JAKARTA - Para orang tua yang anaknya pintar tapi uang cekak, barangkali mengelus dada. Bagaimana tidak, untuk bisa kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), uang kuliah per tahunnya mencapai Rp20 juta. Dengan kata lain, untuk kuliah di PTN vaforit itu per semesternya harus merogoh Rp10 juta. Ini belum termasuk uang yang harus dibayar saat pertama kali masuk, yang mencapai Rp55 juta.
Rektor ITB, Prof Akhmaloka, saat dihubungi JPNN menjelaskan, besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ITB yang berasal dari sumbangan orang tua hanya sebesar 20 persen hingga 25 persen dari seluruh biaya operasional ITB.
Dengan alasan itulah, kekurangannya yang mencapai 75 persen, harus ditarik dari mahasiswa. "Kami sudah mematok harga bahwa biaya pendidikan di ITB sebesar Rp20 juta per tahun per mahasiswa untuk semua jurusan," ujar Akhmaloka.
Namun dia menjelaskan, biaya sebesar itu tidak untuk semua mahasiswa. Bagi yang miskin, katanya, di bawah angka itu. "Tapi ada juga mahasiswa yang mendapatkan beasiswa penuh sehingga tidak perlu keluar biaya sedikitpun. Ada juga yang hanya Rp5 juta per tahun," imbuhnya.
Dia mengatakan, uang kuliah Rp20 juta per tahun ini sebenarnya masih di bawah dari yang dibutuhkan. Katanya, untuk jurusan-jurusan teknik, biayanya mencapai hingga Rp45 juta per tahun.
"Secara umum unit cost pendidikan teknik itu sekitar Rp 30 juta – Rp 45 juta. Tapi kami kan disubsidi pemerintah sehingga bisa mematok harga di bawah itu. Artinya, subsidi yang diberikan pemerintah itu salah satunya pembayaran listrik," terangnya.
Model pukul rata untuk semua jurusan itulah yang disebut dengan SPP Tunggal. Masing-masing PTN punya kewenangan menetapkan sendiri berapa besarnya SPP Tunggal. Dengan demikian, masing-masing PTN berbeda-beda.
Mengenai jalur masuknya, lanjut Akhmaloka, sudah dua tahun ini ITB tidak membuka jalur mandiri. PTN yang berkampus di Kota Kembang itu hanya membuka jalur undangan, yakni 60 persen, dan jalur tes tertulis 40 persen.
Dengan mahalnya biaya kuliah seperti yang terjadi saat ini, suasana kampus menjadi sangat borjuis. Di UGM Yogyakarta misalnya, di kampus yang dulunya dikenal sebagai kampusnya wong cilik itu, sudah sulit ditemui mahasiswa yang kuliah jalan kaki. Sebagian bermobil, minimal bermotor. "Setiap ada mobil keluaran terbaru, di kampus langsung sudah ada yang punya. Kos-kosan yang tarifnya Rp4 juta per bulan pun laris manis," ujar seorang pegawai Pasca Sarjana UGM, saat dihubungi JPNN, kemarin.
Pria yang enggan disebutkan namanya itu mengatakan, hal ini karena hanya 10 persen saja mahasiswa baru yang direkrut lewat jalur tes tertulis. Lainnya jalur mandiri dan jalur undangan. (sam/cha/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kegiatan Di Luar Kelas Harus Dihitung
Redaktur : Tim Redaksi