jpnn.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pengusaha kondang Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pasangan suami istri pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu menjadi tersangka terkait korupsi dalam penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI.
“Setelah melakukan proses penyidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka KPK membuka penyidikan baru terhadap pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (10/6).
BACA JUGA: Merasa Berkompeten untuk Pimpin KPK? Silakan Mendaftar Mulai 17 Juni
Kasus yang menjerat Sjamsul dan Itjih merupakan pengembangan penyidikan dari perkara serupa yang menyeret mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin A Temenggung. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara plus denda Rp 1 miliar kepada Syafruddin karena keputusannya menerbitkan SKL untuk BDNI telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp 4,58 triliun.
Baca juga: Bang Otto Hasibuan Sebut Kasus Sjamsul Nursalim Sudah Kedaluwarsa
BACA JUGA: KPK Diminta Pelototi Sidang PK Anas Urbaningrum
Kasus itu bermula ketika BPPN dan Sjamsul menandatangani kesepakatan penyelesaian pengembilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement and Acquisition. Agreement (MSAA) pada 21 September 1998. Merujuk MSAA itu maka BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI.
Adapun Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset. “Jumlah kewajiban SJN (Sjamsul, red) selaku pemegang saham pengendali BDNl adalah sebesar Rp 47.258.000.000.000,” tutur Saut.
BACA JUGA: Boni Hargens Minta KPK Investigasi Penggunaan Anggaran di Dinkes Manggarai
Angka kewajiban itu dikurangi dengan sejumlah aset milik Sjamsul senilai Rp 18.850.000.000.000. Termasuk di antaranya adalah pinjaman kepada petambak sebesar Rp 4,8 triliun.
Namun, Sjamsul menyodorkan aset senilai Rp4,8 triliun itu seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Hanya saja berdasar financial due diligence (FDD) dan legal due diligence (LDD), BPPN menyimpulkan aset tersebut tergolong macet.
Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN lantas mengirimkan surat ke Sjamsul. Isinya menyebut taipan itu telah melakukan misrepresentasi.
“Dan memintanya menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut. Namun SJN menolak,” ungkap Saut.
Selanjutnya pada Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, BPPN menggelar rapat yang dihadiri Itjih dan pihak lain. Pada rapat tersebut Itjih mengklaim Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi.
Pada Februari 2004, BPPN melaporkan persoalan itu dalam rapat kabinet terbatas (ratas) dan meminta kepada Presiden RI waktu itu agar menyetujui penghapusbukuan (write off) sisa utang petani tambak. Hanya saja BPPN tidak melaporkan soal Sjamsul yang melakukan misrepresentasi.
Ratas itu tidak memberikan keputusan apa pun soal usul BPPN tentang write off. Namun, Syafruddin dan Itjih pada 12 April 2004 menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya kesepakatan kedua belah puhak bahwa pemegang saham BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajibannya sesuai dengan MSAA.
Pada 26 April 2004, Syafruddin menandatangani surat No. SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. “Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipesena menjadi hilang atau hapus,” beber Saut.
Baca juga: PT DKI Perberat Hukuman untuk Syafruddin di Kasus SKL BLBI
Lalu pada 30 April 2004, kata Saut, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan. Isinya adalah hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
Terakhir pada 24 Mei 2007, PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp 220 miliah, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 Triliun. “Sehingga, diduga kerugian jeuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp 4,58 triliun,” jelas Saut.
Karena itu KPK menjerat Sjamsul dan Itjih melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(jpc/jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Laode: Kesempatan untuk Orang â orang yang Lebih Hebat
Redaktur : Tim Redaksi