KPU Susun Jadwal Tahapan Pilkada Serentak 2020

Rabu, 12 Juni 2019 – 05:58 WIB
Ketua KPU Arief Budiman di gedung KPU, Jakarta, Selasa (21/5/2019)dini hari. FOTO: FEDRIK TARIGAN/JAWA POS

jpnn.com, JAKARTA - KPU mulai memersiapkan pelaksanaan Pilkada serentak 2010 yang berlangsung di 270 daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Jadwal disusun bulan ini, sementara tahapan pilkada serentak dimulai September.

Awalnya, pilkada 2020 akan dilaksanakan di 269 daerah sebagaimana pada 2015. Namun, pada 2018, ada satu kota, yakni Makassar, yang terpaksa mengulang pilkada. Calon tunggal pada pilkada di kota itu kalah oleh kotak kosong. Alhasil, pemilihan terpaksa diulang dan dibarengkan pilkada berikutnya, yakni pada 2020.

BACA JUGA: Arti Penting Silaturahmi Bagi Ketua KPU Arief Budiman

Ditambah lagi, ada sedikitnya tiga daerah pemekaran baru yang sedang dinilai apakah layak untuk menyelenggarakan pilkada atau belum. ’’Kalau memenuhi syarat untuk diikutkan di 2020, berarti sekitar 273,’’ terang Ketua KPU Arief Budiman.

Saat ini, pihaknya menyiapkan regulasi terkait tahapan dan jadwal pilkada 2020. Penyusunan dilakukan bulan ini. Peraturan KPU bisa digunakan oleh para pihak untuk melakukan persiapan.

BACA JUGA: Penetapan Caleg DPR RI Terpilih Harus Menunggu Sidang Sengketa Pileg di MK

BACA JUGA: HNW: Kalau MK Putuskan Prabowo yang Menang, Bagaimana?

’’Misalnya, pemerintah daerah mempersiapkan penyusunan anggaran. Sedangkan KPU setempat mempersiapkan rencana kegiatan dan kebutuhan anggaran,’’ lanjutnya.

BACA JUGA: Cerita Ketua KPU Arief Budiman Mendapat Ancaman Akan Dibom

September mendatang, KPU me-launching program satu tahun menjelang pilkada. Sebab, pemungutan suara akan berlangsung pada September 2020. Penentuan bulan itu sudah ditetapkan di UU 10/2016 tentang Pilkada. Maka, tahapannya harus dimulai satu tahun sebelumnya.

Menurut Arief, pihaknya tetap mengacu pada UU 10/2016 selama pembuat UU tidak berencana mengubahnya. ’’Saya ingin menekankan kalau ada hal-hal yang direvisi, jangan sampai tahapannya sudah dimulai, undang-undangnya baru direvisi,’’ tutur alumnus Universitas Airlangga Surabaya itu.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menjelaskan, pihaknya belum memiliki rencana untuk merevisi UU Pilkada yang berlaku saat ini, yakni UU 10/2016.

’’Kecuali kalau pemerintah mengajukan usulan untuk perubahan,’’ terangnya. Bila ada perubahan, komisi II siap membahas lebih lanjut.

Meski demikian, Amali menilai pelaksanaan pilkada 2020 masih diwarnai ketidakpastian. Dalam kondisi normal, pemungutan suara bakal dilaksanakan September 2020.

’’Tapi, kan ada juga pemikiran, ada grand design mau diserentakkan,’’ lanjut politikus Partai Golkar itu. Dalam arti, menyerentakkan waktu pelaksanaan pilkada 2020, 2022, dan 2023 di satu waktu.

Sampai ada kejelasan soal desain pilkada serentak, semua pihak tetap mengacu pada regulasi saat ini. Memang ada beberapa usulan revisi berdasar evaluasi pilkada 2017 dan 2018. Namun, usulan tersebut tidak signifikan.

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menyarankan persiapan pilkada serentak tidak perlu mengubah UU. Sebab, waktunya terlalu mepet dengan jadwal dimulainya tahapan pilkada. ’’Catatan-catatan yang pernah ada itu digarap saja di level peraturan KPU,’’ ujarnya.

BACA JUGA: 4 Komponen Tim Kuasa Hukum Jokowi – Ma’ruf Siap Hadapi Sidang di MK

Itu pun masih dengan catatan khusus. Yakni, Komisi II DPR berkomitmen menyediakan ruang konsultasi yang cepat dan cukup. ’’Kita ini jadi bermasalah dengan pelaksanaan akibat peraturan-peraturan yang terlambat,’’ lanjut Plt ketua KPU periode 2012–2017 itu.

Ada sejumlah catatan buruk pelaksanaan pilkada serentak yang memang perlu mendapat perhatian. Khususnya pelanggaran aturan oleh para peserta. Mulai politik uang hingga mobilisasi ASN. Belum lagi, ada petahana yang seenaknya mereposisi sejumlah pejabat menjelang puncak pilkada.

Menurut Hadar, bila celah-celah yang ada mampu ditutup dengan menggunakan peraturan KPU, tidak perlu mengubah UU. Revisi UU memerlukan waktu panjang karena melibatkan dua pihak, yakni DPR dan pemerintah.

Berbeda halnya dengan peraturan KPU yang merupakan otoritas penuh KPU. KPU hanya diwajibkan berkonsultasi kepada komisi II dan pemerintah mengenai substansi aturan. (byu/c6/fat)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Skenario KPU Jika Hasil Pilpres 2019 Tak Digugat ke MK


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler