DUA hari berturut-turut, INDOPOS memasang iklan seruan "Jangan Pilih Kucing dalam Karung!" Tidak ada maksud apapun. Bukan atas pesanan KPUD. Juga bukan titipan Bawaslu. Iklan bergambar kucing, karung, dan buntut panjangnya itu didesain dan dipasang sendiri secara suka rela oleh koran ini. Banyak yang bertanya, apa pesan yang terselinap di balik karung iklan itu?
Kalau sang penanya adalah cat lovers, jawabannya harus denotatif. Pastikan, kucing yang mau dibeli dalam kondisi sehat, tidak cacat fisik, tidak cacat non fisik (galak, cengeng, red), tidak kotor mulut , tidak buram muka, tidak berkutu bulu, tidak jorok telinga, tidak berjamur kulit, tidak agresif-galak (jinak, red). Pastikan tidak membahayakan pada kucing lain maupun manusia.
Sebagai kucing sehat, saat dibelai, sekalipun sedang tiduran dengan mata terpejam, binatang berkumis ini pasti merespons cepat. Tidak diam saja. Paling tidak, buntutnya bergerak, sebagai jawaban atas perlakuan itu. Begitupun kalau ditarik kumisnya, wah pasti langsung bangun, berdiri, bergerak, dan berbicara "miaoo".
Itu baru kumis kucing yang ditarik. Kalau buntutnya, lebih marah lagi dia. Karena itu, memegang kucing itu disarankan di bagian tengkuk.
Kalau sang penanya punya back ground politik, jawabannya harus bermakna konotatif. Pertengahan Juli 2012 nanti, lima setengah bulan lagi, DKI bakal menggelar pemilihan Gubernur baru. Pesan kami tidak muluk-muluk. Jangan asal coblos, jangan asal pilih, jangan asal contreng. Jangan asal tunjuk. Jangan seperti memilih kucing dalam karung.
Tidak tahu asal usulnya? Tidak tahu track record-nya? Tidak tahu reputasi dan pengalaman memimpin? Apalagi tidak tahu konsep membangun Jakarta ke depan? Wah, itu hanya akan menyesal selama lima tahun. (iklan hari ini, red).
Idealnya, memutuskan pilihan pemimpin daerah itu harus yakin 100 persen, bahwa dia mampu! Mampu membawa Jakarta menjadi lebih baik. Mampu membuat Jakarta melompat lebih jauh! Tidak harus lima tahun langsung menjadi Singapura atau Hongkong. Hanya superman yang bisa begitu. Sayangnya, superman dan kawan-kawannya tidak ada yang dicalonkan partai. Juga tidak ada yang maju sebagai calon independen.
Jakarta butuh figur yang memiliki leadership yang kuat, berkarakter, bisa keras tegas seperti Gatotkaca, tetapi juga bisa romantis seperti Arjuna. Bisa menjaga disiplin seperti tentara, juga punya sense of art, kehalusan rasa sebagaimana seorang seniman. Tidak sekadar gubernur yang biasa-biasa saja. Bukan ahli normatif yang ada atau tidak adanya, tidak berkorelasi apapun. Ibarat pesawat terbang, Jakarta ini butuh seorang pilot. Pesawat tidak bisa mendarat dan terbang hanya dengan autopilot.
Lalu siapa dia? Aha‚ saya tidak tahu. Dan tidak terlalu penting saya tahu atau tidak. Kami ini sedang tidak ingin terpengaruh oleh opini tokoh, ahli, pengamat, pemerhati, pelaku politik, ekonom, akademisi, atau siapapun juga. Saya sedang ingin bertanya dari hati ke hati, mengetuk pintu warga Kota Jakarta, satu per satu. Siapa calon gubernur mereka saat ini? Apa alasan memilih calon tersebut?
Setiap hari 100-250 rumah kami datangi, per kelurahan. Kami bertanya kepada mereka, yang sudah berumur 18 tahun lebih, yang mengantongi KTP DKI, yang punya hak pilih, yang bertekat bulat untuk tidak golput, dari berbagai lapisan sosial, profesi dan ekonomi. Kami ingin menangkap suara hati mereka? Suara batin mereka? Siapa tokoh yang paling pantas, saat ini, memimpin DKI?
Kami cetak foto-foto calon yang mencuat ke permukaan, dan masih diberi kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri, kalau tidak ada salah satu di antara calon di gambar itu. Bahkan, mereka sendiri, kalau pede juga boleh mencoblos diri sendiri. Mau dibilang narsis, mau dibilang kepedean, atau apa, itu hak mereka. Kami hormati pilihan itu.
Sesampai di kantor, sore kami acak, kami cek ke nomor telepon yang diberikan kepada surveyor kami, lalu diwawancara. Apakah betul tadi didatangi tim survei Indopos? Apakah jawaban bapak-ibu sudah betul? Apakah alamatnya sesuai? Ini hanya untuk memberi keyakinan kepada kami, bahwa suara mayoritas mereka perlu didengar oleh siapa saja, calon gubernur.
Teknik sampling acak dengan metode polling ini memang sangat popular dalam memetakan suara masyarakat terhadap calon pemimpinnya. Model jajak pendapat ini bersifat cair. Cepat sekali publik berubah. Hari ini memilih A, besok bisa menjadi B. Tergantung input informasi yang masuk di kepala dia. Bisa memperkokoh pendiriannya, bisa menggoyahkan, bisa juga pindah ke lain hati. Satu isu negatif, bisa berdaya rusak tinggi. Begitupun sebaliknya, satu hal positif, bisa menaikkan pamor suara dia.
Teknik interview pun kami pastikan betul, tidak mengarahkan publik ke salah satu calon. Toh masyarakat juga sudah tidak mau dibohongi lagi dengan cara-cara yang tidak fair. Mereka semakin well informed. Model komunikasi ke publik harus sangat santun, mereka memilih dengan penuh kesadaran, tidak dipaksa, tidak ada unsur tekanan, dan yang pasti tidak ada money politics. Mereka mengenakan kaus dan topi Indopos, dengan surat resmi dari Indopos.
Kami menyisakan potongan nomor kuesioner yang pada bulan Juni 2012 nanti akan kami undi dengan hadiah I-pad. Tidak seberapa memang hadiahnya, hanya sebagai tanda mata, bahwa mereka pernah meluangkan waktu, barang 10-15 menit untuk berbincang santai dengan tim surveyor Indopos.
Karena itu, mohon izin kepada tokoh-tokoh publik yang namanya sudah mencuat di publik kalau kemudian dipilih langsung oleh publik. Jangan kaget. Hargai suara dan apresiasi mereka. Tidak semua orang mendapat kesempatan "dipilih" dalam survey ini. Hasil-hasil itu bisa di cross check semua.
Kami tidak mengklaim, teknik sampling dan metode polling ini yang terbaik dan paling presisi. Kami hanya ingin berjajak pendapat. Kami hanya ingin tahu apa dan siapa yang diingini publik yang dikenal dinamis dan cair itu. Sebagai imbangan, bahwa mereka punya hak untuk mengeluarkan suara, pendapat dan pikiran-pikirannya. Suara itu tidak hanya didominasi pejabat, pengamat, peneliti, akademisi dan tokoh yang memiliki kredibilitas sebagai sumber berita.
Karena itu, pesan kami: "Jangan Pilih Kucing dalam Karung!" Siapa tahu salah satu di antara kucing-kucing itu adalah kucing garong? Jangan terpesona pada warna, suara, ukuran, buntut, mata, bulu, kuping, atau kumisnya? Itu semua bisa menjebak. Salah pilih sekarang, penyesalannya lima tahun lamanya. Rusak dan salah urus lima tahun, itu pertanda "kiamat sudah dekat". Tiap hari uring-uringan saja.
Jakarta adalah master. Jakarta adalah impian. Jakarta adalah model yang kerap di-copy paste. Apapun programnya, bisa dengan cepat diusung di daerah. Kalau yang dibawa ke kota-kota di daerah itu konsep yang salah kaprah, kucing garong, hohoo.., pusing dah!
Jakarta juga cermin Indonesia. Ibarat media, Jakarta adalah halaman muka atau cover depan. Ibarat bangunan, ibu kota adalah gate utama bagi di rumah yang bernama Indonesia. Jakarta itu pemberi kesan buat negeri ini. Jakarta yang hebat, tertib, rapi, aman, sama dengan memberi membangun kesan yang sama terhadap Indonesia.
Rumusnya hanya satu, pastikan jangan salah coblos! Sesak dadanya lama dan bisa menular. Penyesalan di kemudian itu tak ada guna! Kecuali untuk dibuat judul lagu melankolis saja. (*)
*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi, Direktur Indopos, Wadir Jawa Pos.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bir Pletok Miras Halal
Redaktur : Tim Redaksi