Ditanya soal Rp 3 M dan Lippo Group, Nurhadi Terburu-buru Masuk Mobil

Kamis, 06 Oktober 2016 – 19:17 WIB
Nurhadi Abdurrahman. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Nama bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrahman terseret dalam pusaran suap Lippo Group kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. 

Nurhadi sudah dilarang ke luar negeri dan kerap menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam surat dakwaan Edy Nasution, Nurhadi disebut-sebut meminta duit Rp 3 miliar kepada Lippo Group yang tengah berperkara. 

BACA JUGA: Mau Jadi Komisaris BUMN? Gampang!

Namun, Nurhadi usai diperiksa KPK, Kamis (6/10) sore enggan menjawab panjang lebar saat dikonfirmasi ihwal duit Rp 3 miliar itu. Dia menegaskan, nanti akan menjelaskan semuanya di persidangan. "Nanti saya jelaskan di pengadilan itu," ujarnya terburu-buru menuju mobil yang menjemputnya di halaman KPK, Kamis (6/10). 

Saat dicecar lagi, Nurhadi kemudian membantah keras meminta duit Rp 3 miliar. "Tidak, tidak ada. Bohong itu," tegas Nurhadi. Dia langsung masuk mobil dan meninggalkan gedung komisi antirasuah.

BACA JUGA: Wajarlah Raja Erizman Naik Jabatan Lagi

KPK masih mendalami dugaan keterlibatan Nurhadi. Hanya saja, KPK belum berhasil memeriksa Royani, sopir Nurhadi serta anggota Polri ajudan bekas petinggi MA itu. 

Padahal, pihak-pihak tersebut diduga banyak mengetahui dugaan keterlibatan Nurhadi. 

BACA JUGA: Mabes Polri Tegaskan Raja Erizman Bukan Terhukum Lagi

"Khusus untuk anggota Polri tidak ada kesulitan, setiap saat bsa dipanggil. Yang  paling sulit sopirnya karena sebenarnya lebih banyak tahu," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Kamis (6/10). Saat ini, KPK tengah mencari keberadaan sopir Nurhadi yang masih misterius. 

Seperti diketahui, dalam surat dakwaan terdakwa Edy Nasution yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/9), Nurhadi  disebut  pernah meminta  Rp 3 miliar ke Lippo Group yang sedang beperkara. Nurhadi menyampaikan permintaannya itu melalui Edy. 

Jaksa KPK Tito Jaelani mengatakan, Lippo Group lewat PT Jakarta Baru Cosmopolitan  menghadapi persoalan hukum terkait permohonan eksekusi tanah oleh ahli waris berdasarkan putusan Raad Van Justitie Nomor 232/1937  tanggal 12 Juli 1940.

Tanah yang berlokasi di Tangerang, Banten itu milik ahli waris bernama Tan Hok Tjioe. Namun, saat ini tanah dikuasai PT JBC dan dijadikan lapangan golf Gading Raya Serpong.

Selanjutnya, MA mengeluarkan petunjuk bahwa permohonan eksekusi tanah diajukan melalui PN Jakpus. Sedangkan pelaksanaan eksekusi dilakukan PN Tangerang.

Presiden Direktur Lippo Group yang juga Direktur PT JBC saat itu, Eddy Sindoro lantas  menugaskan anak buahnya, Wresti Kristian Hesti mengurus perkara tersebut. Hesti kemudian menemui Edy selaku panitera PN Jakpus dan meminta pembatalan permohonan eksekusi tanah yang telah dikuasai PT JBC tersebut.

Namun, Edy tidak menggubrisnya. Hesti lantas melapor ke Eddy Sindoro sekaligus meminta dibuatkan memo ke Nurhadi. Nama Nurhadi disandikan dengan istilah promotor.

Akhirnya, Edy pun menghubungi Hesti dan menyampaikan kesediaannya membantu mengurus perkara. Namun, Edy juga langsung menyebut uang. 

”Edy menyampaikan dalam rangka pengurusan penolakan permohonan eksekusi, atas arahan Nurhadi agar disediakan uang sebesar Rp 3 miliar," kata Jaksa Tito saat membacakan surat dakwaan atas Edy.

Hanya saja, Eddy menyampaikan ke Hesti bahwa Lippo bersedia membayar Rp 1 miliar saja. Informasi itu diteruskan Hesti ke Edy.

Menanggapi hal itu, Edy menegaskan bahwa sesuai arahan Nurhadi, uang akan digunakan untuk menggelar pertandingan tenis Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) yang memperebutkan Piala Ketua Mahkamah Agung. Pertandingan itu digelar pada Oktober 2015.

Selanjutnya, Edy menurunkan permintaan menjadi Rp 2 miliar saja. Namun, kata jaksa, Eddy Sindoro hanya menyanggupi Rp 1,5 miliar untuk mengurus penolakan eksekusi lahan.

Hesti kemudian menghubungi Eddy dan menyampaikan bahwa Edy menanyakan waktu pengiriman uang. Eddy pun mengatakan, uang akan diambil dari PT Paramount Enterprise.

Eddy lantas meminta Hesti menghubungi Ervan Adi Nugroho selaku presiden direktur Paramount Enterprise. "Selanjutnya Hesti menghubungi Doddy (Doddy Adyanto Supeno, asisten Eddy Sindoro) untuk mengambil uang tersebut pada Ervan Adi," ujar Tito.

Pada 26 Oktober 2015, Doddy bertemu dengan Ervan di PT Paramount untuk mengambil uang Rp 1,5 miliar. Selanjutnya, Doddy menghubungi Edy untuk bertemu di Hotel Acacia, Jakarta Pusat.

Di hotel itu, kata Titto, Edy menerima  uang Rp 1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura (SGD). Edy lalu memberitahu Hesti bahwa PN Jakpus telah mengeluarkan surat jawaban bernomor: W10.U1/13076/065.1987.Eks/HT.02.XI.2015.03 November 2015. Surat yang ditandatangani DR. Gusrizal selaku ketua PN Jakpus itu membatalkan eksekusi lahan. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ki Kusumo: Ritual Penggandaan Uang Memang Ada, tapi Dimas Kanjeng...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler