jpnn.com - Metode Kretjie-Morgan pertama kali muncul dalam jurnal “Educational and Psychological Measurement” tahun 1970, halaman 607-610.
Judul artikelnya adalah “Determining Samples Sizes for Research Activities”, ditulis oleh Robert V. Kretjie (University of Minnesota) dan Daryle W. Morgan (Texas A. & M. University).
BACA JUGA: KPU Diminta Membuka Ruang Keterlibatan Publik Dalam Proses Verifikasi Parpol
Artikel yang ditulis oleh Kretjie dan Morgan tahun 1970 tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan (pembuatan tabel) dari sebuah artikel yang terbit 10 tahun sebelumnya, di tahun 1960, dalam bulletin penelitian NEA (National Education Association) edisi ke38, di Amerika Serikat.
Judul dari artikel di bulletin penelitian NEA tersebut adalah “Small Sample Techniques”.
BACA JUGA: KPU Akan Gunakan Rantis Maung untuk Distribusi Logistik Pemilu 2024, DPR Merespons Begini
Di dalam artikel “Small Sample Techniques”, divisi penelitian NEA menggunakan metode ini untuk mengetahui opini dari para guru sekolah di Amerika Serikat.
Saat itu jumlah guru sekolah di Amerika Serikat berjumlah 1,4 juta jiwa.
BACA JUGA: KPU dan Bawaslu Datangi Kantor DPP Partai Perindo, Begini Akhirnya
Bagaimana sampel yang kecil dapat memberikan gambaran yang sebenarnya dari opini 1,4 juta guru?
Menurut para peneliti, hal tersebut sangat bergantung pada derajat akurasi dan kepercayaan yang diinginkan.
Divisi penelitian NEA kemudian menetapkan standar ukuran minimal sampel untuk memberikan akurasi 5 persen dengan tingkat kepercayaan 90 persen.
Ini artinya peluang 9 dari 10 guru yang terlapor menjawab dalam polling pendapat tidak bervariasi lebih dari 5 persen dari pendapat yang sebenarnya dari seluruh guru.
Dalam menentukan ukuran sampel, standar-standar minimum tersebut harus diaplikasikan hingga sub grup terkecil dari guru-guru yang datanya dibutuhkan.
Saat itu divisi penelitian NEA ingin mengetahui opini dari para guru yang terbagi dalam grup-grup: a) guru laki-laki dan perempuan; b) guru sekolah dasar dan SMP (secondary school).
Karena tidak ada daftar nama dari seluruh 1,4 juta guru yang akan disampel, diambil proses sampel dua tahap.
Pertama adalah sampel dari distrik-distrik sekolah; dan Kedua, sampel para guru di masing-masing distrik tersebut.
Untuk mendapatkan data-data tersebut, NEA bekerjasama dengan US Berau of the Cencus (semacam BPS).
Dan dengan metode teknik penyederhanaan sampel yang dikembangkan oleh divisi penelitian NEA selama dua tahun, dihasilkan ukuran sampel sebanyak 1.026 guru dari total populasi guru di Amerika Serikat sebanyak 1,4 juta jiwa.
Ini berarti setiap guru memiliki satu kesempatan dalam 1227 (1,4 juta: 1.026) untuk terpilih menjadi sampel.
Dari kesuksesan penelitian ilmiah NEA dalam melakukan jajak pendapat para guru, yang dituliskan tahun 1960 inilah lahirlah metode dan tabel Kretjie-Morgan yang dipublikasikan di jurnal “Pengukuran Pendidikan dan Psikologi” pada tahun 1970.
Hanya Digunakan pada penelitian Ilmiah Menggali Opini
Dalam judul tulisan Kretjie dan Morgan pada tahun 1970, jelas disebutkan bahwa tujuan dari metode yang mereka hasilkan adalah untuk “Menentukan Ukuran Sampel untuk Aktivitas Penelitian Ilmiah”.
Sekarang pertanyaan kita adalah: apakah kegiatan verifikasi KPU adalah sebuah penelitian ilmiah?
Fred Kerlinger (1986), seorang pakar Behaviorial Research (Penelitiah Ilmiah tentang Kecenderungan/Sikap Manusia), menjelaskan bahwa penelitian ilmiah adalah investigasi sistematis, terkendali, empiris, dan kritis terhadap fenomena alam, yang dilaksanakan sedemikiian rupa sehingga yang melakukan investigasi dapat memiliki kepercayaan kritis pada hasil penelitian ilimiah.
Jelas KPU bukan Lembaga yang layak untuk dapat melakukan penelitian ilmiah. Para komisioner di pusat hingga ke daerah adalah para aktivis yang dipilih oleh politisi, bukanlah seorang calon master atau calon doktor yang memang berkomitmen untuk mengembangkan keilmuan di kampus atau insitusi penelitian.
Kalaupun ada, sepertinya komitmen para komisioner adalah untuk menyenangkan para parpol di parlemen, yang tidak melalui verifikasi dengan Kretje-Morgan ini.
Coba misalnya seluruh parpol di parlemen harus melakukan verifikasi faktual dengan Kretje-Morgan, bisa-bisa dibuat Pansus untuk mempertanyakan KPU dan metodanya di DPR RI.
Pertanyaan berikutnya. Apakah KPU sudah pernah mengajukan tesis dari Lembaga mereka bahwa metode Kretje-Morgan dapat digunakan untuk verifikasi peserta Pemilu, kepada suatu insitusi atau organisasi para pakar statistik?
KPU menyatakan bahwa mereka sudah melakukan uji publik tahun lalu.
Pertanyaannya apakah uji publik tersebut sudah memastikan bahwa apa yang dilakukan oleh KPU memenuhi syarat “sistematis, empiris, dan kritis”? Jelas sama sekali tidak.
Sekarang pertanyaan yang paling utama dari tulisan ini adalah: apakah layak metode sampling untuk mendapatkan opini malah digunakan untuk melakukan eliminasi politik? Di negara asalnya, Amerika Serikat, metode Kretje-Morgan tidak pernah digunakan selain untuk mendapatkan opini publik.
Dalam berbagai penelitian di berbagai negara lain yang menggunakan metode Kretje-Morgan juga untuk meneliti opini publik.
Jadi belum ada pengalaman empiris di negara lain di mana pun metode ini diterapkan untuk proses eliminasi politik.
Satu-satunya hanya di Indonesia, oleh Lembaga KPU, metode Kretje-Morgan digunakan untuk melakukan verifikasi atau eliminasi politik. Dan hasilnya sesuai dugaan, seluruh partai baru “terbantai”, menjadi tereliminasi pada tahap pertama.
Untuk bisa melewati metoda Kretje-Morgan ini, setidaknya jumlah anggota yang harus dicari oleh setiap partai baru di kabupaten menjadi 2,5 kali lipat dari ketentuan 1000 anggota (atau 1/1000).
Partai-partai di parlemen pun saya rasa tidak akan ada yang sanggup, karena faktanya mereka semua lolos verifikasi di masa lalu pada saat metode ini belum diterapkan.
Jadi apa tujuan dari lembaga yang bukan lembaga limiah, memaksakan menggunakan metode yang tidak seusai peruntukkannya -bukan untuk mengetahui opini, tapi untuk mengeliminasi?
Semoga saja tujuannya bukan titipan dari partai-partai di parlemen untuk menggagalkan masuknya partai-partai baru.
Atau ada tujuan lain: membuat partai-partai baru menyerah sehingga terpaksa harus “menyuap”
KPU agar diloloskan? Semoga saja tidak demikian.***
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif