jpnn.com - Kerusuhan 27 Juli 1996 telah 27 tahun berlalu. Ada beragam kisah yang terkait dengan peristiwa berdarah itu.
Kudatuli -akronim untuk Kerusuhan 27 Juli 1996- diawali sekelompok massa yang didukung aparat menyerbu kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro No 58, Jakarta Pusat.
BACA JUGA: Peristiwa 27 Juli, Analisis Tokoh TNI soal Operasi Mengangkat Tutut demi Gembosi Mega
Peristiwa itu diyakini sebagai cara pemerintah Orde Baru menyingkirkan Megawati yang pada saat itu meraih simpati publik.
Namun, setelah Kudatuli, ada perwira TNI -dahulu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)- yang meroket, ada pula yang tersingkir.
BACA JUGA: Ungkap Kedekatan PDIP dan PPP, Ganjar Bicara Soal Peristiwa Kudatuli
Perwira TNI yang langsung meroket jelas yang berpihak pada kubu Keluarga Cendana, first family pada saat itu yang sedang berupaya menaikkan pamor putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut.
Para jenderal di barisan Cendana itu, antara lain, Jenderal Feisal Tanjung (Panglima ABRI), Jenderal R. Hartono (KASAD), Letjen Syarwan Hamid (Kasospol ABRI), dan Mayjen Sutiyoso (Pangdam Jaya).
BACA JUGA: Nama Menlu AS hingga SBY Disebut-sebut dalam Peristiwa 27 Juli 1996
Feisal akhirnya dipercaya menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Kabinet Pembangunan VII. Namun, dia hanya dua bulan menjadi menteri karena Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 sehingga Kabinet Pembangunan VII pun bubar.
Hartono -tentara yang dikenal dekat dengan Mbak Tutut- ditunjuk menjadi Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan VI, lalu menjadi Mendagri Kabinet Pembangunan VII.
Namun, Hartono setali tiga uang dengan Feisal yang menjabat menteri cuma dua bulan di kabinet terakhir era Soeharto itu.
Adapun Syarwan ditugaskan menjadi wakil ketua DPR/MPR hasil Pemilu 1997. Di era pemerintahan Presiden BJ Habibie, tokoh militer asal Riau itu ditunjuk menjadi mendagri menggantikan R Hartono.
Sutiyoso lebih beruntung. Setelah Kudatuli, pangkatnya naik menjadi letjen.
Pada 1997, tentara yang lama berkiprah di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu menjadi gubernur DKI. Dia menjabat posisi itu hingga 2007.
“Lihatlah, Feisal Tanjung kemudian diangkat menjadi menko polkam, Syarwan Hamid menjadi mendagri, Hartono menjadi menteri penerangan, Letkol Pol Abubakar (mantan Kapolres Metro Jakpus) hanya dalam waktu empat tahun sudah menjadi brigjen, Sutiyoso naik pangkat menjadi bintang tiga dan menjadi gubernur DKI,” ujar tokoh Pemuda Pancasila Yorris Raweyai sebagaimana dinukil dari buku 'Soeyono, Bukan Puntung Rokok' terbitan 2003.
Yorris tahu betul soal skenario penyerbuan ke kantor DPP PDI. Menurut dia, anggota Pemuda Pancasila membantu pembubaran mibar bebas di DPP PDI.
“Kami dipaksa menggunakan kaus PDI saat membantu Kodam Jaya melakukan pengamanan ketika terjadi penyerbuan kantor PDI,” katanya.
Namun, ada pula perwira TNI yang memilih membela Megawati. Di antara mereka ialah Agum Gumelar, AM Hendropriyono, dan Theo Syafei.
Ketiga tentara kawakan itu sudah dekat dengan Megawati sejak putri Proklamator RI tersebut belum menjadi ketua umum PDI.
Buku ’Soeyono, Bukan Puntung Rokok’ menuliskan, ”Pangdam Jaya Mayjen AM Hendropriyono, Direktur A Badan Intelijen Strategis (BAIS) Brigjen Agum Gumelar, dan mantan Pangdam Udayana Mayjen Theo Syafei merupakan jenderal yang dekat dengan kandang banteng.”
Hendropriyono pada saat Orde Baru begitu kuat justru meluluskan Megawati menjadi ketua umum PDI.
Dalam sebuah pertemuan menjelang Munas PDI 1993 di Jakarta, Hendropriyono berani memberikan jaminan bahwa Megawati akan menjadi ketua umum partai berlambang kepala banteng itu.
Pada saat Munas PDI 1993 di Kemang, Jakarta Selatan, menunjukkan proses politik yang macet, Agum turun tangan. Agum -saat itu juga menjadi Komandan Kopassus- sibuk melobi faksi-faksi yang menentang Megawati.
“Agum-lah yang mendudukkan Megawati menjadi ketua umum PDI di Munas PDI di Hotel Kemang, Jakarta, 23 Desember 1993,” tutur Mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Syamsir Siregar dalam buku biografi Soeyono itu.
Syamsir termasuk perwira ABRI yang dicopot dari jabatannya setelah Kudatuli.
Agum juga menanggung risiko. Dia dicopot dari jabatan komandan Kopassus, lalu dibuang menjadi kepala staf di Kodam Bukit Barisan.
Namun, karier Hendropriyono, Agum, dan Theo menanjak ketika Megawati berkuasa.
Saat Megawati menjadi Presiden Kelima RI, Hendropriyono dipercaya menjadi kepala Badan Intelijen Negara (BIN), sedangkan Agum menempati jabatan Menteri Perhubungan Kabinet Gotong Royong.
Adapun Theo menjadi orang dekat Megawati. Dia masuk PDIP dan menjadi pengurus yang bertanggung jawab dalam memenangkan partai berlambang banteng moncong putih itu di pemilu.
“Sekiranya tidak ada peristiwa 27 Juli, mustahil Megawati bisa populer dan meningkat posisinya,” ujar Soeyono, kepala staf umum ABRI yang dicopot dari jabatannya setelah Kudatuli.(jpnn.com)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PDIP Wayangan Peringati Kudatuli, Hasto Bilang di Yogyakarta Ada Sengkuni
Redaktur : Antoni
Reporter : Tim Redaksi