Kuasa Hukum RJ Lino: Tidak Bisa Hanya Berdasarkan Potensi

Jumat, 22 Januari 2016 – 03:10 WIB
RJ Lino. Foto: JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Proses hukum sejak awal harus memiliki parameter yang jelas. Salah satunya ialah menghadirkan barang bukti. Hal itu seolah menjadi penegas ketika empat saksi ahli dihadirkan kuasa hukum mantan Dirut Pelindo II RJ Lino dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jaksel, Rabu (20/1).

“Penetapan tersangka sah untuk dilakukan, namun harus memiliki parameter yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Hal itulah kemudian hukum pidana Indonesia diatur dalam praperadilan yang dimaksudkan untuk menghormati hak dari pihak yang ditersangkakan,” ungkap pengamat hukum pidana Eva Acjani Zulfa.

BACA JUGA: Pemerintah Pilih Revisi UU Terorisme

Dia menambahkan, hukum pidana Indonesia yang diatur dalam KUHAP menyatakan bahwa proses hukum sejak awal harus jelas dan bisa dipertanggung jawabkan untuk menghormati hak dari pihak yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Kuasa Hukum RJ Lino, Maqdir Ismail menambahkan, dasar penetapan tersangka kepada kliennya oleh KPK tidak melalui proses hukum yang jelas. RJ Lino mengajukan gugatan praperadilan karena menilai tidak ada perbuatan menyalahgunakan kewenangan yang dilakukan dan belum ada kerugian negara yang bisa dibuktikan oleh KPK.

BACA JUGA: Hmmm...Proyek Kereta Cepat Disebut Langgar Dua Undang-undang

“Undang-Undang tentang kerugian negara ini harus jelas, nyata dan pasti. Tidak bisa hanya berdasarkan potensi. Potensi itu bisa ya bisa tidak. Jadi seharusnya yang diikuti KPK untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan korupsi harus nyata dan pasti sesuai dengan UU Keuangan Negara dan sudah dilakukan tahapan hukum yang jelas sebelum mempersangkakan seseorang," ujar Maqdir.

Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyatakan, sidang praperadilan memiliki hak untuk menghadirkan alat bukti asli yang menjadi dasar penetapan seseorang sebagai tersangka.

BACA JUGA: Senangnya Menteri Ini Malaysia Gak Menang Di Ajang UNWTO

Margarito menambahkan, penetapan status tersangka tanpa melalui proses penyidikan lebih dulu untuk mengumpulkan bukti adalah sebuah kesalahan.

Seharusnya, ada bukti yang diperoleh pada tahap penyelidikan digunakan untuk dinaikkan kepada status penyidikan untuk mencari bukti baru hingga kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

“Tidak bisa pada proses penyidikan sudah ditetapkan sebagai tersangka, harus naik dulu ke tahap penyelidikan terlebih dahulu. Ada bukti baru, baru pada tahap penyelidikan ditetapkan status tersangka,” tegas Margarito.

Sementara itu, saksi ahli Dian Simatupang yang merupakan pakar Keuangan Negara FHUI menyatakan, yang disebut kerugian negara harus bisa dibuktikan dan sudah terjadi.

“Selain itu ada proses administrasi yang mengatur hal ini yaitu pengembalian uang negara tersebut. Tidak serta merta masuk ranah pidana,” ujar Dian.

Dia menegaskan, kerugian negara yang dimaksud tentu saja juga harus jelas. Apakah benar hal tersebut benar-benar merupakan negara ataukah menggunakan dana korporasi.

“Untuk itu dibutuhkan penghitungan yang dilakukan oleh lembaga yang berhak yaitu Badan Pemeriksan Keuangan,” kata Dian.

Sementara itu, ahli Hukum Korporasi DR Ibrahim menegaskan, ketika ada suatu keadaan yang dibutuhkan oleh pemegang kekuasaan tertentu, tetapi hukum tidak memberikan jalan keluar, maka di situlah diskresi dibutuhkan.

"Sepanjang diskresi itu proporsional dan tidak ada kepentingan pribadi di dalamnya dan tidak ada niat untuk memperkaya diri, orang lain dan sebuah korporasi maka diskresi itu sah dilakukan," ujar mantan Komisioner Komisi Yudisial tersebut. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Pariwisata : Yang Penting Malaysia Gak Menang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler