jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai tersangka suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkapkan, suap untuk Nurhadi terkait dengan penanganan perkara di MA periode 2011-2016.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dalam perkara suap terkait pengurusan perkara yang dilakukan sekitar 2015–2016 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajibannya yang tidak dilaporkan dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja. KPK meningkatkan melakukan penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu NHD (Nurhadi) Sekretaris Mahkamah Agung 2011-2016," kata Saut Situmorang dalam konferensi pers di kantornya, Senin (16/12).
BACA JUGA: Ditanya soal Rp 3 M dan Lippo Group, Nurhadi Terburu-buru Masuk Mobil
KPK juga menjerat pihak lain dalam kasus itu. Tersangka lainnya adalah Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto dan seorang swasta lainnya bernama Rezky Herbiyono alias RHE.
KPK menduga Nurhadi dan Rezky menerima suap atau gratifikasi terkait tiga perkara di pengadilan. Total suapnya mencapai Rp 46 miliar.
BACA JUGA: Sebelum KPK Datang, Nurhadi Robek 2 Dokumen, Satu Tebal, 1 Tipis
"Secara keseluruhan diduga NHD melalui RHE telah menerima janji dalam bentuk sembilan lembar cek dari PT MTI serta suap/gratifikasi dengan total Rp 46 miliar," ucap Saut.
Suap itu terkait perkara sengketa perdata antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) (Persero) pada 2010. Dalam perkara itu Rezky menerima sembilan cek atas nama PT MIT dari Hiendra.
Cek itu untuk mengurus permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN (Persero). Cek itu juga untuk mengurus penangguhan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN.
Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut Rezky menjaminkan 3 lembar cek miliknya dan 8 lembar cek dari PT MIT untuk mendapatkan uang senilai Rp14 miliar. Hanya saja, PT MTI ternyata kalah.
“Karena pengurusan perkara tersebut gagal maka tersangka HS meminta kembali sembilan lembar cek yang pernah diberikan tersebut," tutur Saut.
Perkara kedua adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT pada 2015. Hiendra yang menjadi tergugat terus memenangi perkara sejak pengadilan tingkat pertama hingga Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
"Pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara HS dan Azhar Umar sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari tersangka HS kepada NHD melalui tersangka RHE sejumlah total Rp 33,1 miliar," ungkap Saut.
Transaksi tersebut dilakukan dalam 45 kali transaksi, termasuk melalui rekening milik Rezky. "Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar,” tutur Saut.
Adapun perkara ketiga adalah penerimaan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan. Nurhadi melalui Rezky dalam rentang Oktober 2014 – Agustus 2016 diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA.
Saut menuturkan, Nurhadi tidak pernah melaporkan gratifikasi tersebut ke KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan. Oleh karena itu KPK menjerat Nurhadi dan Rezky dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Hiendra sebagai penyuap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b subsider Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.(antara/tan/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga