Kuasa Hukum Rabitah Temukan Banyak Kejanggalan

Sabtu, 04 Maret 2017 – 02:05 WIB
Sri Rabitah, TKI Asal Lombok menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Lombok, NTB. FOTO: Lombok Post/JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Sri Rabitah, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok Utara berhasil menjalani operasi dengan selamat. Selang DJ stent dan batu yang ada di dalam tubuhnya berhasil dikeluarkan. Namun kini korban belum bisa ditemui karena masih dalam masa perawatan.

Koordinator Badan Bantuan Hukum Buruh Migran (BBHBM) M Saleh, yang mendampingi Sri Rabitah mengatakan kondisi Rabitah sekarang sudah mulai pulih setelah menjalani operasi Kamis pagi (2/3), di salah satu rumah sakit swasta di Kota Mataram.

BACA JUGA: Demi Rukmini, Rieke Tulis Surat Terbuka ke Raja Salman

Proses operasi berlangsung selama 3 jam 45 menit, jauh lebih lama dari perkiraan awal hanya 15 hingga 30 menit. Ia tidak tahu alasan secara teknis pihak medis sehingga proses operasi berlangsung cukup lama.

”Sekarang Sri Rabitah sudah ada di ruangan didampingi teman-teman,” katanya, kemarin (2/3).

BACA JUGA: Soal Kisah Sri Rabitah, Novanto Tegas Katakan Begini

Saleh menjelaskan, alasan Sri Rabitah dipindahkan tempat operasi dari RSUP NTB ke rumah sakit swasta, bukan karena pihak keluarga dan kuasa hukum tidak percaya pada tim medis dari rumah sakit pemerintah, atau takut diperiksa polisi, tetapi hal ini semata-mata untuk kenyamanan korban.

Sri Rabitah merasa tidak nyaman di RSUP karena beberapa kali terjadi ada orang tidak dikenal datang melakukan intimidasi pada korban.

BACA JUGA: Ketua DPR Kutuk Pelaku Penghilangan Ginjal TKI

”Persoalan tempat, mungkin dia butuh yang lebih privasi,” katanya.

Saat dirawat di RSUP beberapa waktu lalu, saat tim pendamping keluar ruang perawatan sebentar, Rabitah dan keluarganya sempat didatangi beberapa orang tidak dikenal, dia mengiming-imingin keluarga dengan uang Rp 10 juta, asalkan mau mengatakan bahwa Rabitah gangguan jiwa. Selain itu, Rabitah terus menerus mendapatkan teror melalui telepon, sehingga korban menjadi ketakutan dan mempengaruhi psikologisnya.

”Tidak sekali dua kali itu terjadi, kami khawatir keselamatan dan psikologi korban terganggu,” katanya.

Dalam keterangan persnya, Saleh mengaku tidak ingin menyampaikan terkiat hal-hal medis, yang dapat menimbulkan debat panjang antara kuasa hukum dengan pihak dokter RSUP NTB. Ia menyerahkan sepenuhnya masalah medis ke tim dokter. ”Tapi yang jelas, korban sudah mulai pulih,” katanya.

Ia mengaku, pasca operasi pendamping belum bertemu secara langsung dengan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaan terhadap ginjalnya. Informasi tersebut harus dijelaskan secara medis oleh tim dokter. Tapi yang jelas, pengangkatan batu yang menempel di DJ stent cukup banyak.

Menurutnya, apa yang dialami korban saat ini tidak terjadi begitu saja. Ia menduga ada banyak hal yang memberikan peluang dan kontribusi sehingga kasus ini terjadi. Salah satu temuannya, sejak awal sudah ada proses manipulasi data terhadap korban, dimana Sri yang berasal dari Lombok Utara, tetapi ditulis dari Sesela, Gunung Sari Lombok Timur. Kalau sejak awal sudah ada manipulasi dokumen, maka akan mempengaruhi korban pada tahapan pengiriman selanjutnya.

Dari awal, korban bersama teman-temannya juga akan bekerja menuju Abu Dhabi, bukan ke Qatar. Tapi kenyataanya, mereka dikirim ke Qatar. Menurutnya, tidak mudah mengubah tujuan penempatan TKI, tetapi sekarang semua dokumennya dibuat dengan tujuan Qatar. Baginya hal ini merupakan sebuah kejanggalan. Secara tidak langsung hal ini menyebabkan Sri Rabitah mengalami kasus ginjal saat ini.

”Bisa jadi ada hubungan, saya meminjam istilah direktur perlindungan WNI di luar negeri bapak Iqbal, ini trafficking for organ removal, atau perpindahan organ,” katanya.

Dengan pemalsuan data ini, maka pihak majikan di luar negeri dengan mudah melakukan sesuatu kepada korban. Sebab ia merasa tidak akan ada yang menggugat. Apakah akan dipindah-pidahkan ke tempat lain, tidak diberikan gaji dan sebagainya, termasuk perpindahan organ dalam tubuh korban, tidak akan ada yang tahu.

”Tapi saya belum punya hasil, apakah benar, ginjal kanan punya orang lain dan ginjal kiri punya Rabitah, tapi faktanya dia kemudian sakit,” katanya.

Terkait tidak adanya torehan bekas operasi di tubuh korban, tim pendamping hingga saat ini masih percaya dengan pengakuan korban, bahwa Sri Rabitah pernah mengalami operasi dan sempat melihat bekas jahitan di sebelah kanan tubuhnya, tapi kemudian menghilang saat dibawa ke dalam sebuah ruangan canggih untuk mengilangkan bekasnya.

”Saya curiga itu menggunakan laser, karena banyak sekali laser untuk operasi kecantikan, dia tidak ada bekasnya,” ujar Saleh.

Kejanggalan yang sangat berpengaruh adalah ketika korban bekerja di majikan. Selama tujuh hari bekerja, lima hari di majikan pertama, dua hari ditaruh di rumah ibu majikan korban. Maka tidak masuk akal jika ditiba-tiba dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang sangat detail, pada waktu jelang Magrib, korban di bawa ke rumah sakit Hamad Qatar.

Pada saat itu, dia diminta langsung untuk puasa. Baginya, hal itu menunjukkan sebuah kejanggalan, sebab sebelumnya korban tidak pernah mengalami sakit apapun. Bahkan sampai operasi selesai hingga saat ini, korban tidak pernah diberi tahun penyakitnya oleh pihak medis di Qatar. Lama dibius pun menurutnya masih perlu dipertanyakan, sebab bisa jadi korban pingsan dalam waktu cukup panjang sehingga ada peluang untuk pertukaran organ.

”Ini penting menurut saya untuk dicari lebih jauh,” katanya.

Ketua Perhimpunan Pancakarsa Endang Susilawati menambahkan, kejanggalan lain adalah sepulang dari rumah sakit, dia bukan pulang ke rumah majikan, tapi dia diantar oleh petugas security langsung ke agen pengerah tenaga kerja. Di sana koper korban sudah disiapkan, dan sampai di kantor agen dia disuruh bekerja dan mendapat penyiksaan. Sebenarnya, ada hak untuk korban untuk mengetahui dia sakit apa, dan ada selang di dalam tubuh korban tapi tidak pernah diberitahukan. Padahal selang DJ stent itu paling lama bertahan di dalam tubuh manusia hanya satu bulan. Tapi selama tiga tahun mengalami sakit, baru kemudian mengetahui ada selang.

Kejanggalan lainnya, misalnya pihak majikan dan rumah sakit punya niat baik, mestinya korban dikasi tahu dan rekam medisnya juga diberikan ke korban atau keluarga. Tapi faktanya, jangankan diberikan rekam medis, penyakit apa yang dialaminya dia tidak tahu. Sri Rabitah baru mengetahui ada benda di dalam tubuhnya setelah dua tahun tujuh bulan setelah itu.

”Jadi ini merupakan kejanggalan yang aman sangat tersistematis,” katanya.

Tim Hukum Sri Rabitah, Ahyar Supriadi menambahkan, saat ini pihaknya sedang berupaya menghimpun dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menentukan apa upaya hukum yang harus dilakukan. Di samping itu, ada komitmen yang kuat dari Pemda Kabupaten Lombok Utara (KLU) yang berkontribusi besar untuk menyelesaikan kasus ini.

Selain itu, hak-hak korban untuk mendapatkan dokumen tentang proses yang dialami sejak diberangkatkan dan dipulangkan, menurutnya hal ini adalah tanggungjawab negara.

”Pemerintah daerah, provinsi dan KLU harus membuat tim untuk mencari tahu, apa yang terjadi sebenarnya,” kata Ahyar.

Pendamping bersama kuasa hukum akan berusaha melacak dokumen-dokumen keberangkatan korban, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Sri Rabitah. Salah satu kerja tim juga adalah, mereka harus mengaudit sistem yang semerawut, dan mengaudit data awal kesehatan Rabitah sebelum berangkat, dan hasil rekam medis ketika di Hamad Qatar.(ili/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kunker ke Hongkong, Fahri Hamzah Ingin Pastikan Hak TKI


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler