jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir curhat mengenai dampak dari kenaikan iuran BPJS tahun 2020, yang sangat memberatkan bagi pasien cuci darah.
Berbagai persoalan yang mendera pasien cuci darah disampaikan Tony dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (17/9). Tony hadir bersama Sekjen KPCDI Petrus Hariyanto dan tiga pengurus lain yakni Supratman, Bayu dan Susanto.
BACA JUGA: Komunitas Pasien Cuci Darah Bakal Lawan Keputusan Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan
Tony mengawali paparannya dengan menyodorkan data tentang perubahan status kepesertaan BPJS Kesehatan akibat kenaikan iuran. Salah satunya jumlah peserta non aktif (peserta iuran mandiri) dari 31 Desember 2019 sampai dengan 29 Februari 2020, meningkat 1.374.079 orang.
Akibatnya, tunggakan iuran peserta mandiri mencapai Rp 12,33 triliun. Bahkan banyak peserta mandiri yang menurunkan kelas pelayanan yang diikuti. "Terjadi penurunan dari kelas satu ke kelas tiga sebanyak 854.349 orang, dan kelas dua sebanyak 1.201.232 orang,” ungkap Tony.
BACA JUGA: Pasien Cuci Darah Tak Dapat Obat, KPCDI Protes ke Kemenkes
Agenda utama RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Komisi IX DPR Sri Rahayu itu adalah meminta usulan kepada KPCDI terkait program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tony pun menyatakan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat memberatkan bagi pasien cuci darah. Apalagi banyak dari mereka dari keluarga tidak mampu.
BACA JUGA: Ini Pemicu Komunitas Pasien Cuci Darah Somasi BPJS Kesehatan
“Ini contoh pasien cuci darah seorang pemulung namanya Rosida dari Tangerang. Hanya dia yang PBI, sementara suami dan satu anaknya harus menjadi peserta mandiri. Padahal ini masih dalam satu kartu keluarga,” kata Tony.
Begitu juga yang dialami seorang pasien di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Imelda Kristina Pijor. Dia harus dibantu oleh pengurus KPCDI Cabang Kupang untuk membayar iuran BPJS.
"Caranya dengan mengumpulkan sampah untuk dijual ke bank sampah. Uangnya digunakan untuk membantu pasien yang kesulitan membayar iuran BPJS dan ongkos ke rumah sakit,” ungkapnya.
Selain persoalan iuran BPJS Kesehatan, KPCDI juga meminta jangan lagi ada diskriminasi tarif antara rumah sakit tipe A dan B dengan tipe C dan D untuk layanan Hemodialisa, termasuk hak atas obat.
Akibat kebijakan yang diskriminatif ini pasien yang hemodialisa di tipe C dan D masih harus mengeluarkan uang karena banyak komponen obat yang tidak diterima.
"Hal itu menyebabkan banyak pasien harus transfusi darah karena HB-nya turun disebabkan obat untuk meningkatkan sel darah merah tidak dijamin. Tragisnya, mereka terkena penularan hepatitis C," sebut Tony.
"Sekitar 60 persen pasien cuci darah terpapar hepatitis c setelah menjalani hemodialisa. Iuran sekarang sudah naik, tidak ada lagi cerita obat tak dijamin,” pintanya.
Dalam rangka menghemat biaya BPJS Kesehatan, KPCDI mengusulkan terapi utama berdasarkan cost effective dan kualitas hidup bagi pasien gagal ginjal dengan transplantasi ginjal dan selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk cuci darah mandiri (CAPD).
Menurut Tony, biaya rata-rata pasien transplantasi ginjal per bulan berkisar Rp 3 juta - Rp 5 juta untuk pasien di atas 1 tahun. Semakin tahun biayanya relatif semakin kecil.
"Bandingkan dengan hemodialisa yang mencapai puluhan juta per bulan bahkan lebih jika memiliki komplikasi penyakit. Terapi CAPD juga lebih hemat biaya dari terapi cuci darah menggunakan mesin. Ini PR pemerintah bagaimana caranya bisa menghemat biaya, bukannya dengan mengurangi pelayanan obat,” katanya mengusulkan.
Pada kesempatan itu, Sekjen KPCDI Petrus Hariyanto menagih janji Komisi IX yang akan memasukan pasien cuci darah peserta mandiri menjadi PBI.
Terkait hal itu, Sri Rahayu mengatakan bahwa komisinya sudah mengupayakan hal itu namun terkendala pandemi Covid-19. “Karena pandemi COVID-19 jadi terhambat, tapi akan kami kawal kembali,” jawab politikus PDI Perjuangan itu.
Dia juga menyatakan semua usulan KPCDI akan disampaikan kepada kementerian terkait dan BPJS Kesehatan.(fat/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam