jpnn.com, JAKARTA - Ekonom senior Rizal Ramli mengkritisi kebijakan pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang memungut pajak pertambahan nilai dan penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucher, kartu perdana, dan token listrik per 1 Februari 2020.
Menurut Rizal, kebijakan itu diambil sebagai dampak utang dengan bunga yang sangat tinggi milik pemerintah.
BACA JUGA: Kritik Rizal Ramli Soal Utang Indonesia Menohok Sri Mulyani
“Mengutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama enam tahun, akhirnya kepepet, Menkeu Sri Mulyani tekan sing printil-printil, seperti memajakan rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa,” ujar Rizal dalam keterangan resminya kepada awak media, Jumat (29/1).
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri itu menilai cara Sri Mulyani dengan menarik pajak tersebut tidak kreatif dan merugikan Presiden Joko Widodo secara politik.
BACA JUGA: Si Bos Tertangkap, Menunduk, Diam di Depan AKBP Jakin
“Mbok kreatif dikit, kek. Jokowi akan terpeleset bersama Menkeu terbalik,” ujar mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu
Sementara itu, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira menilai, kebijakan pemungutan pajak dari penjualan pulsa kontraproduktif dengan pemberian stimulus kepada masyarakat maupun pengusaha pada masa pandemi COVID-19.
BACA JUGA: Nur Fitriani, Penjual Mi Ayam Bakso Berparas Cantik, Mau Kenalan?
Diketahui, kata Bhima, saat ini pemerintah meminta masyarakat untuk menggunakan internet dan bekerja dari rumah (Work From Home), sehingga membutuhkan banyak banyak pulsa data atau nomor perdana.
"Kebijakan ini dianggap merupakan beban baru bagi masyarakat,” tutur Bhima.
Selain itu, ujar Bhima, selama ini masyarakat juga sudah dibebankan dengan kenaikan materai. Maka ditambah dengan kenaikan harga PPN ini beban masyarakat tersebut pasti akan bertambah.
Di negara lain, ungkap Bhima, pemerintahannya besar-besaran memberi subsidi kepada rakyatnya. Di Indonesia, justru hal tersebut berbanding terbalik.
“Di negara lain pemerintahannya memberi subsidi kepada perusahaan telekomunikasi, sehingga mereka bisa menambah jaringan untuk daerah terpencil dan terluar,” beber Bhima.
Oleh karena itu, menurut Bhima, kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini.
“Kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital dengan pemberlakukan PPN terhadap pembelian pulsa maupun voucer tersebut,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, keputusan PPh penjualan pulsa tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan atau penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer.
“Kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucer perlu mendapat kepastian hukum," demikian bunyi PMK itu.
PMK tersebut ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan diundangkan pada 22 Januari 2021. (ast/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan