KPK Mulai Proses Laporan MAKI Soal Dana Tambang Nikel Ilegal untuk Kampanye Pemilu

Jumat, 26 Januari 2024 – 15:18 WIB
Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri. Foto: Fathan Sinaga/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menindaklanjuti laporan terkait dugaan penggunaan dana pertambangan nikel ilegal di Sulawesi Tenggara untuk kampanye Pemilu 2024.

Laporan itu sebelumnya dilayangkan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) ke KPK pada Kamis, (21/12).

BACA JUGA: Tambang Nikel Ilegal yang Mengancam Hilirisasi Bakal Sulit Diberantas Jelang Pilpres

MAKI menduga hasil dari pertambangan ilegal sebesar Rp 400 miliar digunakan untuk kampanye pada Pemilu 2024.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan tim pengaduan masyarakat (dumas) KPK sedang mempelajari dan menelaah laporan MAKI tersebut.

BACA JUGA: Dukung Kejagung Usut Tuntas Korupsi Tambang Nikel Ilegal di Sultra, Sahroni: Ini Kasus Besar!

"Masih dalam tahap telaah di pengaduan masyarakat," kata Ali Fikri dikutip JPNN.com, Jumat (26/1).

KPK dipastikan telah mengantongi sejumlah data terkait dugaan pertambangan ilegal, termasuk soal aliran uang untuk kampanye.

BACA JUGA: Kasus Korupsi Tambang Nikel, Kejati Sultra Tetapkan Tersangka Baru, Siapa?

Laporan dari MAKI akan menjadi sumber data untuk melakukan penyelidikan.

"Namun, itu sebagai sumber data yang sedang kami lakukan penyelidikan di Konawe," kata Ali.

Juru bicara KPK berlatar belakang jaksa itu menuturkan pihaknya sedang memproses perkara dugaan pertambangan ilegal di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

"Kami juga sedang proses perkara yang lama dan telah berjalan. Ditelaah dan analisisnya di bagian pengaduan masyarakat," tegasnya.

Sebelumnya, MAKI melaporkan dugaan penggunaan dana pertambangan nikel ilegal di Sulawesi Tenggara untuk kampanye Pemilu 2024 ke KPK pada Kamis, 21 Desember 2023.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menuturkan, pemilik pertambangan ilegal itu merupakan tim sukses salah satu kandidat pada Pilpres 2024.

"Saya hari ini melaporkan dugaan penambangan ilegal yang diduga untuk dana kampanye, sebagiannya, karena pemilik utamanya menjadi salah satu tim kampanye," kata Boyamin.

Walakin, Boyamin tidak menyebutkan secara gamblang tim kampanye mana yang menerima uang Rp 400 miliar dari pertambangan ilegal itu.

"Saya mohon maaf tidak menyebut kampanye dari pasangan nomor berapa, nanti KPK yang menindaklanjuti," ujar dia.

Berdasarkan perhitungan MAKI, pertambangan ilegal itu menghasilkan uang sebesar Rp 3,7 triliun di mana Rp 400 miliar di antaranya digunakan untuk kampanye.

Boyamin pun membeberkan ada tiga modus aktivitas pertambangan ilegal yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. 

Modus pertama adalah pertambangan itu tidak memiliki izin, karena izin yang mereka gunakan adalah izin milik perusahaan yang sudah dinyatakan pailit.

"Jadi, ini izin 2011, 2014 pailit, tahun 2017 baru berdiri perusahaan ini. Masa kemudian seakan-akan dapat izin tahun 2011. Itu yang modus pertama," kata Boyamin.

Modus kedua, perusahaan tersebut tidak mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan dan tidak membayar iuran.

"Ketiga, ya biasa, dokumen terbang atau dokter. Jadi dia seakan-akan diizinkan itu, kemudian dipakai untuk menjadikan legal tambang-tambang yang ilegal itu. Mencuri lah supaya bisa keluar pakai dokumen dia," ujar Boyamin.

Dia pun menduga ada praktik suap dan gratifikasi kepada oknum tertentu sehingga perusahaan itu bisa melakukan aktivitas tambang ilegal.

Boyamin berharap, KPK dapat menindaklanjuti laporan tersebut dan serius mengusut dugaan dana tambang ilegal yang digunakan untuk keigatan kampanye. 

"Coba KPK berprestasi membongkar dana-dana ilegal yang dipakai untuk kampanye untuk melindungi kepentingan bisnis tersebut," kata Boyamin.

"Karena pemilu-pemilu sebelumnya ada isu ini. Ada penggunaan dana kampanye dari kegiatan ilegal, tetapi itu selalu lagu yang diputar ulang yang tidak ada tindak lanjutnya," pungkas Boyamin. (mcr8/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler