Krisis Pendidikan Nilai di Tingkat Dasar dan Menengah di Indonesia

Rabu, 16 Oktober 2024 – 09:29 WIB
Direktur Perkumpulan Strada dan Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Jakarta Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Di Indonesia, pendidikan nilai di tingkat dasar dan menengah pada skala umum relatif baik, namun jika dilihat dari sisi buram, sesungguhnya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ada beberapa krisis yang perlu diperhatikan.

Banyak sekolah mengalami kesulitan dalam menanamkan nilai-nilai moral dan etika pada siswa, seperti kejujuran, disiplin, dan rasa tanggung jawab.

BACA JUGA: Pendidikan di Australia Mengkhawatirkan karena Sistemnya Rusak?

Anak-anak semakin terpapar pada lingkungan yang tidak memprioritaskan integritas, sehingga nilai-nilai ini tidak tertanam kuat dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Selain itu, teknologi, terutama media sosial, sering kali mempromosikan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan, seperti konsumerisme berlebihan, individualisme, dan perilaku antisosial. Kurangnya pengawasan dalam penggunaan teknologi oleh siswa menambah tantangan dalam membentuk kepribadian dan karakter.

BACA JUGA: Produk Reksa Dana BRI-MI Dukung Kemajuan Pendidikan di Indonesia

Krisis pendidikan juga dipicu oleh kurikulum di tingkat dasar dan menengah sering terlalu berfokus pada pencapaian akademik dan mengabaikan pentingnya pendidikan karakter dan nilai-nilai moral.

Hal tersebut menurut Ramli (2020) dapat mengakibatkan ketidakseimbangan antara keterampilan kognitif dan emosional dalam diri siswa. Krisis nilai juga terjadi karena kekurangan tokoh panutan positif di lingkungan sekolah dan masyarakat. Guru dan orang dewasa di sekitar siswa sering kali tidak mampu menjadi teladan konsisten dalam hal moral dan etika (Susanto, 2019).

Dalam krisis pendidikan, biasanya sistem pendidikan terlalu menekankan pada hasil akademik dan kompetisi menciptakan tekanan bagi siswa dalam meraih prestasi dengan cara apa pun, termasuk cara-cara yang tidak etis. Hal demikian memperlemah pemahaman siswa tentang nilai kerjasama, empati, dan solidaritas.

Dalam situasi krisis, siswa sering mengalami kebingungan identitas, di mana mereka sulit membedakan antara nilai-nilai benar dan salah, dikarenakan minimnya pendidikan yang menekankan pengembangan karakter.

Akibatnya, kesadaran sosial mereka juga rendah, termasuk dalam hal penghargaan terhadap keanekaragaman dan kepedulian terhadap orang lain.

Pendidikan nilai seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, namun juga melibatkan orang tua. Namun, banyak orang tua kurang terlibat dalam membimbing anak-anak mereka mengenai nilai-nilai moral di rumah, yang semakin memperparah krisis ini.

Faktor lingkungan yang negatif terbukti sangat berpengaruh, misalnya tekanan sosial dan ekonomi, juga berdampak pada krisis pendidikan nilai. Ketimpangan sosial-ekonomi dapat memperburuk kondisi pendidikan, di mana nilai-nilai solidaritas, kesetaraan, dan keadilan sosial sering kali terabaikan dalam kehidupan siswa sehari-hari.

Persoalan krisis di atas perlu diatasi segera. Pendidikan karakter diharapkan menjadi bagian inti dari kurikulum, tidak hanya sebagai tambahan. Untuk mendukung hal tersebut, perlu melibatkan integrasi nilai-nilai moral seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab, empati, dan solidaritas dalam pembelajaran sehari-hari.

Program-program pendidikan karakter yang dihubungkan langsung dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari dapat memperkuat pemahaman mereka tentang pentingnya nilai-nilai ini dalam dunia nyata.

Sekolah seharusnya aktif dalam memfasilitasi pemahaman siswa terkait penggunaan teknologi secara etis.

Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun pedoman penggunaan media sosial yang sehat, serta memberikan bimbingan tentang dampak negatif dari konsumerisme dan individualisme yang kerap dipromosikan oleh media digital (Putri, 2021).

Pendidikan literasi digital juga penting dalam membekali siswa menghadapi tantangan era teknologi secara bijaksana (Santoso, 2020).

Pendidikan tidak boleh hanya berfokus pada hasil akademik, tetapi juga mencakup pengembangan keterampilan sosial-emosional. Melalui kegiatan ekstrakurikuler, pendidikan seni, olahraga, dan proyek kolaboratif, siswa dapat belajar tentang kerjasama, empati, dan solidaritas, serta mengembangkan kesadaran sosial lebih mendalam.

Guru seharusnya dapat menjadi teladan positif bagi siswa, baik di dalam maupun di luar kelas. Pelatihan guru yang mencakup pengembangan karakter dan etika profesional membantu mereka menjadi model konsisten dalam menjalankan nilai-nilai moral. Interaksi yang penuh integritas antara guru dan siswa akan menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung.

Sistem pendidikan perlu mengurangi tekanan pada hasil akademik yang semata-mata berorientasi pada kompetisi. Sebaliknya, nilai-nilai kerjasama, kerja tim, dan gotong royong harus ditekankan melalui aktivitas pembelajaran yang menumbuhkan semangat kebersamaan dan saling menghargai, tanpa harus mengorbankan pencapaian akademik.

Pendidikan seharusnya membantu siswa memahami dan mengembangkan identitas moral mereka. Diskusi tentang nilai-nilai benar dan salah dapat dilakukan melalui modul ajar, yang mendorong siswa agar berpikir kritis tentang etika, moral, dan keadilan sosial. Hal demikian tentu saja dapat memperkuat penghargaan terhadap keanekaragaman dan solidaritas antar individu.

Orang tua perlu dilibatkan secara aktif dalam pendidikan karakter anak. Suryani (2022) berpendapat bahwa sekolah dapat mengadakan seminar atau sesi pelatihan bagi orang tua guna membekali diri dengan keterampilan mendidik anak-anak mereka tentang nilai-nilai moral di rumah.

Dalam analisis Hidayat (2021) komunikasi yang kuat antara sekolah dan orang tua akan memastikan pendidikan nilai berlangsung secara konsisten di kedua lingkungan.

Lingkungan sosial dan ekonomi yang mendukung pendidikan nilai juga sangat penting. Sekolah perlu bekerja sama dengan komunitas lokal dan pihak lain dalam rangka menciptakan iklim yang mendorong solidaritas, kesetaraan, dan keadilan sosial.

Mengatasi ketimpangan sosial-ekonomi, misalnya melalui program beasiswa atau bantuan sosial, dapat memastikan bahwa semua siswa memiliki akses yang adil terhadap pendidikan berkualitas yang mendukung pengembangan moral mereka.

Semoga krisis pendidikan nilai yang melanda di tingkat dasar dan menengah saat ini bisa segera teratasi. Untuk itu, sistem pendidikan harus merumuskan ulang pendekatan terhadap pendidikan nilai secara lebih holistik dan seimbang.

Hal ini penting agar peserta didik tidak hanya dibekali dengan pengetahuan kognitif, tetapi juga dengan fondasi moral kokoh. Pendidikan perlu berfokus pada pengembangan karakter secara menyeluruh, melibatkan aspek emosional, sosial, dan etika.

Dengan begitu, siswa akan mampu mengatasi tantangan moral dan sosial yang semakin kompleks dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan mereka pribadi seimbang dan berintegritas tinggi.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler