Tak Mau Bayar "Perangko" karena Baru Dapat Anugerah dari Presiden

Sabtu, 06 April 2013 – 02:39 WIB
Indrawati Sambow saat ditemui Menpan-RB Azwar Abubakar di kantornya. FOTO: Esy Muhammad / JPNN
Berprestasi dengan segudang penghargaan ternyata bukan jaminan untuk lolos menjadi CPNS honorer K1. Uang masih menjadi faktorutama dan menjadi primadona bagi segelintir oknum aparatur dalam mencari keuntungan sendiri.

--------------------------------------------------------
MESYA MUHAMMAD, Jakarta
-------------------------------------------

TERGOPOH-gopoh perempuan berkerudung dengan tinggi sekitar 150 cm, naik ke lantai lima Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB). Nafasnya begitu berat lantaran pundaknya menggendong tas ransel yang begitu besar yang tak enteng pula.

"Ini isinya dokumen semua," kata Indrawati yang ditemui JPNN sambil menunjukkan tas yang sedang dipanggulnya itu.  Ya Indrawati adalah segelintir pegawai honorer yang dianulir sebagai CPNS.

Meski sudah dinyatakan tidak memenuhi kriteria (TMK) oleh tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), perempuan yang tengah hamil anak ketiga ini masih menaruh harapan besar untuk diangkat CPNS lewat jalur honorer K1.

Guru bantu nasional (gurbanas) SD Inpres Mantikole Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah ini mengaku terbang dari daerahnya ke Jakarta karena ingin bertemu Menpan-RB Azwar Abubakar untuk menanyakan nasibnya.

"Saya sampai sakit hati karena ada perlakuan tidak adil pemerintah. Saya yang bekerja keras setiap hari sejak 2003, malah dinyatakan TMK dengan alasan yang tidak jelas. Sementara teman-teman yang hanya jaga warung bisa masuk jadi CPNS," ujarnya kepada JPNN saat menunggu sang menteri di Kantor Kemenpan-RB.

Dia lantas menceritakan perjuangannya mendidik siswa-siswinya di SD Inpres Mantikole (Kelas Jauh Topesino). Sekolah terpencil  tersebut letaknya 10 kilometer di atas Gunung Gawilese. Saking terpencilnya, butuh waktu sekitar tiga jam dari Desa Mantikole.

Setiap hari, perempuan kelahiran Palu, 17 Mei 1974 itu harus jalan kaki menembus semak belukar dan bebatuan di lereng pegunungan Gawilese untuk bisa bertemu dan berbagi ilmu dengan anak didiknya. Itu dilakukannya sejak 2003 silam dengan alasan tertantang membuka kelas jauh di daerah Pegunungan Gawilese.

Awalnya idenya untuk membuka kelas di daerah terpencil dinilai mengada-ada, karena medannya yang sangat berat. Terlebih banyak guru bersertifikasi yang ditawarkan menolak mentah-mentah kendati diiming-imingi gaji Rp 5 juta per bulan. Di tengah keputusasaan pemerintah, Indrawati menyodorkan diri untuk membuka kelas jauh tersebut.

Meski dia mendapat pertentangan dari sang suami, Indrawati tetap nekat mewujudkan keinginannya. "Saya tersentuh melihat anak-anak gunung yang keinginan bersekolahnya sangat besar. Mereka semangat bersekolah namun fasilitasnya tidak ada. Itu sebabnya saya terpanggil untuk mengabdikan diri saya bagi anak-anak Gunung Gawilese," ucapnya.

Dia begitu terkejut melihat keadaan di lereng pegunungan tersebut yang masih berupa hutan belukar dan dipenuhi ilalang. Bersama Kepala Desa Mantikole, Indrawati mulai membangun sekolah sederhana. Uniknya, seluruh fasilitas mulai penyanggah gubuk, atap, bangku, dan meja menggunakan bahan dari alam.

Misalnya untuk tiang penyanggah gubuk, bangku, dan meja dibuat dari kayu pohon pinus. Sedangkan atap dan dindingnya menggunakan daun-daun kering yang disusun rapi. Melihat keunikan sekolah tersebut, oleh masyarakat sekitar disebut "Sekolah Daun".

Saat pertama dioperasikan, Sekolah Daun menampung 45 siswa dengan kisaran umur 10 tahun sampai 18 tahun. Untuk mendidik 45 anak ini, Indrawati dibantu dua warga sekitar yang digajinya sendiri. Gaji Indrawati yang Rp 710 ribu itu dibagi bertiga.

Kerelaan perempuan berjilbab ini karena keinginannya untuk mengabdi pada anak-anak. Namun, Sekolah Daun ini sempat roboh diterpa angin dan anak-anak terpaksa diliburkan.

Sebagai gantinya, warga beramai-ramai membuat sekolah baru meski tetap menggunakan bahan alam, yaitu gedek. Itupun bekas dari penduduk yang mengganti dindingnya dengan tripleks. Untuk alat peraga, Indrawati benar-benar memanfatkan media alam

Perubahan nasib Sekolah Daun ini mulai terlihat pada 2010, ketika pemerintah memberikan bantuan untuk program pembangunan desa tertinggal. Sekolah Daun yang sederhana diganti dengan sekolah semi permanen. Siswa-siswinya pun bisa menggunakan seragam Putih-Merah. Hanya saja pengajarnya masih tetap tiga orang, dengan pembagian masing-masing guru menghandle dua kelas.

"Sekarang sudah lumayan, sekolahnya mulai bagus. Jalannya pun sudah dua bulan ini (awal 2013) telah dibangun meski jalan setapak dan hanya bisa dilewati sepeda motor. Itupun masih ada lima kilometer jalan yang harus ditempuh dengan jalan kaki karena tingkat kecuramannya 45 derajat," tuturnya dengan mata berbinar-binar.

Nah, pengalaman menarik pun terjadi di pada awal tahun lalu. Ketika itu Indrawati yang sudah turun dari rumahnya pukul 04.30 Wita itu dihadang oleh sepasang ular hitam saat menuruni lereng gunung.  "Hampir copot jantung saya ketika lihat ada dua ular hitam yang sudah mengepung dari depan dan belakang saya," ujarnya lantas.

Beruntung dia bisa selamat. Kejadian itu membuat dirinya mengalami shock dan hampir sepekan tidak mengajar. Namun beberapa orangtua di kampungnya berpendapat pertemuannya dengan ular adalah pertanda akan ada rezeki nomplok untuknya.

Sepertinya ucapan para sesepuh kampung itu benar. Akhir tahun lalu dia kaget bukan kepalang saat menerima sepucuk surat dengan kop surat resmi istana kepresidenan. Setelah dibaca, itu adalah undangan resmi agar dirinya datang ke istana negara. 

Ya, di sana Indrawati bertemu secara langsung dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Orang nomor satu di Tanah Air itu memberikan penghargaan sebagai guru SD berdedikasi di daerah terpencil 2012.

"Senang rasanya bisa melihat bapak presiden, wapres dan ibu wapres. Saya bahagia juga bisa melihat Monas, mungkin ini rezeki si kecil," katanya polos sambil mengelus perutnya yang mulai kelihatan membesar.

Tidak hanya itu, di tahun yang sama putri dari pasangan Yantje Sambow dan Samsia Kaili ini mendapatkan hadiah motor dari PT Astra karena terpilih sebagai pejuang lingkungan.

Kebahagian Indrawati terus berlanjut begitu listing honorer K1 versi Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada April 2012 keluar. Nama Indrawati muncul dan berada di posisi teratas.

Namun bak tersambar petir di siang bolong, pada 19 Desember 2012, namanya raib dianulir dari daftar CPNS K1. Cita-citanya sebagai pegawai negeri pun sirna. Padahal, dengan segudang prestasi dan perjuanganya, Indrawati merasa yakin bahwa dirinya akan lolos sebagai CPNS.

Dia lantas bercerita pada 2010 saat keluar surat edaran MenPAN-RB No 53 Tahun 2010 tentang pendataan kembali honorer K1/K2, salah satu pegawai Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Sigi memintakan uang "perangko" Rp 5 juta untuk dimasukkan ke dalam daftar honorer.

Ya, uang perangko adalah kode yang digunakan oknum BKD untuk meminta uang pelicin agar meloloskan pegawai honorer. Tapi karena dia yakin lolos lantaran perjuangannya mendidik dan membagi ilmu ke anak-anak pelosok, Indrawati menolak membayar uang perangkonya.

Sementara teman-temannya berani membayar perangko dengan variasi harga berbeda. "Kalau D2 perangkonya Rp 15 juta, D3 Rp 20  juta sampai  Rp 30 juta, S1 perangko Rp 30 juta sampai Rp 50 juta. S1 lebih besar karena nanti golongannya akan lebih tinggi. Selain itu besaran ini tergantung basah tidaknya instansi yang dituju," ungkapnya.

Kecurangan tak sampai disitu, untuk SK masing-masing honorer dimintakan Rp 80 juta. Nah peluang inilah yang langsung ditangkap oleh honorer nakal yang berani membeli SK palsu.

Indrawati tetap tetap percaya diri akan masuk daftar karena memang mengantongi SK sebagai gurbanas tahun 2003. Belum lagi dia tak punya harta atau warisan yang bisa dijual untuk membeli itu semua. Dia menduga bahwa dianulirnya itu lantaran dirinya tidak mau menuruti untuk membayar perangko oleh oknum-oknum di daerah.

Tapi bukan Indrawati namanya jika tidak berjuang. Berbagai upaya telah dilakukannya untuk mencari tahu kenapa namanya dianulir. Sayangnya, baik kepala BKD, bupati, dan anggota DPRD tidak bisa memberikan jawaban jelas. Dengan modal yang tersisa, Indrawati harus bolak-balik Sigi-Jakarta demi memperjuangkan nasibnya.

"Harta terakhir saya sudah saya jual (tiga ekor kambing). Yang tersisa hanya closet keramik saya, kalau terpaksa itu juga akan saya jual demi memperjuangkan nasib saya," tegasnya.

Dia hanya berharap pemerintah dapat mempertimbangkan pengabdiannya kepada anak-anak di pegunungan Gawilase. Ketika guru PNS dan bersertifikasi menolak mengajar di tempat tersebut, dialah yang tampil terdepan. Diapun meminta keadilan, bila gurbanas tidak masuk golongan honorer K1, mengapa dirinya malah dianulir.

"Jangan matikan semangat anak bangsa untuk mengabdi di daerah terisolir dan perbatasan. Pemerintah harusnya melek terhadap perjuangan kami, yang tidak kenal pantang mundur mendidik generasi bangsa," katanya.

Nah, di tengah-tengan perbincangan dengan JPNN, Menpan-RB Azwar Abubakar akhirnya muncul. Indrawati pun bergegas menemui bekas Wakil Gubernur Aceh itu. Dia lantas menceritakan semua keluh kesahnya. "Saya akan memperhatikan masalah ini. Serahlan dokumen-dokumennya kepada Inspektur Jenderal KemenPAN-RB biar nanti ditundaklanjuti," kata Azwar.

Azwar pun berjanji akan menindak siapapun oknum yang terbukti meminta-minta pelicin kepada pada pegawai honorer dengan janji diterima sebagai CPNS.

Indrawati pun mengaku sedikit lega lantaran sudah bertemu dengan sang menteri. Dia akan terus berharap semoga perjuangan yang dilakukannya tak sia-sia. (****)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Keindahan Lovina Bali sampai Kesenian Luar Biasa

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler