”Tentu kita tidak keberatan, silahkan saja, ” ujar juru bicara KPK Johan Budi SP kemarin (11/08). Bambang Soekotjo sekarang juga dalam posisi sebagai tersangka oleh penyidik KPK. Bambanglah yang pertama melaporkan kasus ini ke KPK pada Januari 2012 lalu.
Menurut Johan, KPK tidak dalam posisi melarang penegak hukum lain. ”Tentu, jika itu sesuai aturannya, kita tidak bisa menahan atau menghalang-halangi. Silahkan, itu ranah kepolisian,” kata mantan wartawan ini.
Penyidik Bareskrim rencananya akan datang ke rutan Kebonwaru Bandung besok (Senin 13/08). Mereka akan meminta keterangan dari Bambang terutama soal pemberian uang pada sejumlah pihak yang sudah tersiar luas. ”Jika tidak ada perubahan, nanti Senin ada tim penyidik yang berangkat dari Jakarta,” kata Kabagpenum Mabes Polri Kombes Agus Rianto kemarin.
Menurut Agus, keterangan Bambang akan sangat melengkapi konstruksi alur penyidikan.”Ini dilakukan maraton, penyidik terus bekerja agar kasus ini segera tuntas dan bisa disidangkan di pengadilan,” kata perwira dengan mawar tiga di pundak ini.
Pengacara Bambang Soekotjo, Erick S Paat pun tiba-tiba melunak. Setelah sebelumnya mengindikasikan kliennya akan menolak diperiksa polisi, kemarin Erick lebih kalem. ”Kalau memang nanti jadi ya harus kita temui, kita tidak ingin dianggap menghalang-halangi penyidikan,” katanya.
Meski begitu, Erick menegaskan, kliennya pertama kali diperiksa oleh KPK. ”Klien kita ini sudah dalam status tersangka KPK, lalu sekarang dijadikan tersangka oleh polisi, kita perlu penjelasan dan kepastian hukumnya,” katanya.
Di bagian lain, dukungan terhadap KPK untuk menangani kasus dugaan korupsi simulator SIM juga mengalir lewat dunia maya. Para aktivis anti-korupsi melayangkan petisi agar Polri menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus tersebut kepada KPK.
Petisi melalui www.change.org/serahkankeKPK itu diprakarsai oleh para aktivis anti-korupsi, seperti pengamat kepolisian yang juga mantan perwira menengah kepolisian, Bambang Widodo Umar, dan putri mantan Presiden RI, Abdurahman Wahid, Anita Wahid.
Petisi ini juga didukung oleh kalangan budayawan, seperti Benny Susetyo dan Radar Panca Dahana; ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih; Todung Mulya Lubis; mantan Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh; penasihat Jaksa Agung, Chairul Imam; Donal Fariz dari ICW; sampai ibu rumah tangga peduli anti-korupsi, Rebecca Gultom.
Sejak dibuka beberapa hari lalu, petisi ini sudah ditandatangani lebih dari 2.000 orang dari berbagai lapisan masyarakat. Petisi ini ditujukan langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal (Pol) Timur Pradopo.
Dalam petisi tersebut disebutkan, jika Polri melanjutkan penyidikan, maka Polri telah menabrak hukum. Polri harus introspeksi diri dengan menempatkan dirinya sama dan setara di hadapan hukum.
Dalam petisi itu pula disebutkan, jika Polri menghalangi, maka slogan antikorupsi Polri hanya menjadi pepesan kosong. Usman berharap keberadaan situs change.org bisa memberikan manfaat bagi siapa pun dan di mana pun untuk menyuarakan kepeduliannya pada masing-masing bidang.
Menurut pengajar PTIK Dr Bambang Widodo Umar, desakan itu muncul lantaran besarnya keraguan masyarakat kepada Polri setelah berkaca pada kinerja Polri masa lalu. Contohnya, ketika Bareskrim Polri mengusut mafia kasus dan mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan.
Dalam kasus yang menarik perhatian luas masyarakat itu, tak ada perwira tinggi yang terjerat. Hanya polisi berpangkat komisaris dan ajun komisaris yang dimintai pertanggungjawaban.
Padahal, para saksi dan terdakwa ketika di persidangan menyebut beberapa perwira terlibat, seperti Ajun Komisaris Besar Mardiyani, Komisaris Besar Pambudi Pamungkas, Brigjen (Pol) Edmon Ilyas, dan Brigjen (Pol) Raja Erizman.”Itu hanya salah satu contoh saja,” kata Bambang.
Saat itu, Bareskrim Polri pun menyebut tak ada bukti keterlibatan mereka dalam permainan kasus atau ikut mencicipi sebagian dana yang dikucurkan Gayus hingga puluhan miliar rupiah. Akibatnya, mereka hanya dikenakan sanksi kode etik dan disiplin berdasarkan sidang kode etik dan profesi di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
Contoh lain, ketika Polri berhadapan dengan kasus rekening gendut perwira tinggi Polri. Kepolisian mengklaim tak ada tindak pidana dalam 23 rekening milik perwira tingginya. Polri juga tak mau mengungkap identitas pemilik rekening beserta besarannya meskipun Komisi Informasi Pusat (KIP) telah memutus bahwa informasi nama pemilik rekening beserta besaran nilai hartanya yang dikategorikan wajar adalah informasi yang terbuka.
Bambang menyebut berbagai kasus yang terkatung-katung penanganannya hingga bertahun-tahun juga membuat publik tak percaya polisi.”Selama ini banyak kasus yang tak tuntas, masyarakat khawatir kasus korlantas ini juga akan tidak tuntas jika ditangani polisi,” ujarnya.
Secara terpisah, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy menyampaikan saat ini tengah terjadi ketidakpercayaan publik yang bersifat masif terhadap seluruh pranata dan norma. Gejala ini melanda parpol, lembaga pemerintahan, sampai ormas –ormas.’’Gejala ini perlu diperbaiki sedikit –sedikit. Di mana ada peluang memunculkan trust itu, kita harus mengkanalisasinya,’’ kata Romi –begitu Romahurmuziy biasa disapa saat dalam diskusi di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, kemarin.
Dia menegaskan, persoalan Polri dan KPK merupakan salah satu momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik itu. Dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM, Romi berpandangan, seharusnya itu dikembalikan kepada norma UU yang sudah dilahirkan.
’’Kalau itu menjadi pintu masuk di mana KPK memiliki kewenangan, ya serahkan kepada ahlinya kalau memang di dalam UU diatur demikian,’’ ujar anggota Komisi IV DPR, itu.
Di forum yang sama, pakar hukum Saldi Isra menyindir tajam SBY. Menurut dia, kontroversi berkepenjangan yang kini terjadi antara Polri dan KPK membuktikan kalau pemerintah sendiri masih ’’belum merdeka’’. ’’Padahal, aturan hukumnya sangat klir,’’ kata Saldi.
Dia merujuk pasal 50 UU KPK. Dalam kasus korupsi di Korlantas Mabes Polri itu, sepenuhnya ranah KPK. ’’Tidak terlibat dari awal saja, KPK bisa take over (mengambil alih, Red). Apalagi, sekarang KPK memang terlibat sejak awal penyidikan,’’ ujar akademisi dari Universitas Andalas, Padang itu.
Saldi menegaskan, dari perspektif hukum dan kepercayaan publik, tidak ada alasan bagi Polri untuk mengambil alih kasus tersebut. Presiden SBY seharusnya dapat mengambil peran yang lebih konkrit.
’’Ini bukti lagi. Untuk soal –soal yang kecil seperti ini saja kelihatan pemimpin kita tidak merdeka. Kalau merdeka sebetulnya cicak buaya jilid I itu tidak perlu terjadi. Sekarang ini kita malah menyongsong cicak buaya jilid II. Ini karena tidak ada kemerdekaan dalam menentukan sikap. Paling tidak dalam pemberantasan korupsi,’’ kritik Saldi. (rdl/pri/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Whistleblower Korupsi Simulator Tolak Diperiksa Polri
Redaktur : Tim Redaksi