jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas tidak setuju dengan istilah New Normal yang digaungkan Presiden Joko Widodo dan jajarannya di tengah pandemi Covid-19.
Menurutnya, istilah new normal bias kota dan bias intelektual.
BACA JUGA: Ramses Yakin New Normal Bisa Mencegah Gelombang Pengangguran Meluas
"Dalam situasi seperti ini tiba-tiba elite negeri ini ingin menerapkan new normal. Orang di kampung, desa saya di Malang Rembang, enggak akan tahu new normal itu apa. Sejenis ketan atau apa. Dari sisi istilah saja sudah bias, orang enggak akan tahu apa itu new normal," ucap Yaqut.
Hal ini disampaikan politikus yang beken disapa dengan panggilan Gus Yaqut, dalam diskusi secara virtual bertajuk Bincang Seru Menuju New Normal bersama Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, Rabu (27/5).
BACA JUGA: New Normal: Daftar Nama 25 Kabupaten dan Kota Dijaga Pasukan TNI dan Polri
"Yang kedua, kita tiba-tiba bicara new normal. Emang kita pernah normal sebelumnya?. Kita belum pernah normal sebelumnya, saya harus katakan dengan sedih hati," lanjut wakil ketua Komisi II DPR ini.
Hal itu karena dalam pandangannya, apa yang diamanatkan para pendiri bangsa dan konstitusi negara ini belum sepenuhnya dijalankan oleh pemegang kekuasaan negeri ini.
BACA JUGA: Nikita Mirzani Terang-terangan Menyebut Nama Ariel NOAH
"Masih banyak orang miskin terlantar, masih banyak yatim piatu enggak terurus dan seterusnya, kesenjangan juga melebar. Nah tiba-tiba kita dihadapkan dengan new normal," sebut legislator PKB itu.
Bicara new normal dalam konteks pandemi pun, Gus Yaqut menyampaikan, ada dua pandangan secara terminologi.
Pertama, pandangan yang mengatakan new normal bisa ditetapkan setelah kurva pandemi ini melandai, baru bisa bicara kondisi normal baru.
Di sisi lain ada juga pandangan bahwa tidak perlu menunggu landai karena sebelum ada pandemi dan ketika mengalami pandemi ini, kehidupan masyarakat berbeda.
Artinya rakyat melakukan adaptasi terhadap situasi pandemi. Itulah yang disebut new normal.
Sementara dalam pandangannya pribadi, Gus Yaqut menyatakan new normal itu bisa terjadi dengan beberapa syarat.
Pertama, tren penambahan kasus baru semakin kecil. Artinya ada kendali dan yang memiliki otoritas menyatakan penambahan kasus semakin kecil.
Kedua, pasien yang sembuh juga semakin banyak.
Ketiga, penyebaran Covid-19 harus mampu dikendalikan dengan tes, tracing dan isolasi dan hal ini harus ada jaminannya.
"Kalau tiga hal ini tidak bisa diberikan maka new normal tidak berdampak apa-apa selain menambah buruk situasi. Jadi sekarang belum saatnya new normal. Saya kira pemerintah harus konsentrasi ke hal terkait kesehatan rakyatnya dulu," tandasnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam