jpnn.com - Kuda-kuda pacu di Lombok, NTB, rutin diajak berendam air hangat campur jahe, berenang di pantai, dipijat, serta menyantap makanan terpilih.
FATIH KUDUS JAELANI, Mataram
BACA JUGA: Banjir Bandang Terjang Puluhan Desa di Lombok Timur
ANDA pelari?
Apakah tiap sehabis latihan Anda mandi air hangat campur jahe?
BACA JUGA: GenPI NTB Akan Gelar Pasar Pancingan di Lombok
Lalu sesudahnya dipijat?
Sebelum kemudian diberi makanan enak?
BACA JUGA: Ketahuilah, Pijat Tak Sekadar Memberi Efek Relaksasi
Kalau jawaban untuk pertanyaan pertama iya dan tiga berikutnya tidak, tidak, tidak, ah Anda kalah dengan kuda!
Hehehe tak usah tersinggung. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), memang demikianlah perlakuan yang diberikan kepada kuda.
Tentu bukan sembarang kuda. Khusus kuda pacu yang diturunkan untuk balapan. Mereka diperlakukan bak pelari yang harus selalu berada dalam kondisi siap untuk turun dalam lomba.
Tiap Rabu dan Jumat sore, misalnya, di Pantai Tanjung Karang di pesisir selatan Mataram, puluhan, bahkan ratusan, pemilik atau perawat turangga akan berkumpul. Bersama kuda pacu masing-masing, tentu saja.
Setelah kuda selesai diajak berlatih, menjelang matahari tenggelam, para pemilik atau perawat kuda pacu akan menarik pelana masing-masing.
Lalu mengelus-elus punggung si yangyangan, sebelum membawanya ke dalam air bergaram. Untuk apa? Berenang!
’’Berenang di pantai itu merupakan latihan napas bagi kuda pacuan. Seperti atlet lari atau penyanyi,’’ jelas Muhtar, pemilik kuda pacu asal Desa Sekarbela, Kecamatan Pagesangan, Mataram, kepada Lombok Post (Jawa Pos Group).
Pada Jumat sore pekan lalu (10/11) itu, Muhtar menjelaskan tradisi merendam kuda pacu di Lombok sembari merebus air.
Bukan untuk membikin kopi, melainkan untuk kuda pacunya. Seekor kuda betina berwarna merah dari Sumba. Tak jauh dari air yang akan mendidih, parutan jahe telah tersedia dalam wajan tembaga.
Kuda secara umum memang bagian tak terpisahkan dari keseharian warga di hampir seantero NTB.
Mengutip bimasumbawa.com, di Bima yang terpisah pulau dari Lombok, misalnya, selain dipandang dari sisi pemanfaatan, kuda juga merupakan simbol sosial dan budaya.
Tapi, tetap bisa dibayangkan kerepotan memberikan berbagai perlakuan istimewa itu. Mengajak kuda berenang, contohnya.
Dengan kekuatan si peliharaan yang berlipat-lipat, sang pemilik atau perawat harus memastikan ia tak berulah macam-macam begitu mengapung di air bergaram.
Ingat, ini kuda pacu lho, bukan kuda laut! Tapi, sebagaimana yang terlihat pada Jumat sore pekan lalu itu, puluhan kuda pacu terlihat asyik kecipak-kecipuk bersama tuan masing-masing.
’’Kuda saya ini suka sekali berenang. Saya bahkan sering kewalahan begitu sudah sekitar satu kilo dari pantai,’’ kata Rizal Abdi, pemilik kuda lainnya dari desa yang sama dengan Muhtar.
Namun, tak semua kuda pacu suka berenang. Bahkan ada yang sangat takut air. Atau tak bisa berenang.
Bila kuda pacu tak bisa berenang, ia akan berhenti di kedalaman satu meter. Lalu bila sang pemilik menarik pelananya, ia akan mengangkat kedua kaki bagian depan. Memberontak.
Kalau masih saja dipaksa ke tengah, si kuda akan melakukan tindakan ekstrem. Yakni, menenggelamkan diri.
Bahkan sampai ada yang pingsan karena air laut masuk ke mulut dan telinganya. Jika keadaannya seperti itu, tak boleh dilanjutkan.
Sedangkan kuda pacu yang doyan air seperti milik Rizal, begitu masuk air, kakinya akan langsung mengayuh kegirangan. Sang pemilik cukup memegang pelana dan memeluk punggung.
’’Mungkin kalau tak diarahkan kembali, ia bisa berenang sampai ke Bali,’’ ujar Rizal.
Pantai Tanjung Karang memang menghadap Bali. Puncak Gunung Agung di Pulau Dewata yang menjulang bisa dinikmati dari situ.
Selain di pantai, tradisi memandikan kuda pacu juga dilakukan di sungai. Tapi, menurut Muhtar, dirinya lebih senang melakukannya di pantai karena di sana kuda bisa berenang dengan leluasa.
Sedangkan di sungai, selain dangkal, ancaman adanya binatang seperti buaya juga menjadi kekhawatiran tersendiri.
Itu baru urusan berenang. Kuda-kuda pacu di Lombok masih punya sesi menyenangkan lainnya saat pagi: berendam. Persisnya menjelang subuh. Saat air laut dalam kondisi hangat.
’’Saat berendam pagi itu, biasanya saya manfaatkan untuk membersihkan tubuh kuda dari kotoran-kotoran. Bila perlu, menyingkirkan kutu-kutu sehingga kuda pacu akan semakin bugar,’’ ungkap Hilmaen, rekan Rizal yang juga pemilik kuda.
Sesi mandi pagi itu biasanya dilakukan empat kali dalam sepekan. ’’SOP-nya’’, pulang dari pantai, mereka mandi air hangat.
Dengan campuran parutan jahe. Setelah itu nyam-nyam alias makan dengan menu pilihan. Di antaranya telur. Dan, baru kemudian dipijat.
’’Memang, cara merawat kuda pacu berbeda jauh dengan kuda penarik becak,’’ tegas Muhtar.
Rata-rata pemilik atau perawat kuda mendapatkan ilmu secara turun-temurun. Adapun tambahan pengetahuan, mereka mendapatkannya dari pengalaman. Pengalaman panjang setelah puluhan tahun memelihara kuda pacu.
Lomba balapan kuda memang rutin diadakan di berbagai sudut NTB. Kuda pacu Muhtar yang pada Jumat sore pekan lalu diajak berenang, misalnya, tahun ini sudah tampil dalam dua kompetisi. Seekor lainnya tengah dalam perjalanan pulang mengikuti turnamen di Bima.
Tidak lantas berarti, lanjut Muhtar, tradisi merendam kuda pacu hanya dilakukan untuk menyongsong balapan. Ada atau tidak ada lomba, kuda pacu harus terus berlatih. Tak ubahnya atlet.
Saat hari H balapan kian dekat, perlakuan kepada kuda-kuda pacu bahkan lebih istimewa. Tak lagi diajak berendam atau berenang. Melainkan dijaga betul stamina dan mentalnya. Latihan dijadwalkan lebih rutin. Di mana saja dan kapan saja.
Tapi, sedekat apa pun hubungan si pemilik atau perawat dengan kuda pacu mereka, tetap saja ada pengalaman tak mengenakkan. Harus selalu siap diselentik (disepak dengan kaki) atau digit kuda.
’’Ini contohnya,’’ kata Hilmaen memperlihatkan bekas gigitan si kuda di bahu kanannya.
Dia mengaku digigit yangyangan-nya itu saat mengajaknya mandi air hangat yang dicampur jahe.
Mungkin karena campuran jahe kebanyakan, si kuda merasa kepanasan. Buntutnya, gigi si kuda pun menancap di bahu Hilmaen. Well, love bites, isn't it?
Toh, tetap tak ada benci di antara mereka. Perlakuan istimewa tetap diberikan. Seperti pada Jumat sore pekan lalu itu saat secara perlahan Muhtar mengajak si kuda mandi air hangat campur jahe yang telah disiapkan.
’’Kuda jangan sampai stres. Kalau sudah stres, butuh waktu lama membuatnya normal kembali,’’ katanya.
Lalu, apa biasanya penyebab seekor turangga stres? Sayang, sampai berita ini selesai ditulis, kuda-kuda tak ada yang mau diwawancarai... (*/JPG/c5/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mau Liburan Sambil Yoga di Pantai? Ke Lombok Aja
Redaktur & Reporter : Soetomo