jpnn.com - JAKARTA - Fatwa Ketua Majelis Syariah PPP, KH Maimun Zubair dan putusan sela Mahkamah Partai untuk mengakhiri konflik dan dualisme kepengurusan DPP PPP tampaknya sulit terwujud. Pasalnya, kedua kubu yang berseteru masih berkeyakinan bahwa masing-masing mereka merupakan pihak yang benar sehingga enggan untuk memulai proses islah.
Ketua DPP PPP versi Suryadharma Ali, Fernita Darwis menyatakan, bagi pihaknya, jalan islah sudah selesai ketika islah jilid I yang lalu. Dengan demikian, konflik yang terjadi saat ini hanya bisa diselesaikan melalui islah di forum muktamar VIII.
BACA JUGA: Trisakti Kritik Sujud Syukur Amien Rais Lewat Puisi
"Islah ini merupakan hal yang sakral dan tidak bisa untuk mainan. Dulu konflik, terus islah jilid I. Sekarang konflik lagi, terus minta islah lagi? Bagi kami, islah jilid II hanya bisa terwujud di muktamar. Ini nggak lama lagi kok, tanggal 23 Oktober 2014," kata Fernita Darwis, di Jakarta, Minggu (28/9).
Menurut Fernita, Mahkamah Partai tidak berhak memerintahkan kedua kubu untuk islah. Sebab, Mahkamah Partai hanya bertugas menelaah, menganalisa, dan memutuskan hal-hal permasalahan terkait konstitusi partai, terutama pelanggaran AD/ART.
BACA JUGA: Tim Transisi Resmi Bubarkan Pokja dan Relawan
"Kalau islah itu wewenang Majelis Syariah, bukan Mahkamah Partai. Jadi, saya berharap Mahkamah Partai bisa memberikan analisa hukum pada orang-orang yang sudah melanggar konstitusi partai," harapnya.
Selain itu, Fernita menjelaskan pengurus harian DPP PP memiliki kewajiban untuk menjalankan dan melaksanakan sepenuhnya keputusan Muktamar. Menurut Anggaran Dasar PPP, dalam pasal 51 menjelaskan muktamar PP itu bertujuan untuk menetapkan program PP, menetapkan khitoh perjuangan partai dan memilih ketua umum.
BACA JUGA: Amien Rais Dinilai Syukuri Kekalahan Rakyat Indonesia
"Maka jika ada pengurus harian tidak melaksanakan muktamar, yang berisi ketiga tujuan tersebut maka sama saja kader merobek-robek anggaran dasar. Selain itu tugas dan kewajiban pengurus harian DPP, di pasal 16 berisi kalau tidak melaksanakan, maka itu pelanggaran berat. Emron, Romy dan Suharso cs, itu sudah dikenakan sanksi pemecatan dan pemberhentian," jelasnya.
Mengenai pasal 10 yang digunakan Romy cs untuk memberhentikan SDA, menurutnya juga salah karena pasal itu justru hanya bisa digunakan oleh Ketua Umum untuk memberhentikan anggota DPP dan bukan untuk ketum.
"Pasal itu justru untuk memberikan kewenangan pada ketum untuk memecat anggota dan bukan anggota memecat ketum. Dengan pasal ini ketum pun tidak bisa semena-mena memecat anggota. Jadi aneh kalau pengurus yang memecat dengan menggunakan pasal ini," tegasnya.
Secara akal sehat lanjut Fernita, kalau memang pemecatan yang dilakukan oleh SDA yang merupakan ketua umum hasil muktamar dikatakan tidak sah terhadap kader-kader yang dulu diangkatnya setelah muktamar, maka seharusnya pengangkatan mereka terhadap mereka tidak sah juga.
"SDA adalah orang yang terpilih menjadi ketum PPP lewat muktamar. Dia kemudian memilih sekjen dan wakil ketua. Sekarang kalau SDA memecah mereka, itu hak SDA. Kalau dikatakan pemecatan terhadap Sekjen dan beberapa wakil ketua dikatakan tidak sah, maka logikanya, pengangkatan terhadap mereka dulu juga tidak sah. Yang mengangkat dan memecat adalah orang yang sama dan yang diangkat dan dipecat juga orang yang sama. Jadi jelas dari logika saja mereka tidak nyambung dan inkonsisten, pengangkatan mereka oleh SDA sah, tapi pemecatan tidak?," jelasnya.
Oleh karena itu menurut Fernita, Muktamar adalah salah satu jalan untuk islah. SDA akan meletakan jabatannya pada para pemilihnya dalam muktamar.
"Kalau menggunakan analogi bernegara, SDA mengembalikan mandatnya pada rakyat dalam muktamar. Presiden tidak bisa dipecat oleh menterinya dan hanya kepada rakyat mandat dikembalikan. Untuk anggota yang sudah dipecat, maka dia juga tidak berhak lagi berada dalam muktamar," pungkasnya.
Sementara kubu Emron Pangkapi memilih untuk menunggu putusan final dari Mahkamah Partai. Sebab, Emron menilai putusan sela Mahkamah Partai masih bersifat sementara, belum final dan mengikat.
Oleh karena itu, dia meminta Mahkamah Partai segera mengeluarkan putusan final sehingga tidak terombang-ambing dengan konflik PPP.
"Mahmakah Partai jangan mengambangkan melalui putusan sela ini, putusan sela bukan putusan final. Oleh karena itu, kami berharap agar sebelum tanggal 1 Oktober ini sudah ada putusan final," harap Emron.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Uchok: Jokowi-JK Menjadikan Relawan sebagai Herder
Redaktur : Tim Redaksi