jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya peluang menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto sebagai tersangka korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) lagi.
Menurut Miko, hal itu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor.21/PUU-XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 4 tahun 2016.
BACA JUGA: KPK Anggap Logika Hakim Praperadilan Setnov Aneh Banget
"Sepanjang KPK masih memiliki paling sedikit dua alat bukti yang sah, KPK masih tetap dapat menetapkan SN sebagai tersangka," kata Miko, Sabtu (30/9).
Dia mengingatkan, jika KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka lagi maka seharusnya komisi antikorupsi segera merampungkan pemeriksaan.
BACA JUGA: 6 Kejanggalan di Balik Putusan Hakim Cepi Iskandar
"Kemudian melimpahkan perkara tersebut untuk segera disidangkan," ungkap dia..
Miko juga menyoroti putusan praperadilan terhadap Novanto. Dia menilai hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan belum tercatat dalam sistem administrasi registrasi perkara.
BACA JUGA: Elektabilitas Golkar Jeblok, Ical Bawa Rekomendasi ke Setnov
Selain itu, tim penasihat hukum Novanto membawa sejumlah bukti dari Pansus Hak Angket KPK.
"Seharusnya (kejanggalan ini) menjadi ruang untuk mengevaluasi putusan praperadil tersebut," katanya.
Dia mengatakan, meskipun Perma 4/2016 menyatakan putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali, peraturan yang sama memberi ruang MA melakukan pengawasan.
Begitu juga Komisi Yudisial (KY) yang juga dapat melakukan evaluasi dari sisi perilaku dan etik hakim.
"Oleh karena itu, MA dan KY seharusnya memberikan respons terhadap putusan praperadilan ini," ujar dia.
Dari sisi substansi, lanjut Miko, salah satu pertimbangan yang mencolok adalah ketika hakim menyatakan bukti untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka tidak sah karena muncul dan digunakan dalam perkara lain.
Menurut dia, pertimbangan ini bermasalah karena mengasumsikan satu bukti hanya berlaku untuk satu orang dan perbuatan saja. "Apabila logika ini digunakan, maka tidak ada pengusutan perkara tindak pidana korupsi yang berdasar pada pengembangan kasus lain," kata Miko.
Dia mengatakan, persoalan lain adalah pertimbangan yang menyatakan penetapan tersangka tidak sah karena dilakukan pada awal penyidikan. Hakim menganggap ini menyimpang dari pasal 44 UU KPK. Padahal, kata Miko, jika dirunut penetapan tersangka dilakukan melalui pengembangan kasus yang kesimpulannya telah diperoleh minimal dua alat bukti yang sah.
"Karena itu, KPK sah saja menetapkan SN sebagai tersangka sepanjang memiliki kecukupan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti sah," ujarnya.
Dia mengatakan, praperadilan Novanto bukan pemeriksaan pokok perkara. Praperadilan hanya menguji sah tidaknya penetapan tersangka.
Dalam konteks ini, Miko menegaskan, berdasarkan Perma 4/2016 hakim hanya menguji aspek formil dari minimal dua alat bukti yang sah yang dimiliki. Penentuan bersalah atau tidaknya Novanto nanti akan dilakukan pada pemeriksaan pokok perkara.
"Artinya, putusan praperadilan ini tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana," ujarnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hakim yang Menangkan Setya Novanto Sudah 4 Kali Dilaporkan
Redaktur & Reporter : Boy