Kisah RPKAD Merebut RRI dari G30S PKI, Ada Brigjen Takut Masuk Studio Siaran

Jumat, 30 September 2022 – 22:20 WIB
Ilustrasi: kaus bergambar palu arit yang diidentikkan dengan PKI. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Salah satu momen krusial setelah Gerakan 30 September (G30S) meletus ialah pengambilalihan Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat.

Stasiun radio milik pemerintah itu sempat menjadi corong bagi Letkol Untung Syamsuri setelah anak buahnya menculik enam jenderal TNI Angkatan Darat.

BACA JUGA: Haji Peking dan Rakaat Salat Tokoh yang Dianggap Terlibat G30S PKI

Hendro Subroto dalam buku biografi Sintong Panjaitan yang berjudul 'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' menyebut peranan RRI pusat sangat vital.

Pada 1 Oktober 1965 pukul 04.00, tutur Hendro, G30S PKI menggerakkan pasukan berkekuatan satu divisi dari tentara reguler dan ormas komunis untuk menguasai Jakarta Raya, termasuk dua objek vital di sekitar Monas, yakni RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi.

BACA JUGA: Ketidaksukaan Soeharto pada Keputusan Bung Karno soal Pranoto Pascaperistiwa G30S

Pasukan yang menggunakan sandi Divisi Ampera itu dipimpin oleh Komandan Brigif I/Jaya Sakti Kodam V Jakarta Raya Kolonel A Latief.

Selanjutnya, Kolonel Latief menugaskan Komandan Pasukan Bima Sakti Kapten Suradi menguasai RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi.

BACA JUGA: PKI dan Baladewa

Suradi merupakan Kepala Seksi 1/Intelijen Brigif I/ Jaya Sakti. Pasukannya langsung menguasai RRI di Jalan Medan Merdeka Barat dan Kantor Besar Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka Selatan.

"Dengan demikian stasiun radio yang mampu menjangkau seluruh pelosok tanah air dimanfaatkan untuk kepentingan G30S PKI dan jaringan telekomunikasi di Jakarta menjadi lumpuh," tulisan Hendro di buku terbitan Kompas itu.

G30S PKI pun menggunakan RRI sebagai corongnya. Setelah menyiarkan warta berita yang usai pukul 07.15, RRI mengudarakan maklumat Letkol Untung Syamsuri tentang Dekrit No 1 Dewan Revolusi.

Untung juga mengumumkan mengenai dirinya menjadi pemegang komando G30S yang memiliki wakil komandan dari empat angkatan, yakni Brigjen Supardjo, Kolonel Laut Sunardi, Letkol Udara Heru Atmodjo, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas.

Isi maklumat Untung menyatakan pembersihan terhadap para anggota Dewan Jenderal. Dekrit itu juga mendemisionerkan Kabinet Dwikora.

Pada pukul 10.00, RRI menyiarkan perintah harian Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksdya Omar Dhani yang isinya bernada mendukung G30S.

Syahdan, pada pukul 14.00, RRI menyiarkan dua keputusan Dewan Revolusi Indonesia. Keputusan nomor 1 tentang susunan Dewan Revolusi Indonesia.

Adapun keputusan nomor dua mengenai penurunan pangkat tentara di atas letkol.

Pada hari itu terdapat kekosongan kepemimpinan di TNI AD. Mayjen Soeharto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) mengambil alih komando di TNI AD yang sebelumnya dipegang Letjen A Yani.

Selanjutnya, Soeharto memerintahkan Letkol Sarwo Edhie Wibowo mengambil alih RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi. Saat itu Sarwo Edhie merupakan komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).

Sarwo tiba di Markas Kostrad, Jalan Medan Merdeka Timur pada pukul 11.00 siang. Dia langsung melapor kepada Soeharto.

Setelah menghadap Soeharto pada siang itu, Sarwo menghubungi Komandan Batalion 1 RPKAD Mayor Chalimie Santoso segera bersiaga di Markas Kostrad. Chalimi merupakan tentara yang berpengalaman dalam perjuangan kemerdekaan dan pernah menumpas pemberontakan PKI di Madiun.

Sintong yang saat itu komandan Kompi 1 Tanjung RPKAD juga diperintahkan segera membawa pasukannya  ke Markas Kostrad pada siang hari. Namun, Sintong dan pasukannya terkendala angkutan.

Sebuah truk sipil yang lewat depan Mako RPKAD di Cijantung pung langsung dipakai untuk mengangkut pasukan ke Markas Kostrad.

Sekitar pukul 13.30, Sarwo melapor kepada Soeharto bahwa pasukan RPKAD sudah ada di Markas Kostrad.

Namun, serangan ke RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi belum bisa dilaksanakan pada siang hari. Sejak pagi hingga sore, jalanan di sekitar dua objek vital itu dijaga pasukan dari Yon 454/Banteng Raiders Jawa Tengah dan Yon 530/Raiders Jawa Timur.

Adapun di Jalan Merdeka Utara dan sekitar Istana Kepresidenan dijaga Tjakrabirawa.

Oleh karena itu, Soeharto memilih waktu pengambilalihan RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi begitu jam malam berlaku pada pukul 18.00.

Saat hari mulai remang-remang, Soeharto bertanya kepada Sarwo soal waktu yang dibutuhkan untuk merebut RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi. Sarwo mengestimasi hanya butuh 20 menit untuk merebut dua objek vital itu.

Sintong saat itu memperoleh tugas merebut RRI. Perintah untuk Sintong turun melalui Lettu Feisal Tanjung.

"Tong, kamu rebut RRI. Tutup mulut mereka yang berteriak-teriak mendukung Dewan Revolusi," kata Feisal sebagaimana dikutip Hendro Subroto untuk buku biografi Sintong.

Selanjutnya, Sintong bersama kompinya bergerak memotong Lapangan Monas. Begitu mendekati RRI, salah satu anak buah Sintong menembakkan tiga peluru dari senapan serbu AK-47.

Tembakan itu membuat orang-orang berseragam hijau yang menjaga RRI kabur. Upaya merebut RRI berjalan tanpa perlawanan.

Syahdan, Sintong dan pasukannya tetap menyisir satu demi satu ruangan di RRI.

Setelah memastikan semua ruangan dalam kendali pasukan RPKAD, Sintong melapor melalui radio kepada Feisal Tanjung yang menunggu di Markas Kostrad.

Sintong melaporkan soal RRI sudah direbut. Namun, Sarwo yang memantau operasi anak buahnya sembari memantau siaran RRI justru meragukan laporan Sintong.

"Coba kamu periksa semua ruangan dahulu. Itu aktivitas mereka masih di dalam!" ujar Sarwo dengan nada marah melalui radio kepada Sintong.

Bentakan Sarwo membuat Sintong bingung. Bagaimanapun dia bersama anak buahnya sudah menyisir seluruh ruangan di RRI.

Sintong juga mengumpulkan seluruh pegawai RRI yang saat itu masuk kantor di satu tempat. Selanjutnya, tentara kelahiran Tarutung, 4 September 1940, itu melapor untuk kedua kalinya kepada Sarwo.

Lagi-lagi Sarwo meragukan laporan Sintong. Sarwo meminta anak buahnya tidak buru-buru melapor.

"Kamu tangkap dahulu semua orang yang ada di situ," ucap Sarwo.

Sorot mata Sintong langsung mengarah ke tape recorder besar yang sedang berputar. Dia langsung membatin.

"Jangan-jangan ini yang menjadi masalah. Kalau begitu Pak Sarwo menyangka masih ada anggota G30S PKI yang melakukan siaran, berasal dari suara tape recorder ini."

Sontak Sintong mau memopor tape recorder itu dengan senapannya. Namun, seorang pegawai RRI mencegahnya dan mematikan tape recorder itu dengan mematikan tombol switch off.

Tugas Sintong selanjutnya ialah menyiapkan Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto menyiarkan pernyataan Soeharto.

Namun, Ibnu yang saat itu berjaket hijau dengan tanda kepangkatan tertutup tidak berani masuk ke studio siaran.

Ibnu meminta Sintong memastikan keamanan di dalam studio. "Dik... Dik... coba periksa dahulu," ujar Ibnu seperti disitir Hendro Subroto.

Kapten Heru Sisnodo yang berada di dekat Ibnu langsung bereaksi dengan nada kesal.

"Bapak ini, semua orang sudah di dalam, kok tidak berani masuk," kata Heru.

Walakhir, Sintong mempersilakan Ibnu memasuki studio dan membacakan pidato tertulis Soeharto.

Sintong meyakini pidato Soeharto yang disiarkan itu bukanlah rekaman yang dibuat di Markas Kostrad.

Keyakinan Sintong didasarkan pada ingatannya tentang Ibnu Subroto membuka map di studio RRI, lalu membacakannya dalam siaran.

Menurut Sintong, dirinya berdiri di sebelah kanan Ibnu Subroto. Adapun di sebelah kiri Ibnu adalah pegawai RRI.

Versi lain soal pidato Soeharto direkam terlebih dahulu itu ada dalam buku autobiografinya yang berjudul 'Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya' terbitan 1989.

Soeharto menjelaskan pernyataannya yang disiarkan RRI itu telah direkam sebelumnya di Markas Kostrad pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 15.00.

Setelah pidato Soeharto diudarakan, sejumlah perwira RPKAD tiba di RRI dari Markas Kostrad. Salah satunya menyebut Sintong kampungan.

Pemilik nama lahir Sintong Hamonangan Panjaitan itu dianggap tidak tahu bahwa siaran G30S PKI ternyata berasal dari tape recorder.

Sintong pun menimpali ucapan seniornya. "Tadi saya mendapat perintah mencari orangnya," ucap Sintong memantik tawa.(JPNN.com)

BACA ARTIKEL LAINNYA... PLT Jadi Tersangka Korupsi Dana Covid-19, Dia DPO dan Diburu Intelijen


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler