jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Sukamta, meminta Presiden Joko Widodo untuk jujur kepada rakyat jika harus menerapkan kebijakan New Normal, yang berarti berdamai dengan Covid-19.
Sebab, dia curiga tatanan kehidupan normal baru tersebut cuma kedok.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Isu PKI Muncul Lagi, TNI dan Polri Dikerahkan di 25 Kota, New Normal
Hal ini disampaikan Sukamta dalam keterangan yang diterima jpnn.com, pada Rabu (27/5) malam.
Sebab, berkali-kali pemerintah wacanakan pelonggaran PSBB dan juga akhir-akhir ini sering menggunakan idiom new normal agar masyarakat siap untuk hidup berdampingan dengan Covid-19.
BACA JUGA: New Normal, Ketum GP Ansor: Saya Harus Katakan dengan Sedih Hati
Padahal, belum lama ini Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin meminta maaf soal corona.
"Belum lama ini Pak Wapres sampaikan permintaan maaf karena virus corona bukan sesuatu yang mudah dihadapi. Dalam suasana Idulfitri tentu kita semua memaafkan. Tetapi tidak cukup hanya minta maaf, yang terpenting pemerintah harus jujur kepada rakyat," ucap Sukamta.
BACA JUGA: New Normal: Daftar Nama 25 Kabupaten dan Kota Dijaga Pasukan TNI dan Polri
Dia mengatakan, berbagai wacana yang muncul dari pemerintah seakan-akan situasi sudah semakin membaik sehingga direspons masyarakat dengan mulai melonggarkan aktivitas.
Terbaru, Kementerian Kesehatan juga telah menerbitkan protokol beradaptasi dengan tatanan normal baru dan Presiden Jokowi meminta aturan itu disosialiasikan secara masif.
"Kan sudah jelas arahnya ke depan pelonggaran PSBB. Mestinya pemerintah jelaskan secara jujur, benarkah situasi penanganan Covid-19 saat ini sudah semakin terkendali atau wacana new normal ini hanya sebagai kedok untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah tangani Covid-19?" tegas legislator asal Yogyakarta ini.
Sukamta mencatat ada lima persoalan mendasar sejak awal penanganan Covid-19 oleh pemerintah.
Pertama, tidak pernah ada kejelasan grand design penanganan virus corona.
Bahkan setelah masa tanggap darurat berjalan hampir 3 bulan tidak jelas tahapan apa saja yang akan dilakukan selain hanya pandai berwacana soal pelonggaran PSBB dan new normal.
"Padahal kejelasan tahapan itu penting tidak hanya dalam upaya penanganan pandemi tetapi juga menjadi rujukan bagi dunia pendidikan, dunia usaha, pariwisata dalam memulai kembali aktivitasnya," sebut anggota Komisi I DPR ini.
Kedua, persoalan mendasar ada pada sistem koordinasi.
Sejauh ini tidak terlihat jelas garis komando antara presiden, kementerian dan gugus tugas dan pemerintah daerah.
Buktinya, kata Sukamta, pada Rabu (27/05/2020) Presiden Jokowi menagih lagi jajarannya target uji spesimen 10 ribu per hari yang sudah dia pesan beberapa bulan yang lalu.
Namun pesan ini tidak jelas ditujukan kepada siapa, apakah Menteri Kesehatan atau Gugus Tugas atau menagih dirinya sendiri sebagai komando tertinggi.
Hal itu, lanjutnya, semakin menunjukkan selama ini tidak ada koordinasi yang baik di jajaran pemerintah pusat.
Sementara komunikasi dengan daerah juga seperti dalam soal pengaturan transportasi yang simpang siur.
"Sudah begitu Presiden mengatakan daerah harus mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 sebelum menerapkan new normal. Ini kan artinya lempar tanggung jawab," ucap Sukamta.
Ketiga, dari pernyataan presiden soal menagih target uji spesimen menunjukkan bahwa selama ini tes Covid-19 masih jauh dari optimal, karena hanya 2 kali yang bisa lebih dari 10 ribu uji spesimen.
Sementara angka-angka yang diumumkan setiap sore oleh Jubir Gugus Tugas tidak memberikan gambaran nyata penyebaran virus.
Bahkan banyak ahli epidemiologi yang mengkritik masalah tersebut. Itu artinya jika kurva Covid-19 yang tersaji hingga saat ini tidak bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan pelonggaran karena masih terbatasnya pengujian yang dilakukan.
Keempat, masih ada kesenjangan sarana prasaran kesehatan di setiap daerah dan juga SDM tenaga kesehatan.
Rasio jumlah tempat tidur rumah sakit di tahun 2018 hanya 1 dibanding 1000 penduduk, di Korea Selatan rasio 11 dibanding 1000 penduduk.
Sementara Presiden meminta Puskemas untuk lebih dilibatkan dalam penanganan Covid-19 namun baru 33 persen yang kondisinya memadai.
"Ini artinya sarpras kesehatan yang ada saat ini tidak memadai untuk menghadapi lonjakan jumlah pasien positif, belum lagi soal ketersediaan APD yang banyak dikeluhkan oleh rumah sakit hingga hari ini," kritiknya.
Kelima, pelaksanaan PSBB di berbagai daerah tidak optimal dan banyak pelanggaran terjadi. Ini bisa dibaca bahwa tingkat kedisiplinan masyarakat masih rendah.
Apakah dengan kondisi masyarakat seperti ini akan siap dengan protokol kesehatan yang ketat?
Maka dari itu, Sukamta menekankan bahwa kejujuran pemerintah sangat penting dalam situasi saat ini.
Seberapa jauh berbagai persoalan mendasar yang ada sudah tertangani dengan baik.
Serta, kurangi komentar yang bernada meremehkan oleh pihak Pemerintah seperti membandingkan angka kematian akibat corona dengan kecelakaan.
"Sebagaimana Pak Menko Polhukam (Mahfud MD) menyebutkan kematian akibat kecelakan dan diare lebih banyak dibandingkan Virus Corona. Komentar-komentar seperti ini bisa mendorong masyarakat menjadi permisif dan akhirnya mengurangi kewaspadaan," tandasnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam