Kuadriliun

Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 02 Juni 2021 – 11:30 WIB
Prabowo Subianto. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - Sekarang ini banyak orang ribut soal jumlah kuadriliun. Banyak yang tidak tahu berapa nol yang ada pada kuadriliun.

Yang jelas, kuadriliun adalah jumlah yang sangat banyak. Dan kalau ditanyakan kepada orang Surabaya, akan dijawab 'sak ndayak'.

BACA JUGA: Ada Kabar Mr. M Mengeruk Uang Triliunan di Kemenhan, Arief Desak Prabowo Jangan Diam

Adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang memicu keingintahuan itu, karena dia mengajukan anggaran pembelian senjata sebesar Rp 1,7 kuadriliun. Jumlah 'sak ndayak' itu akan dipakai untuk membeli senjata dan memperkuat alat utama sistem pertahanan (alutsista).

Kementerian Pertahanan menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Pertahanan dan TNI 2020-2024.

BACA JUGA: Dukung Usulan Prabowo soal Alutsista, Legislator PDIP Tepis Anggapan tentang Kerugian Negara

Dalam dokumen tersebut tertera kebutuhan untuk pengadaan alat pertahanan dan keamanan mencapai Rp 1.788.228.482.251.470 atau Rp1,7 kuadriliun.

Penyebutan angka besar nominal kuadriliun yang relatif asing di telinga itu membuat orang terperangah. Orang pun mencoba-coba mencari hitungan untuk mendapat gambaran seberapa besar jumlah itu.

BACA JUGA: Kapal Selam Hilang Kontak, Wakil Komisi I Sebut Jadi Sinyal untuk Peremajaan Alutsista

Dalam sistem hitungan internasional ada perbedaan antara sistem Amerika dan sistem yang berlaku di Inggris.

Kuadriliun atau dalam bahasa Inggris quadrillion adalah nominal yang setara dengan satu diikuti dengan 15 angka nol.

Di Amerika, satu kuadriliun sama dengan seribu triliun.

Namun, di Inggris, kuadriliun adalah nominal yang setara dengan satu diikuti dengan 24 angka nol.

Dengan demikian, satu kuadriliun di Inggris setara dengan satu septiliun di Amerika.

Sistem numerasi Amerika untuk angka di atas juta mengambil dasar sistem Prancis. Namun, pada 1948, sistem Prancis diubah agar sesuai dengan sistem numerasi Jerman dan Inggris.

Kuadriliun berakar dari kata quadri dan 'illion' yang juga dipakai dalam kata 'million' atau juta.

Anggaran Kemenhan itu rencananya akan dibelanjakan untuk 2020-2024.

Dalam rancangan perpres itu tertulis angka yang dibutuhkan untuk membeli alutsista adalah USD 124.995.000.

Jika dikonversikan menjadi rupiah muncul angka setara Rp 1,7 kuadriliun.

Anggaran sebesar Rp 1,7 kuadriliun ini meliputi akuisisi alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) sebesar USD 79.099.625.314, pembayaran bunga tetap selama lima renstra sebesar USD 13.390.000.000, dan dana kontingensi serta pemeliharaan dan perawatan alpalhankam sebesar USD 32.505.274.686.

Di tengah kondisi yang serba prihatin sekarang ini jumlah ‘sak ndayak’ itu tentu menjadi perhatian banyak orang. Jumlah itu terlihat fantastis karena merupakan akumulasi program 25 tahun ke depan sampai 2044.

Yang menjadi pertanyaan utama adalah dari mana mendapatkan dana sebesar itu. Kalau anggaran itu dibiayai melalui utang luar negeri, bisa dibayangkan bengkaknya utang Indonesia yang sekarang sudah menumpuk sampai Rp 10 ribu triliun.

Kontroversi ini menjadi dilematis karena Indonesia baru saja mengalami tragedi tenggelamnya kapal selam Nanggala 402.

Tragedi itu kemudian membeber kelemahan sistem pertahanan Indonesia, karena kapal selam itu sudah berusia lebih dari 30 tahun melebihi masa operasionalnya yang normal. Selain itu sistem perawatan kapal selam itu juga tidak optimal.

Muncul desakan agar pemerintah serius dalam memperbaiki sistem pertahanan negara. Prabowo kemudian bergerak dengan membuat proposal yang memunculkan angka ‘sak ndayak’ itu.

Bersamaan dengan itu muncul isu mengenai beroperasinya mafia pembelian senjata di TNI. Ada nama yang dimunculkan oleh pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie.

Nama itu diidentifikasi sebagai Mr M. Disebutkan juga bagaimana seluk-beluk praktik mafia dalam pengadaan senjata di TNI.

Munculnya mafia bisnis berinisial M dalam sistem pertahanan nasional itu dianggap justru makin memperburuk persoalan terkait pengadaan alat utama sistem pertahanan. Sayangnya, Connie tak menerangkan lebih detail mengenai siapa sosok Mr. M itu.

Kemenhan pun meminta Connie membuka identitas mafia itu. Juru Bicara Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan bahwa seharusnya Connie membuka saja nama mafia itu, karena Prabowo pasti akan berterima kasih kalau nama itu diungkap dan dilaporkan ke KPK atau kepada polisi.

Connie tidak sekadar mengungkap sosok mafia Mr. M, tetapi juga menceritakan sisi gelap perdagangan senjata di lingkungan TNI yang disebutnya sebagai industri pertahanan bayangan.

Seorang jenderal di lingkungan Kemenhan, sebut Connie, menjadi operator industri pertahanan bayangan itu.

Dahnil Anzar menantang Connie membuka identitas jenderal penguasa industri pertahanan bayangan itu kepada publik.

Permainan deal dalam pengadaan alutsista antara mafia dan angkatan TNI ini pernah diungkap juga sebelumnya oleh mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo.

Dalam buku berjudul "Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan" (2014), dia menceritakan praktik haram yang sudah berlangsung lama di tubuh TNI, yaitu mengadakan alutsista dengan melibatkan deal-deal dengan pihak ketiga atau agen.

Edhie menjelaskan bahwa saat itu TNI AD akan membeli alat bidik (teropong) untuk senapan serbu SS-2. Teropong itu akan didatangkan dari luar negeri karena Pindad belum memproduksinya.

Si agen waktu itu menawarkan harga Rp 30 juta per unit teropong. Menurut Edhie, harga ini terlalu mahal, bahkan lebih mahal daripada senapannya.

Dia lalu mencari tahu harga sebenarnya. Ternyata harga satu unitnya hanya Rp 19 juta.

Adapun setelah dicek harga dari pabriknya di Amerika Serikat hanya Rp 9 juta. Dia sempat ingin membeli langsung teropong dari pabriknya, tetapi pihak pabrik menolak.

Itu adalah contoh kecil bagaimana mafia pengadaan senjata bermain di Kementerian Pertahanan. Praktik yang lebih besar dan melibatkan jaringan yang luas dan tersembunyi diperkirakan masih tetap beroperasi selama ini.

Melaporkan permainan mafia tingkat tinggi ini kepada KPK bisa menjadi solusi.

Namun, KPK dalam masa-masa puncaknya ketika itu pun tidak bisa menyentuh anggaran persenjataan. Apalagi KPK sekarang yang sudah makin kurang efektif karena berbagai penggerogotan yang menyebabkan pelemahan lembaga anti-rasuah itu.

Anggaran ‘sak ndayak’ yang diajukan Prabowo itu akan tetap menjadi misteri yang sulit dipecahkan. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler