KPU Siap Lepas Mitra Asing

Tanpa Sipol, Andalkan PNS Tangani Verifikasi

Rabu, 24 Oktober 2012 – 06:36 WIB
JAKARTA - Penolakan mayoritas parpol atas kerja sama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan lembaga donor internasional untuk pemilu (IFES) membuahkan kesepakatan baru. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR kemarin (23/10), KPU menyampaikan komitmen untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan IFES dalam pengelolaan sistem informasi partai politik (sipol).

"Sesuai permintaan, kami tidak akan menggunakan teman konsultan kami," ujar Hadar Navis Gumay, mewakili pernyataaan komisioner KPU dalam RDP di gedung perlemen kemarin.

Menurut Hadar, ketika itu KPU membutuhkan sistem informasi untuk mendukung proses verifikasi. KPU awalnya mengontak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk dimintai bantuan. "Saat itu dua bulan sebelum Agustus. Satu bulan tidak merespons, respons akhir BPPT menyatakan sulit," ujar Hadar.

Karena kebutuhan tersebut, KPU kemudian mengontak IFES. Hadar mengakui, kerja sama dengan IFES tersebut merupakan inisiatif KPU. Namun, dia membantah bahwa sistem itu sepenuhnya ditangani IFES. "Sistem itu kami buat bersama, kontrol berada pada kami," ujarnya.

Hadar menegaskan, pelibatan IFES melalui perhitungan matang. KPU tentu tidak akan merugikan kepentingan nasional dalam kerja sama tersebut. Namun, jika memang kerja sama itu tidak diperlukan, KPU menyatakan siap memaksimalkan tenaga data dan informasi KPU dalam mengolah sipol. "Meski ada kekurangan atas kemampuan, proof (bukti) hitungan kertas itu ada. Itu auditable," tegasnya.

Ketua KPU Husni Kamil Manik menambahkan, KPU siap jika memang sipol tidak digunakan. Namun, konsekuensi tersebut harus ditanggung bersama, tidak hanya dari penyelenggara pemilu. Tanpa sipol, KPU akan memaksimalkan penilaian dan tenaga PNS KPU untuk memverifikasi secara administrasi. "Yang menentukan parpol lolos verifikasi bukan sipol, melainkan komisioner. Namun, komisioner membutuhkan alat bantu," ujarnya.

Saat ini, lanjut Husni, KPU masih mencermati hasil akhir yang disampaikan para verifikator. KPU akan mengambil kesimpulan atas hasil verifikator itu. Sesuai tahap yang dibuat, KPU memiliki waktu hingga 25 Oktober mendatang untuk mengumumkan hasil verifikasi administrasi. "Kami butuh waktu karena harus sampaikan secara ter-publish," tegasnya.

Dalam RDP yang khusus mengundang KPU tersebut, mayoritas anggota Komisi II DPR mengkritisi kebijakan KPU yang menerapkan sipol. Terlebih, pembentukan sipol itu dilakukan KPU melalui kerja sama dengan IFES yang dinilai memiliki track record buruk sejak Pemilu Legislatif 2004.

Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo menilai, sipol yang diterapkan KPU dalam proses verifikasi merugikan parpol. Sejak ditetapkan sebagai salah satu proses input data verifikasi, sipol KPU memiliki instruksi yang berubah-ubah. "Ada 26 instruksi yang diwajibkan kepada parpol. Itu membingungkan parpol," kata Arif.

KPU, ujar Arif, terlihat tidak menguji coba langsung melalui sipol. Sebab, tanpa sosialisasi, sipol langsung berlaku untuk diterapkan dalam verifikasi parpol. Itu juga tidak bisa menjadi jaminan, apakah para petugas di internal KPU memahami sipol. "TI (Teknologi Informasi) bukan perkara gampang, sementara Saudara tidak melakukan sosialisasi," ujar politikus PDIP itu.

Anggota Komisi II DPR Akbar Faizal menilai, permasalahan sipol juga terkait jaminan kerahasiaan data yang dimiliki parpol. Sebab, tidak ada sistem keamanan untuk melindungi sipol tersebut. Akbar menyayangkan posisi KPU yang tanpa sosialisasi mengadakan sipol dengan melibatkan asing. "Ini tidak bisa ditinjau ulang. Ini ditolak saja," ujar politikus Partai Hanura tersebut.

Anggota Komisi II DPR Taufiq Hidayat menambahkan, dirinya sejatinya tidak mau memperumit polemik terkait sipol. Namun, lanjut dia, prinsip keadilan harus dijaga KPU terhadap semua peserta pemilu. KPU harus memahami bahwa terkait sistem IT, diperlukan uji coba dan DPR dilibatkan dalam fungsi pengawasan. "Harus diingat saat basis data DPT itu, perdebatannya lama sekali," ujarnya memberi contoh.

Dalam hal ini, ujar Taufiq, DPR harus yakin atas kemampuan sistem tersebut. Namun, sipol itu hingga kini belum mendapat pengujian yang memadai. "Jadi, saya kira tidak perlu menjadi alat ukur keabsahan. Itu akan merepotkan," tegasnya.

Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa dalam kesimpulan rapatnya menyatakan, program sipol akan terus berjalan. Sebab, sipol hanyalah alat bantu dari KPU dalam memverifikasi administrasi. "Terhadap pengembangan sipol, komisi II berharap KPU tetap melakukan pengembangan lewat kerja sama dengan pihak nonasing," katanya. KPU juga didorong untuk bisa mengembangan sistem TI dan sumber daya manusia di internal penyelenggara pemilu. "Itu dalam rangka kemajuan KPU," tegasnya. (bay/c6/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terpilih Aklamasi, Iwan Sulandjana Pimpin Demokrat Jabar Lagi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler