jpnn.com, JAKARTA - Saksi kasus suap sengketa pilkada yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan Muhtar Ependy yakni Niko Panji Tirtayasa alias Miko menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya rumah khusus untuk menyekap saksi. Hal itu diungkapkan Miko saat memberikan keterangan di hadapan Panitia Khusus Hak Angket KPK, kemarin (25/7).
Selain itu, Miko juga menuding KPK memberikan fasilitas istimewa kepadanya mulai dari diinapkan di hotel, apartemen, liburan ke Raja Ampat, Papua Barat menggunakan pesawat pribadi, hingga mendapat fasilitas pijit refleksi. Miko pun mengklaim kesaksiannya diatur penyidik dan jaksa KPK.
BACA JUGA: KPK Kantongi Dua Tersangka Baru Kasus Suap Bupati Klaten
Namun, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan semua tudingan Miko itu sudah pernah diklarifikasi sebelumnya. Namun, kini Pansus malah meminta lagi keterangan yang dianggap tidak benar dari Nico tersebut.
“Saksi Miko kenapa penting bagi angket mendengarkan kembali informasi yang sudah diklarifikasi bahwa itu informasi tidak benar. Tidak apa-apa, mungkin butuh penjelasan kembali dan sudah dijelaskan,” kata Febri di kantornya, Rabu (26/7).
BACA JUGA: Napi Kesaksian Palsu Difasilitasi Pansus Angket KPK, Silakan Publik Menilainya
Menurut dia, Miko dulu pernah meminta perlindungan kepada KPK karena merasa terancam. Namun, kala itu KPK tidak langsung mengabulkan begitu saja.
“Kami analisis, cek lokasi apakah ada serangan atau intimidasi. Setelah itu perlindungan kami berikan,” katanya.
BACA JUGA: Pansus Angket: Indonesia Masih Butuh KPK
Nah, kata Febri, saat diberikan perlindungan itu KPK merasa Miko perlu ditempatkan di save house. Ini supaya saksi merasa nyaman dan aman. Namun, Febri enggan menyebutkan lokasi save house untuk melindungi saksi perkara korupsi dengan alasan kerahasiaan. Yang jelas, lokasi yang disebut Miko apalagi dianggapnya sebagai rumah penyiksaan saksi itu sama sekali tidak benar. “Secara spesifik kami tisak bisa sampaikan,” tegasnya.
Soal biaya hidup, Febri menjelaskan, KPK memang punya kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang perlindungan saksi dan korban. Indikatornya, kata dia, saat itu KPK tahu Miko pengangguran dan tidak ada penghasilan untuk diberikan kepada keluarganya. Sedangkan keterangannya sangat dibutuhkan terkait proses hukum yang tengah digarap komisi antikorupsi.
“Maka diberikan penggantian biaya hidup sesuai standar biaya atau upah minium di daerah tersebut,” katanya. Namun, kata Febri, dalam perjalanannya keberadaan Miko sempat tidak diketahui. Hal ini berdasarkan keterangan istri Miko.
“Maka pemberian bantuan kami transfer langsung kepada pihak keluarga,” ujarnya.
Namun, lanjut dia, setelah itu Miko tidak mematuhi perjanjian untuk kooperatif hadir di persidangan memberikan kesaksian. Bahkan, lanjut Febri, ada dugaan pelanggaran-pelanggaran tertentu yang dilakukan. “Maka KPK memutuskan menghentikan perlindungan tersebut,” katanya.
Lebih lanjut, Febri juga mengaku KPK tidak mengetahui soal klaim Miko yang pernah dibawa jalan-jalan ke Raja Ampat.
“Kami tidak tahu, yang pasti KPK hanya memberikan bantuan biaya hidup yang diatur dalam UU yang menjadi dasar kami,” paparnya.
Soal pergantian identitas Miko, Febri mengatakan, itu tidak pernah dilakukan KPK.
“Perlindungan juga tahap penggantian identitas, tapi kami tidak melakukan itu karena dirasa tidak perlu,” jelasnya.
Lebih lanjut Febri menegaskan bahwa kasus-kasus yang terkait dengan kesaksian Miko, Akil Mochtar, maupun Muhtar Ependy tetap terus berjalan. KPK tidak bergantung kepada satu atau dua saksi saja. KPK bekerja berdasarkan bukti kuat yang dimiliki. Bahkan, sudah sudah ada perkara yang berkekuatan hukum tetap.
“Dalam kasus Akil Mochtar misalnya yang dihukum seumur hidup,” tegasnya.
KPK tidak khawatir jika ada satu dua saksi di tengah perjalanan kasus mengubah keterangannya atau memberikan keterangan yang tidak benar. “Meski demikian kami ingatkan ada risiko dan ancamannya sesuai hukum seperti yang sudah pernah kami tangani terhadap sejumlah orang,” paparnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bareskrim Diminta Selamatkan KPK
Redaktur : Tim Redaksi