jpnn.com - PENAMPILAN Vanny Chrisma W. terlihat sederhana dengan balutan gamis merah dan kerudung pink saat bertemu Jawa Pos, Jumat (13/5). Namun, di balik kesederhanaannya itu, ada bakat yang luar biasa. Vanny telah menelurkan puluhan karya sastra.
RISTA R. CAHAYANINGRUM
BACA JUGA: Nusakambangan, Indah tapi Ngeri, "Kalau Mau Eksekusi, Di Sini"
Perempuan kelahiran 4 Desember 1983 tersebut mengaku menyukai dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku SMP. Namun, dia baru menekuninya secara serius pada 2006. Kala itu Vany sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas, Surabaya.
”Awalnya malah bercita-cita menjadi komikus. Tapi, karena kemampuan menggambar terbatas, saya pindah haluan ingin menjadi novelis,” kata Vanny.
BACA JUGA: Firasat Seorang Ibu yang Putrinya jadi Korban Tragedi Air Terjun Dua Warna
Saat duduk di bangku kelas XII SMA, Vanny mengutarakan keinginannya tersebut kepada orang tuanya. Dia pun merengek, minta kuliah di Jurusan Sastra Indonesia.
Sayangnya, keinginan Vanny menjadi penulis tidak direstui orang tuanya. ”Mereka menginginkan saya menjadi ekonom,” katanya.
BACA JUGA: Kalimat Terakhir si Mahasiswi, Detik-detik Dihempas Banjir Air Terjun Dua Warna
Menurut ayah Vanny, memilih pekerjaan menulis tersebut tidak realistis. ”Nggak ada uangnya,” ucap Vanny yang menirukan perkataan ayahnya dulu.
Harapan untuk berkuliah di jurusan sastra pun pupus. Vanny menuruti keinginan orang tuanya menjadi ekonom. Dia berkuliah di STIE Perbanas. Meski demikian, keinginan Vanny menjadi penulis tidak luntur. Justru dia terpacu untuk mempelajari dunia tulis-menulis secara otodidak.
Di sela-sela jam kuliah, dia selalu menulis. Jangan bertanya apa yang dia tulis. Vanny menulis apa saja yang dilihat dan didengar. ”Waktu itu, saya belajar membuat deskripsi dan alur cerita,” ujarnya.
Saking getolnya belajar menulis, kuliah Vanny sempat keteteran. Bahkan, dia juga nyaris drop out (DO). Tapi, pengorbanan Vanny tidak sia-sia. Pada tahun pertama kuliah, Vanny berhasil menerbitkan novel perdananya. Judulnya Déjà Vu.
Novel itu menceritakan kisah Mandy, remaja 19 tahun yang suka menyendiri. Dia lebih suka menghabiskan waktu di kamar daripada jalan-jalan ke mal atau pusat keramaian lainnya.
Sikap penyendiri Mandy bukan tanpa alasan. Mandy mengalami agorafobia. Rasa takut berada di tempat ramai tersebut terjadi setelah Mandy mengalami kecelakaan.
Menurut Vanny, membaca Déjà Vu layaknya membaca catatan harian dirinya. Sebab, di kehidupan nyata, Mandy adalah Vanny. ’’Kisah yang saya tuliskan dalam Déjà Vu, 90 persen adalah kisah nyata. Dan, itu pengalaman pribadi saya,’’ ujar perempuan dengan nama asli Fani Krismawati tersebut.
Vanny juga menambahkan, Mandy adalah kaca benggala atas pribadi Vanny. Diam dan penyendiri.
Ya, Vanny memang kerap menjadikan pengalaman pribadi sebagai latar novel-novel karyanya. Selain Déjà Vu, novel berjudul Cantik terinspirasi dari kisahnya. ’’Dulu saya terobsesi sama kurus. Akhirnya memilih pola diet yang salah dan berujung anoreksia,’’ tuturnya.
Novel CeCuCaCiCo (Cewek Cupu Cari Cinta Cowok) dan Miss Hola Holic juga diambil dari kisah Vanny. Dari pengalaman pribadinya itulah, Vanny menelurkan banyak karya sastra. Hampir satu dasawarsa bergelut di dunia tulis-menulis, Vanny telah menerbitkan 37 novel
Bahkan, novelnya yang berjudul Gadis Kecil di Tepi Gaza dan Wo Ai Ni Allah tidak hanya diterbitkan di Indonesia, tapi juga di Malaysia. ’’Sampai saat ini, yang Gadis Kecil di Tepi Gaza sudah sembilan kali cetak ulang,’’ kata ibunda Anindya Vanissa Putri dan Marsya Naura Janeeta itu.
Karya terbaru Vanny adalah Lost on Everest. Dia menuturkan, novel yang menceritakan kisah pendakian gunung tersebut digarap pada 2012. Namun, baru diterbitkan pada 2016 .
Vanny mengungkapkan, setiap novel yang dibuatnya memiliki proses berbeda-beda. Bahkan, waktu yang dibutuhkan untuk penggarapan juga tidak sama. Namun, rata-rata Vanny membutuhkan waktu sebulan untuk mengerjakan satu novel.
Proses tersulit dalam membuat novel adalah riset. Sebab, riset merupakan bekal utama sebelum menulis. Dengan riset, penulis bisa menjiwai karakter tokoh dan latar novel yang akan ditulis. Biasanya Vanny membutuhkan waktu 3–6 bulan untuk riset.
Hampir 70 persen novel Vanny memiliki setting di luar negeri. Tapi, Vanny mengaku belum pernah sekali pun bertandang ke negeri orang.
Selama ini semua bahan dicari melalui buku dan internet. ”Saya paling sering mencari video di YouTube,” ungkapnya. Setelah menemukanfeel dari video yang ditonton, Vanny baru mulai menulis.
Meski riset bermodal YouTube, hampir semua karya Vanny pernah dijadikan bahan penelitian skripsi. Dia mengungkapkan, hingga saat ini, lebih dari 50 mahasiswa strata 1 pernah meneliti karyanya.
Setiap hari handphone Vanny nyaris tidak pernah berhenti berdering. Ada saja mahasiswa dari perguruan tinggi mana pun yang mengiriminya short message service (SMS) atau WhatsApp untuk bimbingan atau sekadar wawancara.
Menurut Vanny, salah satu faktor yang menyebabkan karyanya ”laris” dijadikan bahan penelitian adalah penggambaran karakter tokoh-tokoh dalam novel yang kuat. Benar saja, semua tokoh di novelnya digambarkan dengan sangat detail. Mulai fisik hingga perwatakan
”Saya nggak pernah berpikir membuat novel untuk diteliti. Tapi, menurut mereka, tokoh yang saya buat berkarakter karena saya cukup detail menggambarkannya. Makanya, novel saya sering dijadikan bahan skripsi,” beber Vanny.
Selain melampiaskan hobi, Vanny mengaku menulis untuk meramaikan dunia literasi Indonesia. Dia mengatakan, selama ini pemerintah mendorong warganya –khususnya pelajar– untuk rajin membaca.
Tapi, mereka luput menyediakan bahan bacaan. ’’Dengan banyaknya penulis, referensi bahan bacaan pun kian beragam. Harapannya, minat masyarakat untuk membaca pun semakin tinggi,’’ katanya. (*/c7/fat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MENGHARUKAN, Korban Tragedi Air Terjun Dua Warna itu Sempat Bermanja ke Ibunya
Redaktur : Tim Redaksi