jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (Sekjen PPP) Arsul Sani meluruskan informasi menyesatkan soal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa menggelar operasi tangkap tangan (OTT) lagi setelah diberlakukannya Undang-Undang KPK baru.
"Ini kan banyak concern dari elemen masyarakat sipil dan dari Wadah Pegawai KPK, cuma menurut saya concern yang disampaikan dalam ruang publik ini tidak pas," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (17/10).
BACA JUGA: Kabar Terbaru Tentang Sikap Presiden Jokowi Terhadap UU KPK
Menurut Arsul, informasi itu adalah dengan berlakunya UU KPK sementara Dewan Pengawas belum terbentuk, maka seolah-olah lembaga antikorupsi itu tidak bisa melakukan OTT lagi.
Sebab, OTT harus dimulai dengan penyadapan. Sementara penyadapan belum bisa dilakukan karena Dewas sebagai tempat meminta izin belumlah terbentuk. "Ini adalah misleading information (informasi yang menyesatkan)," tegasnya.
Dia menjelaskan informasi ini menyesatkan karena dalam Pasal 69D UU Perubahan Kedua UU KPK secara tegas menyatakan bila Dewas belum dibentuk maka pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum aturan baru diberlakukan.
"Jadi, per hari ini belum ada Dewan Pengawas, KPK boleh melakukan penyadapan berdasarkan ketentuan dan SOP yang berlaku di internal KPK. Setelah menyadap ditemukan dan OTT diperbolehkan saja," papar Arsul.
Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini menyatakan bahwa kalau sudah terbentuk, maka penyadapan harus seizin Dewas.
Lebih lanjut, Arsul juga mengkritisi capaian kinerja KPK yang sampai akhir masa jabatan ini tidak banyak menyelesaikan kasus berbasis case building. Dia menegaskan lembaga mana pun kalau diberikan kewenangan menyadap seperti KPK maka bisa melakukan OTT.
Menurutnya, keberhasilan penindakan itu harus dilihat bukan dari banyaknya OTT. "Bukan berarti OTT tidak boleh, loh, tetapi harus dilihat dari banyaknya penindakan kasus korupsi berbasis case building," jelasnya.
Menurut dia, kalau banyak melalui OTT akan menimbulkan pertanyaan apakah lembaga penegak hukum itu sebetulnya punya kemampuan atau tidak melakukan penindakan korupsi berdasarkan case building.
Dia mencontohkan, kasus dugaan korupsi PT Pelindo II yang menjerat mantan Dirut RJ Lino, dan perkara yang menjerat bekas Rektor Universitas Airlangga Prof Fasich, sudah kurang lebih empat tahun tidak tuntas.
"Kalau RJ Lino kan dibilang ini karena complicated alat bukti, nah kalau kasus dugaan korupsi di Unair itu apalagi alasannya kalau itu tidak maju," ujarnya.
Dia mengatakan pada dasarnya setuju dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, tetapi tidak boleh melakukan penghukuman sosial secara tidak profesional seperti terhadap keluarga yang bersangkutan dan sebagainya. "Tidak ada alasan itu, cuma pengadaan pembangunan kenapa kok tidak selesai," ungkapnya.
Karena itu, dia menegaskan pihaknya akan meminta pimpinan KPK membuat memori akhir jabatan untuk melihat kasus berbasis case building yang sudah dan belum diselesaikan.
“Nanti dilihatlah seperti apa, banyakan mana,” pungkasnya.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy