jpnn.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI protes sanksi salat yang dijatuhkan pihak sekolah terhadap siswa SMP di Gresik yang merokok dalam kelas dan menantang guru yang menegurnya.
BACA JUGA : Ryan Si Siswa Penantang Guru Disanksi Salat Zuhur Berjemaah
BACA JUGA: Ryan Si Siswa Penantang Guru Disanksi Salat Zuhur Berjemaah
Komisioner KPAI Retno Listyarti menyayangkan sanksi yang dianggap tidak memberikan efek jera dan bisa menjadi preseden buruk bagi kasus-kasus serupa di masa mendatang.
"Dari keterangan kepala sekolah diinfokan bahwa siswa pelaku dijatuhi sanksi berupa 'wajib salat berjemaah selama tiga hari berturut-turut," ucap Retno dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa (12/2).
BACA JUGA: Dampak Negatif Jika Freeport Bangun Smelter di Gresik
Sanksi semacam menurutnya niatnya baik, yaitu untuk mendidik agama siswa yang melakukan pelanggaran. Namun, hukuman salat akan menimbulkan salah persepsi anak terkait makna salat itu sendiri.
"Salat yang semestinya dilakukan dengan kesadaran sebagai cermin ketaatan manusia kepada Tuhannya akan diartikan si anak sebagai hukuman. Orang yang melakukan salat bisa dipersepsikan sedang dihukum. Ini jelas menyalahi makna dan kekhidmatan salat itu sendiri," tutur Retno.
BACA JUGA: Asyik Warga Gresik Punya Mal Baru
Ketika KPAI menanyakan kepada kepala sekolah, apakah sanksi semacam itu ada dalam aturan sekolah? Ternyata jawabannya tidak ada. Sanksi dalam aturan sekolah untuk siswa yang melawan guru adalah melakukan push-up sebanyak 20 kali.
"Hukuman fisik semacam push-up dan sit-up jika tidak dilakukan dengan tepat malah akan berpotensi menimbulkan cedera pada anak," tegasnya.
Untuk kasus siswa yang merokok di kelas dan menantang guru, kata Retno, seharusnya tidak selesai begitu saja setelah adanya perdamaian dan saling memaafkan. Namun, sekolah wajib memberikan sanksi terhadap siswa sesuai dengan kadar kesalahannya.
Disiplin positif bisa dilakukan, misalnya dengan memberikan skorsing bagi siswa tersebut selama 2 minggu. Selama menjalani sanksi, siswa itu juga diwajibkan untuk melakukan assesment psikologis didampingi orangtua siswa ke P2TP2A setempat.
"Jika dalam assessmen dibutuhkan terapi psikologis untuk meredakan sikap agresifnya maka siswa dan orangtua wajib menjalaninya hingga tuntas," tambah Retno.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ziarah di Makam Wali, Sandi Amati Geliat Ekonomi
Redaktur & Reporter : Natalia