JAKARTA--Kasus busung lapar yang merenggut 95 nyawa di Papua Barat menjadi pukulan telak dunia kesehatan Indonesia. Apalagi pekan ini pemerintah sedang merayakan Hari Kesehatan Dunia 2013. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut turun membantu pemerintah mengatasi persoalan ini.
Delegasi World Health Organization (WHO) di Indonesia Khanchit Limpakarnjanarat mengatakan, PBB sangat perhatian terhadap urusan nutrisi penduduk Indonesia. "Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk dalam program SUN (scaling up Nutrition, red)," katanya di Jakarta, Kamis (4/4).
Program SUN ini merupakan kegiatan PBB yang dilandaskan pada prinsip setiap orang berhak mendapatkan hak atas pangan dan gizi yang layak. Program ini menyatukan sejumlah komponen diantaranya pemerintah setempat, masyarakat sipil, PBB, donor, dan perusahaan-perusahaan yang berminat.
Setiap negara yang masuk dalam program SUN ini otomatis sedang mengalami persoalan gizi serius bagi masyarakatnya. Negara harus menempatkan kebijakan strategis terhadap pemenuhan gizi dan pangan yang layak dan baik untuk seluruh masyarakatnya.
"Kita sudah dengar komitmen dari Presiden SBY terhadap peningkatan kualitas gizi untuk masyarakat Indonesia. Terutama kita ketahui bersama di Papua dan Papua Barat," urai Khanchit.
Posisi Indonesia di peta program SUN sejajar negara-negara dengan tingkat kelaparan dan kemiskinan yang akut. Sebut saja Etiopia, Nepal, Bangladesh, Namibia, Mali, Sierra Leone, dan Rwanda. Selain itu juga ada Peru, Mozambik, Burkina Faso, Laos, serta Sri Lanka.
Untuk unsur PBB sendiri, Khancit mengatakan urusan pangan dan gizi di Indonesia tidak ditangani oleh WHO saja. Tetapi juga digarap keroyokan oleh United Nation Childern"s Fund (UNICEF), United Nation Development Programme (UNDP), dan World Food Programme (WFP). Dari laporan yang masuk ke database SUN, pemerintah Indonesia berjanji mengalokasikan anggaran sebesar USD 70 juta (Rp 682,7 miliar) per tahun.
Khancit mengatakan jika persoalan gizi di Indonesia tidak hanya untuk urusan busung lapar saja. Tetapi dia mengatakan persoalan gizi serius lainnya adalah stunting atau pertumbuhan badan lambat alias berbadan kerdil. Laporan yang masuk ke SUN menyebutkan jika ada 7,4 juta anak di Indonesia tumbuh kerdil.
Sementara di Bangladesh ada 5,8 juta anak tumbuh kerdil. Berikutnya di Ethiopia (5,3 juta jiwa), Nepal (1,3 juta jiwa), Yaman (2,5 juta jiwa), dan jumlah paling tinggi ada di Nigeria (11,1 juta jiwa). "Jadi fokus program SUN itu bukan hanya busung lapar, tetapi juga pertumbuhan kerdil," ujar Khanchit. Dia mengatakan jika urusan teknis pengentasan busung lapar dikomando pemerintah setempat.
Sementara itu pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merespon keras kabar busung lapar di Papua Barat yang merenggut 95 nyawa. "Saya tegaskan data itu tidak benar. Bukan data sekali waktu," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2PL) Kemenkes Tjandra Yoga Aditama.
Dia menduga jika angka itu merupakan akumulasi sejak November 2012 hingga Maret 2013, itupun jumlahnya tidak 95 orang. Tjandra mengatakan Kemenkes sudah mengirim sejumlah pasukan khusus dari beberapa direktorat untuk mengecek kebenaran kabar kematian akibat busung lapar itu. Tim itu diturunkan di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
Pengiriman pasukan khusus untuk investigasi, Kemenkes juga mengirim tiga ton makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI). Tim investigasi tadi juga akan melakukan pengobatan masal.
Kemenkes juga sudah meminta data resmi dari pemerintah daerah Papua Barat. Kepala Dinas Kesehatan Papua Barat Otto Parorrongan juga membantah jumlah kasus kematian akibat busung lapar tersebut. Dalam laporan tertulis yang dilayangkan ke Kemenkes, Otto mengatakan data yang benar adalah 15 orang meninggal selama Oktober 2012 hingga Maret 2013.
Rinciannya di kampung Jobijoker ada dua ibu hamil yang meninggal dengan gejala anemia, panas tinggi, dan batu. Lalu ada tiga anak yang meninggal dengan gejala batuk dan panas tinggi. Sementara sepuluh orang lainnya berasal dari desa Badek dan Kavevor dengan diagnosis yang tidak jelas. (wan)
Delegasi World Health Organization (WHO) di Indonesia Khanchit Limpakarnjanarat mengatakan, PBB sangat perhatian terhadap urusan nutrisi penduduk Indonesia. "Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk dalam program SUN (scaling up Nutrition, red)," katanya di Jakarta, Kamis (4/4).
Program SUN ini merupakan kegiatan PBB yang dilandaskan pada prinsip setiap orang berhak mendapatkan hak atas pangan dan gizi yang layak. Program ini menyatukan sejumlah komponen diantaranya pemerintah setempat, masyarakat sipil, PBB, donor, dan perusahaan-perusahaan yang berminat.
Setiap negara yang masuk dalam program SUN ini otomatis sedang mengalami persoalan gizi serius bagi masyarakatnya. Negara harus menempatkan kebijakan strategis terhadap pemenuhan gizi dan pangan yang layak dan baik untuk seluruh masyarakatnya.
"Kita sudah dengar komitmen dari Presiden SBY terhadap peningkatan kualitas gizi untuk masyarakat Indonesia. Terutama kita ketahui bersama di Papua dan Papua Barat," urai Khanchit.
Posisi Indonesia di peta program SUN sejajar negara-negara dengan tingkat kelaparan dan kemiskinan yang akut. Sebut saja Etiopia, Nepal, Bangladesh, Namibia, Mali, Sierra Leone, dan Rwanda. Selain itu juga ada Peru, Mozambik, Burkina Faso, Laos, serta Sri Lanka.
Untuk unsur PBB sendiri, Khancit mengatakan urusan pangan dan gizi di Indonesia tidak ditangani oleh WHO saja. Tetapi juga digarap keroyokan oleh United Nation Childern"s Fund (UNICEF), United Nation Development Programme (UNDP), dan World Food Programme (WFP). Dari laporan yang masuk ke database SUN, pemerintah Indonesia berjanji mengalokasikan anggaran sebesar USD 70 juta (Rp 682,7 miliar) per tahun.
Khancit mengatakan jika persoalan gizi di Indonesia tidak hanya untuk urusan busung lapar saja. Tetapi dia mengatakan persoalan gizi serius lainnya adalah stunting atau pertumbuhan badan lambat alias berbadan kerdil. Laporan yang masuk ke SUN menyebutkan jika ada 7,4 juta anak di Indonesia tumbuh kerdil.
Sementara di Bangladesh ada 5,8 juta anak tumbuh kerdil. Berikutnya di Ethiopia (5,3 juta jiwa), Nepal (1,3 juta jiwa), Yaman (2,5 juta jiwa), dan jumlah paling tinggi ada di Nigeria (11,1 juta jiwa). "Jadi fokus program SUN itu bukan hanya busung lapar, tetapi juga pertumbuhan kerdil," ujar Khanchit. Dia mengatakan jika urusan teknis pengentasan busung lapar dikomando pemerintah setempat.
Sementara itu pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merespon keras kabar busung lapar di Papua Barat yang merenggut 95 nyawa. "Saya tegaskan data itu tidak benar. Bukan data sekali waktu," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2PL) Kemenkes Tjandra Yoga Aditama.
Dia menduga jika angka itu merupakan akumulasi sejak November 2012 hingga Maret 2013, itupun jumlahnya tidak 95 orang. Tjandra mengatakan Kemenkes sudah mengirim sejumlah pasukan khusus dari beberapa direktorat untuk mengecek kebenaran kabar kematian akibat busung lapar itu. Tim itu diturunkan di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
Pengiriman pasukan khusus untuk investigasi, Kemenkes juga mengirim tiga ton makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI). Tim investigasi tadi juga akan melakukan pengobatan masal.
Kemenkes juga sudah meminta data resmi dari pemerintah daerah Papua Barat. Kepala Dinas Kesehatan Papua Barat Otto Parorrongan juga membantah jumlah kasus kematian akibat busung lapar tersebut. Dalam laporan tertulis yang dilayangkan ke Kemenkes, Otto mengatakan data yang benar adalah 15 orang meninggal selama Oktober 2012 hingga Maret 2013.
Rinciannya di kampung Jobijoker ada dua ibu hamil yang meninggal dengan gejala anemia, panas tinggi, dan batu. Lalu ada tiga anak yang meninggal dengan gejala batuk dan panas tinggi. Sementara sepuluh orang lainnya berasal dari desa Badek dan Kavevor dengan diagnosis yang tidak jelas. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Penyerangan LP Berawal dari Gunung Lawu
Redaktur : Tim Redaksi