jpnn.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak pengaduan terkait Ujian Nasional (UN) 2019. Saat ini hampir seluruh siswa SMA/SMK di seluruh Indonesia sudah melaksanakan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) dan pada 25-28 Maret 2019 pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagi siswa SMK. Selanjutnya tanggal 1, 2, 4 dan 8 April 2019 bagi siswa SMA/MA.
Sementara UN tinggal menghitung hari. Namun sampai hari ini ada ratusan anak terancam tidak bisa mengikuti USBN dan UN 2019 dengan berbagai sebab.
BACA JUGA: Capek - capek Belajar untuk Ujian Nasional, Nilai enggak Dipakai
Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan, ada berbagai kasus yang menyebabkan anak-anak terancam tidak bisa mengikuti USBN dan UN, yaitu:
1. Kurang lebih 200-an dari 600 lebih pelajar SD hingga SMA/SMK dari berbagai kampung dan distrik di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua terancam tidak bisa mengikuti UN. Ratusan anak atau pelajar asal Nduga itu kini berada di tenda-tenda darurat di halaman gereja Kingmi, Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya. Mereka merupakan bagian dari 2.000 lebih pengungsi dari Nduga, imbas dari kekerasan awal Desember 2018.
BACA JUGA: Sandiaga: UN Bagian Pemborosan Tidak Berkeadilan
"Mereka berada di Napua karena mengikuti orang tua yang mengungsi. Selain itu ada juga 80-an guru yang juga dari Nduga bersama mereka. Pelajar asal Nduga tersebut menginginkan mengikuti UN di ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Wamena dan tidak ingin ujian di Kenyam, Kabupaten Nduga. Sejak peristiwa kekerasan tersebut, anak-anak bersekolah di sekolah darurat," tutur Retno dalam pernyataan resminya, Senin (18/3).
Meski pada Februari 2019,wakil bupati (wabup) Nduga Wentius Nimiangge mengklaim kondisi keamanan di beberapa wilayah, khususnya ibu kota kabupaten setempat sudah berangsur kondusif, dengan roda pemerintahan dan pendidikan yang mulai berjalan normal, tapi para pengungsi masih takut dan mengkhawtirkan keselamatan keluarganya, terutama anak-anak.
BACA JUGA: HNW Yakin Penghapusan Ujian Nasional Jawab Keluhan Masyarakat
2. Anak-anak yang berada di berbagai daerah bencana karena banjir/banjir bandang, longsor, gempa dan lain-lain di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya Lombok Timur dan Lombok Utara (NTB) masih terus diguncang gempa dengan magnitudo yang lumayan besar, yaitu 5.2 SR yang terjadi pada Minggu, 17 Maret 2019, pukul 15.07 Wita. KPAI meminta pemerintah memastikan hak anak-anak di wilayah terdampak gempa untuk mengikuti USBN maupun UN meski dengan kondisi darurat atau dalam pemulihan akibat bencana.
KPAI berulangkali mengingatkan Kemendikbud RI dan Kemenag RI, bahwa anak-anak yang terpaksa harus bersekolah di sekolah darurat, maka saat USBN maupun UN, materi soalnya harus menyesuaikan atau mempertimbangkan kondisi mereka, karena anak-anak yang berada di sekolah-sekolah darurat umumnya tidak dapat maksimal mengikuti proses pembelajaran dibandingkan dengan siswa lain yang sekolah tidak berada di lokasi bencana.
Selain itu, banjir bandang yang terjadi di Sentani, Papua yang baru saja terjadi, harus dipikirkan cara mengantisipasi agar anak-anak di wilayah bencana tersebut tetap bisa mengikuti USBN dan UN yang pelaksanaannya tinggal menghitung hari.
3. Anak-anak yang memiliki permasalahan tertentu, kemudian dikeluarkan oleh pihak sekolah tanpa mempertimbangkan hak anak untuk tetap bisa difasilitasi ujiannya, misalnya :
a. Kasus siswa dan siswi MAN di Depok pada sekolah berbasis agama (dibawah Kemenag RI), yang dianggap melakukan perbuatan asusila langsung dikeluarkan padahal keduanya sudah kelas XII, 2 bulan sebelum USBN dan UN, tanpa diberi solusi menyelesaikan pendidikannya.
b. Kasus siswa SMA di Jakarta dan di Bogor yang dikeluarkan karena diduga melakukan perkelahian dan harus berhadapan dengan hukum, juga dikeluarkan meski sudah kelas XII.
c. Kasus siswa dan siswi MAN di Padangsidempuan yang merupakan sekolah di bawah Kemenag RI dimana keduanya juga dianggap berbuat asusila dan langsung dikeluarkan tanpa diberi kesmpatan mengikuti ujian, termasuk yang anak laki-laki.
d. Kasus siswa berinisal A dari SMAN di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau yang diduga kuat melakukan kekerasan terhadap kepala sekolahnya di lingkungan sekolah saat sedang USBN terpaksa harus berhadapan dengan hukum, KPAI berharap pihak kepolisan menindaklanjuti pelaporan setelah UN SMA selesai dilaksanakan pada awal April 2019 sehingga ananda tetap bisa mengikuti UN.
Perbuatan A dipicu oleh tunggakan uang sekolah sebesar Rp740 ribu, tapi waktu itu uang yang ada cuma Rp500 ribu. Lantaran sekolah mewajibkan harus lunas hari itu juga, akhirnya ibunda A mencari pinjaman. Akan tetapi, A yang sudah di dalam kelas untuk ujian, justru disuruh keluar oleh guru bernama Y dengan alasan belum melunasi .tunggakan uang sekolah dan iuran OSIS lunas sampai bulan Juni.
KPAI mengecam tindakan pihak sekolah yang jelas melanggar hak anak. Padahal terkait uang SPP itu adalah tanggungjawab orangtua, bukan ananda A. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan nilai moral seharusnya tetap menjamin hak ananda A mengkuti ujian sebagai pemenuhan hak atas pendidikan.
"Yang dilakukan SMAN 2 Rakit Kulim dengan sangat jelas melanggar hak-hak anak, dan kasus semacam ini seringkali terjadi di berbagai sekolah di Indonesia, terutama sekolah swasta, tapi ini sekolah negeri milik pemerintah. Pemerintah wajib memenuhi hak atas pendidikan anak-anak di wilayahnya," tandasnya.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 1,4 Juta Siswa Siap Ikut Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional
Redaktur : Tim Redaksi