KPK Dinilai Perlu Studi ke Kejagung agar Tidak Mudah Kalah di Pengadilan

Minggu, 08 Desember 2024 – 15:59 WIB
Ilustrasi - Palu Hakim (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

jpnn.com, JAKARTA - Kendati tidak bisa dibandingkan antara satu kasus dengan lainnya, akan tetapi menarik melihat proses praperadilan terhadap Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Adalah mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang menjadi tersangka dalam dugaan korupsi importasi gula periode 2015-2016 yang menggugat praperadilan terhadap Jampidsus, Kejagung.

BACA JUGA: KPK Terbitkan Ulang Foto Harun Masiku dengan Berbagai Sisi, Lihat

Sementara, Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel), Sahbirin Noor atau Paman Birin mempraperadilankan KPK atas status tersangkanya karena tertangkap dalam sebuah operasi pada 6 Oktober 2024.

Berjarak 5 hari dari penangkapan itu, Paman Birin mendaftarkan praperadilan pada 10 Oktober. Sepanjang waktu itu, KPK terus mengumpulkan bukti dengan memeriksa 17 saksi hingga 31 Oktober 2024 untuk menjerat Paman Birin.

BACA JUGA: KPK Dalami Perusahaan yang Menikmati Uang Kasus Korupsi DJKA

Sidang praperadilan Paman Birin terhadap KPK berlangsung hingga 12 November yang pada akhirnya majelis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan permohonan itu.

Berselang sehari putusan praperadilan itu, Paman Birin mengundurkan diri sebagai Gubernur Kalsel meski masih menyisakan waktu masa jabatannya.

BACA JUGA: Terima Surat DPO Harun Masiku dari KPK, Polisi di Kaltim Bergerak

Sedangkan praperadilan Thomas Lembong lewat kuasa hukumnya mendaftar ke PN Jakarta Selatan pada 5 November 2024.

Selama persidangan itu, kuasa hukum Tom Lembong berupaya membuktikan ada kesalahan prosedur dalam penetapan tersangka untuk kasus dugaan korupsi importasi gula.

Salah satu yang ingin dibuktikan kuasa hukum Tom Lembong terkait dengan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus itu.

Soal ini, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 memutus demi kepastian hukum dan mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, maka terlebih dulu harus membuktikan adanya kerugian keuangan negara sebelum dilakukan penyidikan perkara korupsi.

Selanjutnya, unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss).

Mencermati masalah tersebut, pengamat hukum pidana dari Universitas Bung Karno Cecep Handoko mengatakan, KPK yang kerap kalah dalam praperadilan harusnya lebih cermat dalam menindak sebuah perkara. Apalagi KPK merupakan lembaga hukum khusus menangani perkara korupsi.

"Menarik bila ditarik ke belakang, di mana KPK hadir untuk memberantas korupsi, tidak seperti lembaga hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Polri, yang memang lahir mencakup seluruh penanganan perkara hukum. Harusnya KPK lebih matang dan fokus menangani sebuah perkara," kata Cecep kepada wartawan, Sabtu (7/12).

Pria yang karib disapa Ceko ini mengimbaul agar KPK mawas diri dengan cara belajar kepada Kejaksaan Agung. Agar dalam menangani sebuah perkara tidak digugat dan kalah lagi lewat praperadilan.

"Segmennya kan jelas, tipikor, bukan perkara lainnya. Ini perlu ditekankan agar KPK kembali belajar. Agar apa? Supaya penanganan sebuah perkara itu tidak dipatahkan," kata Ceko.

Sejurus dengan itu, pengamat hukum pidana UPN Veteran Jakarta, Beni Harmoni Harefa mengatakan, terpenting dari kasus korupsi adalah membuktikan perbuatan niat jahatnya.

Dan itu pula yang ingin dibuktikan Tom Lembong lewat kuasa hukumnya pada waktu praperadilan termasuk soal belum ada perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus itu.

"Sejatinya objek praperadilan berdasarkan Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sah tidaknya penangkapan, penahanan, sah tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta ganti rugi dan rehabilitasi. Pasca-perluasan objek praperadilan melalui Putusan MK No 21/PUU/XII/2014, maka termasuk objek praperadilan sah tidaknya penetapan tersangka, sah tidaknya penggeledahan dan sah tidaknya penyitaan. Pembatasan semuanya pengujian ini dalam ranah acara/formil," ujar Beni.

Namun, kuasa hukum Tom Lembong sepertinya lupa bahwa untuk menetapkan seseorang tersangka merujuk KUHAP setidak-tidaknya adanya bukti permulaan yang cukup atau 2 alat bukti yang sah.

Nah, berdasarkan pemaparan penyidik pada Jampidsus, Kejagung dalam sidang praperadilan tersebut, mampu membuktikan alat bukti untuk menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka justru sudah melebihi dari ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP.

"Sehingga seharusnya KPK tidak hanya mengandalkan OTT yang disertai penyadapan. Namun harus mengkonstruksi (membangun) suatu perkara sejak awal dengan mengumpulkan seluruh bukti tanpa melanggar hukum acara (formil). Hal inilah yang sering dilakukan pidsus Kejaksaan," kata Beni.

Berdasarkan itu pula, kata Benny, hakim tunggal pada PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun, menolak permohonan praperadilan Tom Lembong.

Atas dasar fakta itu, kata Benny, maka penting mendiskusikan proses dan hasil praperadilan terhadap KPK dan Jampidsus pada Kejagung.

"Karena hal itu pula, (KPK) perlu mengkonstruksi suatu perkara sejak awal. Sehingga terkumpul seluruh bukti dengan tanpa melanggar hukum acara/formilnya suatu perkara," ungkap Beni.

Apalagi kedua kasus yang dimohonkan itu, kata Benny, sangat berbeda dalam penanganannya. Kasus yang ditangani KPK berdasarkan operasi tangkap tangan yang dikenal sebagai OTT itu, sementara penyidik Jampidsus pada Kejagung membangun kasusnya yang menjerat Tom Lembong dari awal tanpa OTT.

Tentu saja membangun kasus dari awal itu, kata Benny, jauh lebih sulit ketimbang mengandalkan OTT yang selalu berdasarkan pengintaian dan penyadapan.

Membangun kasus dari awal itu membutuhkan pemahaman hukum tinggi khususnya soal tindak pidana korupsi.

Apalagi, kata Beni, tindak pidana korupsi selalu pula melibatkan mereka yang disebut sebagai penjahat kerah putih atau orang-orang cerdas yang kerap memegang kekuasaan atau jabatan tertentu dalam pemerintahan.

Karena itu, kata Beni, penyidik pada KPK penting untuk belajar dari Jampidsus, Kejagung dalam menangani kasus tindak pidana korupsi agar tidak mudah kalah ketika digugat praperadilan.

"KPK kendati punya kewenangan supervisi, tidak perlu malu untuk studi banding ke Jampidsus Kejagung untuk belajar mempertahankan argumentasi dalam menghadapi praperadilan. Itu sebabnya, penting mendiskusikan hal tersebut terutama dalam rangka menyiapkan roadmap pemberantasan korupsi ke depan," tandas Beni. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler