jpnn.com, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mengungkapkan adanya aliran dana korupsi dari proyek Backbone Coastal Surveillance System di Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada tahun anggaran 2016 terhadap Ali Fahmi alias Fahmi Habsy.
Dana itu diberikan oleh Direktur PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno senilai Rp 3,5 miliar.
BACA JUGA: Jokowi Mulai Gelar Ratas dengan Tatap Muka
Dari proyek itu, Rahardjo Pratjihno diperkaya Rp 60.329.008.006,92 dan merugikan keuangan negara sebesar Rp 63.829.008.006.
Jaksa mengatakan, pemberian uang kepada Ali Fahmi melalui seorang perantaraan bernama Hardy Stefanus.
BACA JUGA: Polda Metro Jaya Rencana Buka Pelayanan SIM di Mal
Menurut jaksa, uang itu merupakan realisasi komitmen fee atas diperolehnya proyek backbone di Bakamla.
"Pada akhir Oktober 2016 bertempat di daerah Menteng Jakarta Pusat, terdakwa (Rahardjo) memberikan selembar cek Bank Mandiri kepada Hardy Stefanus senilai Rp 3,5 miliar kepada Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebagai realisasi komitmen fee atas diperolehnya proyek backbone di Bakamla," ujar jaksa Kresno Anto Wibowo dalam sidang perkara tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (8/6).
BACA JUGA: Selandia Baru Klaim Virus Corona Telah Disingkirkan
Setelah menerima cek tersebut, kata jaksa, Ferdy pada 28 Oktober 2016 mencairkannya dan menukarkan dalam bentuk uang dollar Singapura sebesar Rp 3 miliar.
Sementara sisanya tetap dalam bentuk mata uang rupiah sebagaimana arahan dari Ali Fahmi.
"Selanjutnya Hardy Stefanus menyerahkan uang yang bersumber dari Terdakwa tersebut kepada Ali Fahmi Habsyi di gerai Starbuck dekat Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran pada saat acara pameran Indo Defence," ungkap jaksa.
PT CMI Teknologi (CMIT) milik Rahardjo Pratjihno berhasil mendapatkan proyek Backbone Coastal Surveillance System di Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada tahun anggaran 2016 berkat Ali Fahmi.
Awalnya, Rahardjo diajak Ali Fahmi kantor Bakamla pada Maret 2016. Saat itu Ali dan Hardjono menemui Arief Meidyanto selaku Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla.
"Ali Fahmi memperkenalkan terdakwa sebagai konsultan IT yang diminta untuk mengembangkan teknologi di Bakamla. Atas penyampaian tersebut Arief Meidyanto menjelaskan tentang sistem Bakamla Integrated Information System (BIIS) dan adanya keinginan untuk mengembangkan sistem teknologi BIIS," kata jaksa.
Terdakwa lalu menyampaikan akan membawa tim teknis dari PT CMI Teknologi untuk kembali berdiskusi dengan Arief Meidyanto terkait pengembangan sistem teknologi BIIS di Bakamla.
Sekitar seminggu kemudian, ungkap jaksa, Hardjono beserta stafnya dari PT CMI Teknologi kembali datang ke kantor Bakamla menemui Arief dalam rangka pembahasan lebih detail tentang rencana pengembangan sistem BIIS yang dimiliki Bakamla.
Pada pertemuan itu Arief memperkenalkan Hardjono dengan Arie Soedewo yang menjabat selaku Kabakamla.
"Terdakwa mengusulkan kepada Arie Soedewo dan Arief Meidyanto agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau Backbone Surveillance yang terintegrasi dengan BIIS," tutur jaksa.
Pada April 2016, Arie Soedewo di ruang rapat Kabakamla memerintahkan kepada setiap unit kerja agar mengusulkan kegiatan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) pada usulan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Bakamla Tahun Anggaran (TA) 2016 karena adanya rencana penambahan anggaran untuk Bakamla.
Arie juga mengarahkan Arief Meidyanto agar dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk pembuatan RKA-K/L dapat berkonsultasi dengan Hardjono yang pada saat itu sedang berada di Bakamla.
"Pada Mei 2016 bertempat di Cafe Ajag Ijig Jalan Juanda Nomor 14 Jakarta Pusat, terdakwa melakukan pertemuan dengan Arief Meidyanto membicarakan teknis usulan anggaran pengadaan Backbone sebagai tindak lanjut arahan dari Arie Soedewo. Selanjutnya disepakati bahwa terdakwa akan menyusun spesifikasi teknis yang dibutuhkan masing-masing stasiun Bakamla di daerah yang akan diintegrasikan melalui jaringan Backbone beserta rencana anggarannya (RAB)," ujar kata jaksa.
Setelah dilakukan pembahasan dengan DPR RI, anggaran paket pengadaan BCSS itu berhasil ditampung dalam APBN-P TA 2016 dengan pagu anggaran senilai Rp 400 miliar.
Namun anggaran belum bisa digunakan karena membutuhkan persetujuan lebih lanjut atau istilahnya masih ditandai bintang.
Untuk memuluskan proyek tersebut, Rahardjo bermufakat dengan Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Bakamla RI Leni Marlena selaku Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) Bakamla RI dan Juli Amar Ma'ruf selaku koordinator ULP Bakamla RI.
Dalam rangka melaksanakan lelang pengadaan paket pekerjaan (proyek) yang terdapat pada APBN-P TA 2016, Arie Sudewo selaku Kabakamla menunjuk dan menetapkan tim kelompok kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang diketuai oleh Leni Marlena.
Setelah ditunjuk menjadi Ketua ULP, sambung Jaksa, Leni dipanggil oleh Ali Fahmi di ruang Kabakamla dan disampaikan mengenai pengadaan barang di Bakamla termasuk backbone nantinya akan dibantu oleh Juli Amar Ma'ruf.
Juli Amar Ma'ruf sebenarnya menjadi koordinator untuk pengadaan yang berada di Deputi Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis. Namun dia diminta membantu mengkoordinasikan pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang ada pada Deputi Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla.
"Pada Juni 2016, Hardjono diperkenalkan dengan Juli Amar Ma'ruf melalui perantaraan Hardy Stefanus yang memberikan nomor telepon Juli Amar Ma'ruf kepada Hardjono. Demikian pula Hardy Stefanua juga memberitahukan kepada Juli Amar Ma'ruf bahwa Hardjono merupakan teman dari Ali Fahmi yang telah di-plot (diarahkan) untuk mengerjakan proyek pengadaan backbone di Bakamla," tutur jaksa.
Pada 16 Agustus 2016, Leni Marlena mengumumkan lelang pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS secara elektronik melalui alamat website
lpse.BAKAMLA.go.id dengan pagu anggaran sebesar Rp 400 miliar.
Karena belum adanya RUP sebagai pedoman lelang, kata jaksa, Leni Marlena justru menetapkan sistem pemilihan penyedia barang/jasa yang dipergunakan adalah pelelangan umum dengan metode pascakualifikasi sistem gugur satu sampul.
"Karena menganggap jenis pekerjaan ini tergolong sederhana sebagaimana usulan dari Juli Amar Ma'ruf, padahal pengadaan backbone tersebut termasuk jenis pekerjaan kompleks yang seharusnya menggunakan pelelangan umum dengan metode penilaian prakualifikasi," ujar jaksa.
Dalam lelang pengadaan backbone tersebut, Leni dan Juli serta anggota tim ULP berpedoman pada HPS dengan nilai Rp 399.805.206.746. Namun, nilai HPS itu belum ditetapkan PPK karena Bambang Udoyo baru ditunjuk dan ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Bambang Udoyo selaku PPK baru menandatangani dokumen spesifikasi teknis dan HPS (tanpa tanggal) pada September 2016 atau setelah proses lelang pengadaan sudah berjalan.
Dokumen spesifikasi teknis dan HPS tersebut disusun ulang oleh Juli Amar Ma'ruf berdasarkan konsep (draft) yang dibuat Arief Meidyanto yang mendapatkan KAK, spesifikasi teknis serta RAB dari PT CMI Teknologi (perusahaan milik terdakwa) sebagai salah satu peserta lelang.
Dikatakan jaksa, Kementerian Keuangan pada Oktober 2016 menyetujui anggaran untuk pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS di Bakamla hanya sebesar
Rp 170.579.594.000.
Karena anggaran yang disetujui kurang dari nilai HPS pengadaan, kata jaksa, seharusnya lelang dibatalkan dan melakukan lelang ulang.
Namun Leni Marlena dan Juli Amar Ma'aruf tidak membatalkan lelang tersebut. Keduanya bersama dengan Bambang Udoyo justru melakukan pertemuan Design Review Meeting (DRM) dengan PT CMI Teknologi terkait adanya pengurangan anggaran yang ditetapkan Kementerian Keuangan dalam pengadaan backbone.
Singkat cerita, PT CMI Teknologi lantas memenangkan proyek tersebut. Rahardjono selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi bersama dengan Bambang Udoyo selaku PPK Bakamla kemudian menandatangani surat perjanjian (kontrak) pengadaan Backbone Coastal Surveillance System yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System senilai Rp 170.579.594.000 pada tanggal 18 Oktober 2016.
"Nilai pekerjaan yang tertuang dalam kontrak tersebut berbeda dengan nilai HPS dan rancangan kontrak yang tertuang dalam dokumen pengadaan," ucap jaksa.
Dalam melaksanakan pekerjaan pengadaan itu, Suhardjono melalui perusahaan miliknya yakni PT CMI Teknologi melakukan subkon dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama, dengan 11 perusahaan.
Sebagaimana termaktub dalam kontrak, jangka waktu PT CMI Teknologi melaksanakan pekerjaan itu pada tanggal 31 Desember 2016.
Namun dalam pelaksanaannya Hardjono tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut. Bahkan ada sejumlah alat yang baru dapat dikirim dan dilakukan instalasi pada pertengahan tahun 2017.
Meski tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut, Bakamla justru melakukan pembayaran kepada PT CMI Teknologi.
Adapun total pembayaran yang telah dilakukan Bakamla RI kepada PT CMI Teknologi untuk pekerjaan pengadaan backbone setelah dipotong PPN adalah sebesar Rp 134.416.720.073.
Pembayaran itu dilakukan Bakamla secara bertahap ke rekening BNI milik PT CMIT.
Dari pencairan uang yang diterima oleh PT CMI Teknologi itu, ternyata yang digunakan untuk pembiayaan pelaksanaan pekerjaan hanya sebesar Rp 70.587.712.066,08.
Alhasil terdapat selisih sebesar Rp 63.829.008.006,92 yang merupakan keuntungan dari pengadaan backbone di Bakamla.
Hardjino selaku pemilik PT CMI Teknologi diuntungkan Rp 60.329.008.006,92. Sementara Ali Fahmi diuntungkan Rp 3,5 miliar.
"Adapun nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp 3,5 miliar," ungkap jaksa. (tan/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga