jpnn.com - jpnn.com -Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang jatuh pada tanggal 6 Februari 2017, menjadi pertanda sudah sembilan tahun partai berlambang kepala garuda ini ikut mewarnai gerak perjalanan bangsa dan negara.
Proses mewarnai yang tentunya penuh duri, baik dalam upayanya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan para pemimpin nasional - lokal, maupun saat ini dalam upayanya menjadi partai oposisi agar terjadi check and balance dalam roda pemerintahan.
BACA JUGA: Gerindra Tambah Usia, Ini Harapan Fadli Zon ke Prabowo
Warna yang telah digoreskan sepanjang sembilan tahun tersebut oleh Partai Gerindra, tentu sudah memberikan kontribusi kebangsaan yang konstruktif untuk Indonesia. Demi kedaulatan dan keadilan yang berkemakmuran.
Dan sepanjang perjalanan sembilan tahun itu, Anggaran Dasar (AD) pasal 9 ayat 2 dan 3 menjadi patokan bergerak bagi Partai Gerindra. Pasal yang di dalamnya memuat misi mengurangi ketergantungan negara kepada pihak asing serta membentuk tatanan sosial dan politik masyarakat yang kondusif untuk mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
BACA JUGA: Prabowo: Perubahan Datang dari Pemimpin yang Baik
Dua poin berupa mengurangi ketergantuan Negara kepada pihak asing dan kondusifitas tatanan sosial politik, kiranya kontekstual dengan kondisi saat ini.
Sebab ketergantungan bangsa Indonesia kepada asing, saat ini masih sangat dominan dengan tingginya hutang luar negeri yang mencapai Rp 4.219 triliun per November 2016. Tak hanya hutang yang masuk ke Indonesia, tenaga asing pun turut serta dengan memanfaatkan bebas visa. Tentu maraknya tenaga asing dan pembangunan yang berbasis utang luar negeri ini, tidaklah sehat bagi kepentingan nasional. Sebab, akan membuat kemandirian dan kedaulatan bangsa semakin terkikis.
BACA JUGA: Prabowo Pikir-Pikir Dulu Jika Anies Mau Masuk Gerindra
Sementara itu, kondusivitas tatanan sosial politik, di akhir tahun 2016 dan di awal tahun 2017, terganggu. Riak – riak perbedaan etnis dan agama membuat riuh. Kegaduhannya tak hanya terjadi di kelas elite, melainkan juga dilapisan kelas menengah hingga kelas bawah. Bukan hanya di dunia maya (media social), tetapi juga di dunia nyata. Semua itu semakin menjurus pada robeknya persatuan Indonesia.
Semakin jauh dari cita–cita founding father bangsa. Semua ini, kiranya disebabkan gagalnya mewujudkan Indonesia raya yang bertumpu pada pembangunan jiwa dan badannya.
Karenanya, keniscayaan yang harus dilakukan adalah kembali meneguhkan Indonesia raya yang berkebudayaan dan berperadaban pancasilais : Berketuhanan, Berkemanusian, Berpersatuan, Bermusyarah – Bermufakat dan Berkeadilan. Caranya tentu sebagaimana dalam lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman. Yakni: “Bangunlah Jiwanya dan Bangunlah Badannya”.
Membangun jiwa sama dengan membangun mental, emosional dan keilmuan. Ia lebih banyak pada Carakter Building. Ia bertumpu pada pembangunan manusia yang nantinya terapilkasi pada sikapnya (Behaviourisme). Dimulainya dengan kebiasaan (habit) individu maupun sosial dalam berprilaku pancasilais, baik dalam kehidupan keluarga, akademis dan negara.
Di masa perjuangan kemerdekaan, Pembangunan jiwa ini telah memunculkan semangat nasionalistik dan kesadaran identitas. Ujungnya melahirkan pergerakan nasional baik secara fisik maupun diplomasi melawan penjajah kolonial. Untuk Indonesia yang merupakan Negara postcolonial tentu pembagunan jiwa ini sangatlah vital.Sebab, para penjajah telah meninggalkan warisan mental yang destruktif. Seperti misalnya, Mental manusia kolonial yang melahirkan superioritas dan subordinasi.
Hanya saja tak cukup dengan membangun jiwa. Melainkan harus juga membangun badan. Membangun badan adalah membangun system ekonomi, sistem politik, dan infrastruktur kelembagaan lainnya. Pendekatan ini biasa disebut dengan institusionalisme. Terlebih lagi, praktek kolonial seperti cultural state berupa tanam paksa berbasis eksploitasi dan politik devide et impera memanfaatkan keberagaman bangsa Indonesia, langgeng sampai sekarang dengan manifestasi yang berbeda.
Di era orde baru, pembangunan politik terefleksi dengan cara yang represif dengan memanipulasi ideologi dan kekerasan fisik sehingga tidak manusiawi. Sementara itu, pembangunan ekonomi mengejar pertumbuhan dan mengesampingkan pemerataan yang berkeadilan. Sedangkan, di era reformasi sebagai upaya untuk mewujudkan good governance yang jauh dari praktik KKN, dipraktekkan system politik dan ekonomi yang demokratis dan kapitalistik. Padahal keduanya bertumpu pada liberalisme individu dan marginalisasi Negara. Sebab, pasar dan swasta yang berkuasa.
Karenanya untuk mewujudkan itu membutuh pemimpin berkarakter dan berkomitmen. Bukan pemimpin yang tipikal boneka. Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduknya banyak, wilayahnya luas dan memiliki sumber daya alam yang memadai. Dalam hal pemimpin, Plato memiliki konsep filosofer King yakni yang pantas menjadi raja adalah filsuf. Sebab ia memiliki kebijaksanaan. Kebijaksanaan inilah yang saat ini mulai pudar pada pemimpin sekarang.
Sehingga, kendatipun setiap pemimpin nasional yang pernah menjabat di Indonesia, memiliki gagasan untuk Indonesia Raya dengan cara bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, Namun, di era kepemimpinan saat ini, gagasan bangunlah jiwanya yang di adagiumkan dengan revolusi mental, gagal teraplikasikan. Bukan disebabkan gagasannya yang melangit, tetapi karena faktor kepemimpinan sehingga gagal untuk dibumikan.
Karenanya, Partai Gerindra dalam upaya untuk mewujudkan Indonesia Raya yang pancasilais dengan cara bangunlah jiwanya, bangunlah badannya dengan komando Prabowo Subianto, akan terus berkontribusi sebagai kawah candradimuka. Dan demi melahirkan pemimpin nasional dan lokal dengan visi membangun manusianya dan membangun negaranya atau kotanya secara seimbang dan bersamaan. Semoga!
Jakarta, 6 Februari 2017
Moh. Nizar Zahro
Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Perumahan Rakyat
Anggota Komisi V DPR RI
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sepak Bola Kecamatan Saja Curang, Apalagi Pilkada
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam