guru tersebut patut diapresiasi,” ucap Retno. 

Dari data diperoleh jenis pekerjaan para siswa umumnya pekerjaan informal seperti tukang parkir, kerja dicucian motor, bekerja di bengkel motor, di percetakan, berjualan bensin di rumah, asisten rumah tangga (ART).

Ada juga yang membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak mampu lagi membayar karyawan. 

“Bahkan, pada salah satu SMK swasta di Jakarta yang mayoritas siswanya memang dari keluarga tidak mampu, rata-rata per kelas ada 4 siswa bekerja,” ungkap Retno.  

Namun, mereka diberikan kesempatan untuk menyusulkan tugas-tugasnya. Kalau soal bayaran sekolah (SPP) tidak ada masalah, karena di DKI Jakarta mereka mendapatkan KJP Plus (Kartu Jakarta Pintar Plus) untuk pembiayaan pendidikannya. Sedangkan daerah lain belum tentu dibiayai pemerintah daerah, terutama untuk jenjang SMA/SMK. 

"Aktivitas belajar di rumah tanpa pengawasan orang tua akan berpotensi mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Ini terjadi bila pengawasan orang tua terhadap anaknya sangat lemah," tutur Retno. 

Ditambahkan Retno, tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini. (esy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler