KPK Didesak Usut Dana Nazar Beli Saham Garuda

Senin, 27 Februari 2012 – 06:56 WIB
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk menyelidiki asal-usul dana sebesar Rp300 miliar milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin.

Penyelidikan oleh KPK ini sangat penting mengingat dana tersebut telah diinvestasikan untuk membeli saham maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang bisa diperjualbelikan di pasar modal.

Oleh karena itu, KPK juga diharapkan menemukan cara untuk membekukan aset senilai Rp300 miliar. Jika tidak dibekukan dan ditelusuri asalnya secara tuntas, maka bisa menimbulkan banyak kecurigaan terhadap proses penegakan hukum itu sendiri serta menciptakan ketidakpastian pada iklim investasi.

Desakan tersebut dikemukakan pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk dan Direktur Pusat Studi Antikorupsi  (Pukat) UGM, Zaenal Arifin Mochtar secara terpisah, Minggu (26/2), menanggapi investasi Nazaruddin di  Garuda Indonesia.

Hamdi Muluk menduga dana Rp300 miliar yang ditanam Nazaruddin di Garuda merupakan hasil korupsi ketika yang bersangkutan masih menjabat sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat. Apalagi setelah kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet di Palembang, yang melibatkan Nazaruddin juga terbongkar.

“Saya ragu uang itu milik pribadi Nazaruddin karena besarnya mencapai 60 kali nilai korupsi yang ditemukan di kasus Wisma Atlet. Kemungkinannya sangat tinggi politisi Partai Demokrat yang lain terlibat. Apalagi kasus Wisma Atlet sudah terbukti melibatkan politisi partai lain,” kata Hamdi.

Artinya ada 60 lagi proyek serupa untuk mencapai Rp300 miliar sebelum kasus ini terkuak. Itu nilai yang sangat besar dan perlu pengorganisaan serta koordinasi yang rapih antara beberapa pihak di tingkat yang paling tinggi, baik organisasi parpol atau korporasi ataupun gabungan keduanya.

Karena itu, Hamdi mendesak KPK segera menyelidiki kasus dugaan korupsi dana partai yang diinvestasikan ke saham Garuda Indonesia ini dan menyeret para pelakunya ke meja hijau.

Di sisi psikologi politik, Hamdi menilai politisi saat ini berusaha untuk menumpuk harta dengan mengikuti tren modernisasi penggalangan modal termasuk pasar modal . Tapi caranya dengan memanfaatkan pengaruh dan kekuasaan politiknya.

Hamdi menyarankan agar ada pengaturan yang ketat dan akuntabel mengenai dana partai, misalnya diatur dalam UU Parpol atau UU Pemilu, sehingga partai tidak melakukan pencarian dana besar-besar dengan cara korupsi.

“Biaya politik dan kampanye yang mahal bukan alasan bagi parpol untuk korupsi. Karena itu harus ada regulasi yang jelas dan tegas soal dana partai ini,” tegasnya.

Senada dengan Hamdi, Direktur Pukat Zaenal Arifin menegaskan, KPK menjadi ujung tombak atau garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air, khususnya dalam reformasi keuangan parpol.

Tapi institusi lain seperti kejaksaan, dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga harus bersinergi memutus mata rantai korupsi, termasuk dalam kasus dana Rp300 miliar itu, jangan hanya KPK sendiri bekerja.

“Saya sangat setuju bila KPK terus memburu asal-usul uang Rp300 miliar yang diklaim milik Nazaruddin. Bukan tidak mungkin dana itu milik Partai Demokrat dan dikumpulkan dari berbagai proyek kolutif. Jadi, harus diusut tuntas asal dananya. Jangan terlalu berkonsentrasi pada pembelian saham Garudanya saja, karena perusahaan sekuritas banyak dan mereka berlomba menjual saham Garuda saat itu,” kata Zaenal.

Ditegas Zaenal, pengusutan tuntas atas sumber dana Rp300 miliar itu untuk membuktikan adanya dugaan korupsi dana parpol sebagaimana dituduhkan banyak kalangan.

”Jika benar dana itu hasil korupsi, maka harus dipublikasikan, korupsi proyek apa, sehingga jelas persoalan dan penindakannya pun harus tegas,” ujarnya.

Selain itu, tuntutan yang terus mendesak agar KPK menyelidiki dugaan korupsi dana Rp300 miliar itu, harus disikapi dengan bijak oleh Partai Demokrat. Caranya, partai ini harus jujur berbicara pada publik, darimana sumber dana itu.

“Kalau memang bukan dari korupsi, ya gak masalah. Tapi, publik kan juga punya data dan intuisi tidak mungkin dana itu murni milik pribadi politisi Demokrat. Artinya, indikasi kuat dana tersebut berasal dari hasil korupsi secara bersama-sama,” tambah Zaenal.

Nazaruddin diduga membeli saham lewat lima anak usaha PT Permai Group senilai Rp300,8 miliar. Kelima anak usaha itu adalah Permai Raya Wisata membeli 30 juta saham seharga Rp22,7 miliar. Cakrawala Abadi 50 juta saham sebesar Rp37,5 miliar, Exhartex membeli saham senilai Rp124,1 miliar, PT Pacific membeli 100 juta saham seharga Rp75 miliar, serta Dharma Kusuma membeli 55 juta saham senilai Rp41 miliar. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BPK Diminta Segera Benahi Sistem Keuangan Haji

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler