Warga tiga kampung di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, yang terserang busung lapar dan wabah penyakit sempat mengungsi ke Kampung Bikar. Saat ini sebagian sudah kembali dan hanya beberapa orang yang masih tinggal di sana. Bagaimana perjuangan mereka menembus belantara dengan berjalan kaki, naik turun gunung guna mencari pertolongan
-----------------------------------------------------
ANDRE SIREGAR, Sausapor
--------------------------------------------
ADA tiga kampung di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, yang ramai disorot karena warganya terserang busung lapar dan wabah penyakit. Data sebuah LSM menyebutkan, 95 orang yang sebagian besar anak-anak meninggal dunia karena wabah tersebut, mulai Oktober 2012 hingga Maret 2013.
Meski data tersebut dibantah pemerintah, kenyataan bahwa tragedi itu benar-benar terjadi tidak terbantahkan. Karena tidak ada penanganan dari pemerintah, mereka beramai-ramai mengungsi guna mencari pertolongan ke kampung terdekat. Tiga kampung itu adalah Jokbijoker, Bathe, dan Kaisefo.
Warga tiga kampung ini rela berjalan kaki berhari-hari menembus ganasnya alam Papua, menuju Kampung Bikar, kampung terakhir yang bisa dijangkau kendaraan dari Sausapor, ibu kota sementara Kabupaten Tambrauw.
Lukas Yesnath, salah seorang warga Jokbijoker yang masih bertahan di Kampung Bikar mengatakan, baginya, perjalanan paling cepat menuju Bikar adalah tiga hari tiga malam. "Itu pun kami harus topang lutut sampai dagu ini," katanya menggambarkan jalan terjal yang harus dilalui.
Jangan bayangkan ada jalan setapak seperti umumnya. Jalan menuju Jokbijoker melewati rimba yang masih perawan, menaiki gunung dengan berpegang pada pepohonan, serta menuruni lereng pegunungan yang curam. Kampung Jokbijoker terletak di pengunungan, dengan ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut, di wilayah Pegunungan Tambrauw.
Lukas menceritakan, warga Kampung Jokbijoker diperkirakan 50 KK (kepala keluarga). Dia tidak bisa memastikannya karena rumah yang berdiri berdekatan hanya sekitar 20 rumah. Selebihnya tinggal berjauhan hingga ratusan meter. Bahkan, ada warga yang memilih hidup terpencil, menyendiri dengan keluarga di dalam hutan.
Dalam satu KK, lanjut Lukas, ada yang memiliki anak hingga 10 orang. Dalam satu kampung itu, hanya Lukas yang bisa berbahsa Indonesia. Itu pun terpatah-patah. Maklum, mereka sama sekali tidak tersentuh pendidikan.
Jangankan bahasa Indonesia, status sebagai rakyat pun banyak yang tidak tahu. Menurut Lukas, di antara warga bahkan ada yang sempat bertanya, apakah kampung mereka sudah tercatat di pemerintahan atau belum. "Saya jawab sudah di-SK-kan. Tapi, mereka balik tanya, kalau sudah, kenapa tidak dapat bantuan pelayanan kesehatan," ujar Lukas menirukan jawaban warga.
Menjawab pertanyaan itu, Lukas sempat menyampaikan penawaran. Dia mengajak warga pindah ke kawasan yang dekat dengan Sausapor. "Tapi, mereka tidak mau," tuturnya.
Lukas menceritakan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, warga selalu bergotong royong. Kaum pria berburu hewan di hutan, sementara kaum perempuan berkebun. Jika mendapatkan hewan buruan, mereka membagi dagingnya dengan warga lain.
Terletak di ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut, tentu saja suhu di Jokbijoker dingin. Hal ini membuat warga baru beraktivitas sekitar pukul 11.00 WIT.
Dari tiga kampung yang terserang busung lapar dan wabah penyakit, Kampung Jokbijoker yang paling dekat dengan Bikar. Dua kampung lainnya harus ditempuh dengan berjalan kaki lagi berhari-hari. Dari Jokbijoker, Kampung Bathe bisa ditempuh dengan berjalan kaki satu hari satu malam. Adapun Koisefo merupakan kampung terjauh.
Lukas menceritakan, mendatangi Koisefo perlu berjalan kaki berhari-hari. Saking terisolasinya, akses termudah untuk mencapai tiga kampung itu adalah dengan helikopter.
Kepala suku di Kampung Bikar Yehuda Yesnath menuturkan, sebelum dapat ditembus orang luar, untuk berkomunikasi dengan kampung sebelah biasanya dia menggunakan penanda kepercayaan. Yakni, menggunakan perantara seperti burung dan sebagainya. Bahkan, jauh sebelumnya masyarakat di tiga kampung itu masih memegang erat kepercayaan tentang kekuatan alam. "Kalau ada orang mati, dikubur seperti biasa. Biasanya dibungkus pakai tikar atau peti dari kayu, lalu dimasukkan ke lubang di tanah," katanya.
Benyamin, warga Kampung Bathe, menceritakan, masyarakat di kampungnya hidup berpencar-pencar. Bahkan, untuk mengumpulkan warga, butuh waktu berhari-hari. Mereka harus dicari satu per satu ke tengah hutan. "Kami sekarang ini lagi panen petatas dan kasbi. Jadi, kalau makanan kami banyak. Tapi, kalau mau turun (membawa ke Bikar, Red), itu agaknya susah, apalagi bawa makanan," kata Benyamin melalui penerjemah.
Kehidupan di kampung itu memang butuh perhatian pemerintah. Banyak anak yang tidak mengenyam pendidikan. Mereka lahir, tumbuh, dan membaur dengan hutan.
Lukas dan Benyamin mengaku sempat mendata dan menemui warga di tiga kampung tersebut untuk mengajak pindah, turun gunung mengikuti rencana relokasi pemerintah daerah. Tetapi, warga menolak karena merasa sebagai pemilik dan penjaga hutan di sekitar kampung mereka. (*/c2/nw)
-----------------------------------------------------
ANDRE SIREGAR, Sausapor
--------------------------------------------
ADA tiga kampung di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, yang ramai disorot karena warganya terserang busung lapar dan wabah penyakit. Data sebuah LSM menyebutkan, 95 orang yang sebagian besar anak-anak meninggal dunia karena wabah tersebut, mulai Oktober 2012 hingga Maret 2013.
Meski data tersebut dibantah pemerintah, kenyataan bahwa tragedi itu benar-benar terjadi tidak terbantahkan. Karena tidak ada penanganan dari pemerintah, mereka beramai-ramai mengungsi guna mencari pertolongan ke kampung terdekat. Tiga kampung itu adalah Jokbijoker, Bathe, dan Kaisefo.
Warga tiga kampung ini rela berjalan kaki berhari-hari menembus ganasnya alam Papua, menuju Kampung Bikar, kampung terakhir yang bisa dijangkau kendaraan dari Sausapor, ibu kota sementara Kabupaten Tambrauw.
Lukas Yesnath, salah seorang warga Jokbijoker yang masih bertahan di Kampung Bikar mengatakan, baginya, perjalanan paling cepat menuju Bikar adalah tiga hari tiga malam. "Itu pun kami harus topang lutut sampai dagu ini," katanya menggambarkan jalan terjal yang harus dilalui.
Jangan bayangkan ada jalan setapak seperti umumnya. Jalan menuju Jokbijoker melewati rimba yang masih perawan, menaiki gunung dengan berpegang pada pepohonan, serta menuruni lereng pegunungan yang curam. Kampung Jokbijoker terletak di pengunungan, dengan ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut, di wilayah Pegunungan Tambrauw.
Lukas menceritakan, warga Kampung Jokbijoker diperkirakan 50 KK (kepala keluarga). Dia tidak bisa memastikannya karena rumah yang berdiri berdekatan hanya sekitar 20 rumah. Selebihnya tinggal berjauhan hingga ratusan meter. Bahkan, ada warga yang memilih hidup terpencil, menyendiri dengan keluarga di dalam hutan.
Dalam satu KK, lanjut Lukas, ada yang memiliki anak hingga 10 orang. Dalam satu kampung itu, hanya Lukas yang bisa berbahsa Indonesia. Itu pun terpatah-patah. Maklum, mereka sama sekali tidak tersentuh pendidikan.
Jangankan bahasa Indonesia, status sebagai rakyat pun banyak yang tidak tahu. Menurut Lukas, di antara warga bahkan ada yang sempat bertanya, apakah kampung mereka sudah tercatat di pemerintahan atau belum. "Saya jawab sudah di-SK-kan. Tapi, mereka balik tanya, kalau sudah, kenapa tidak dapat bantuan pelayanan kesehatan," ujar Lukas menirukan jawaban warga.
Menjawab pertanyaan itu, Lukas sempat menyampaikan penawaran. Dia mengajak warga pindah ke kawasan yang dekat dengan Sausapor. "Tapi, mereka tidak mau," tuturnya.
Lukas menceritakan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, warga selalu bergotong royong. Kaum pria berburu hewan di hutan, sementara kaum perempuan berkebun. Jika mendapatkan hewan buruan, mereka membagi dagingnya dengan warga lain.
Terletak di ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut, tentu saja suhu di Jokbijoker dingin. Hal ini membuat warga baru beraktivitas sekitar pukul 11.00 WIT.
Dari tiga kampung yang terserang busung lapar dan wabah penyakit, Kampung Jokbijoker yang paling dekat dengan Bikar. Dua kampung lainnya harus ditempuh dengan berjalan kaki lagi berhari-hari. Dari Jokbijoker, Kampung Bathe bisa ditempuh dengan berjalan kaki satu hari satu malam. Adapun Koisefo merupakan kampung terjauh.
Lukas menceritakan, mendatangi Koisefo perlu berjalan kaki berhari-hari. Saking terisolasinya, akses termudah untuk mencapai tiga kampung itu adalah dengan helikopter.
Kepala suku di Kampung Bikar Yehuda Yesnath menuturkan, sebelum dapat ditembus orang luar, untuk berkomunikasi dengan kampung sebelah biasanya dia menggunakan penanda kepercayaan. Yakni, menggunakan perantara seperti burung dan sebagainya. Bahkan, jauh sebelumnya masyarakat di tiga kampung itu masih memegang erat kepercayaan tentang kekuatan alam. "Kalau ada orang mati, dikubur seperti biasa. Biasanya dibungkus pakai tikar atau peti dari kayu, lalu dimasukkan ke lubang di tanah," katanya.
Benyamin, warga Kampung Bathe, menceritakan, masyarakat di kampungnya hidup berpencar-pencar. Bahkan, untuk mengumpulkan warga, butuh waktu berhari-hari. Mereka harus dicari satu per satu ke tengah hutan. "Kami sekarang ini lagi panen petatas dan kasbi. Jadi, kalau makanan kami banyak. Tapi, kalau mau turun (membawa ke Bikar, Red), itu agaknya susah, apalagi bawa makanan," kata Benyamin melalui penerjemah.
Kehidupan di kampung itu memang butuh perhatian pemerintah. Banyak anak yang tidak mengenyam pendidikan. Mereka lahir, tumbuh, dan membaur dengan hutan.
Lukas dan Benyamin mengaku sempat mendata dan menemui warga di tiga kampung tersebut untuk mengajak pindah, turun gunung mengikuti rencana relokasi pemerintah daerah. Tetapi, warga menolak karena merasa sebagai pemilik dan penjaga hutan di sekitar kampung mereka. (*/c2/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Mau Bayar Perangko karena Baru Dapat Anugerah dari Presiden
Redaktur : Tim Redaksi