Kunjungi New Orleans Tujuh Tahun setelah Hancur Dihantam Badai Katrina (2)

Penjarakan Polisi Korup, Bikin Kota Makin Hidup

Jumat, 21 Desember 2012 – 00:01 WIB
TOKOH REFORMASI: Anthony Radosti (kiri), mantan detektif polisi yang kini menjadi direktur MCC New Orleans, bersama Arif Afandi. Foto: Arif Afandi for Jawa Pos

Kota New Orleans ternyata punya sejarah buruk dengan polisi dan birokrasi. Cerita polisi yang membunuh warga sipil, aparat yang berpendidikan rendah, serta petinggi polisi yang merekayasa kasus, jamak terjadi di kota itu. Inilah bagian kedua catatan mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos ARIF AFANDI dari sana.

= = = = = =
 
"PERILAKU polisi saat itu benar-benar mimpi buruk bagi warga kota ini," kata Anthony Radosti, mantan detektif polisi yang kini menjadi direktur Metropolitan Crime Commission (MCC), di kota yang berada di negara bagian Louisiana itu.

Sebelum bergabung di MCC, Radosti menjadi personel di kepolisian New Orleans selama 23 tahun. Karirnya dimulai dari unit patroli dan perampokan bersenjata. Terakhir dia menjadi penyidik pada unit kejahatan ekonomi dan kejahatan kerah putih. Selama di kepolisian, dia dikenal sebagai penyidik andal yang getol membongkar kejahatan di instansinya.

Radosti pernah memenjarakan komandan biro detektif New Orleans Police Department (NOPD). Petinggi polisi itu bernama Saacs. Digambarkan bahwa Saacs adalah pejabat polisi yang sangat berkuasa. Bahkan, kekuasaannya lebih berpengaruh dibanding atasannya, kepala NODP.

Dengan 250 anak buah, Radosti bisa berbuat apa saja. Tidak jarang dia menanam barang bukti baru kepada tersangka atau orang yang menjadi targetnya.  "Saat dipimpin Saacs, bagian detektif NOPD seperti unit preman," kata Radosti berapi-api.

Dengan bantuan FBI (Federal Bureau of Investigation), dia baru berhasil memerkarakan koleganya itu setelah pensiun dari kepolisian. Melalui proses panjang, komandan detektif yang disebut Radosti sebagai pejabat polisi korup itu akhirnya terguling pada 2002. Dia terbukti melakukan berbagai tindak kejahatan. Sanksinya, pangkatnya diturunkan, lalu dipecat dari kepolisian, dan terakhir masuk penjara.

Meski begitu, kondisi Kota New Orleans tak lantas berubah menjadi aman setelah Saacs dihukum berat. Kebobrokan itu mencapai puncaknya ketika badai Katrina menghantam kota ini pada 2005. Seperti diketahui, saat badai Katrina mengamuk dan memorak-porandakan New Orleans, terjadi chaos di mana-mana.

Penjarahan dan perampokan merajalela. Aparat kepolisian tak mampu mengendalikan keamanan kota. Bahkan, karena buruknya kualitas aparat, banyak petugas yang justru lari dari tugas.

"Kekacauan terjadi karena aparat kepolisiannya brengsek. Under qualification," kata Radosti.

Saat badai terjadi, kantor kepolisian kota kosong dan terendam banjir. Sekitar 400 personelnya kocar-kacir menyelamatkan diri. Sang komandan juga tidak ada di tempat. Akibatnya, tidak ada koordinasi di kepolisian.

Banyak korban tewas akibat kerusuhan dan perampokan. Malah, polisi juga sempat salah menembak warga sipil yang dikenal dengan peristiwa Jembatan Kanal.

Radosti yakin bila kinerja aparat kepolisian baik, tentu mereka siap menghadapi situasi bencana. Tidak malah membiarkan kekacauan dan penjarahan merajalela. Setelah bencana berlalu, perombakan besar-besaran terjadi di jajaran kepolisian New Orleans. Tak terkecuali pimpinannya juga diganti dan dirotasi. "Efeknya, beberapa tahun terakhir kinerja kepolisian mulai membaik," katanya.

Di Amerika, kepolisian berada di bawah koordinasi kepala daerah. Kepala polisi kota diangkat oleh wali kota. Anggaran kepolisian juga ditanggung pemerintah kota. Ini berbeda dari Indonesia yang menempatkan lembaga kepolisian di departemen tersendiri.

Menurut Wali Kota West Jordan City Utah Melissa John, 55 persen anggaran pemkot habis untuk membayar gaji dan operasional polisi. Selebihnya untuk membangun infrastruktur jalan, air minum, serta belanja pegawai kota. "Kami berprinsip, kalau kota kami aman, orang akan berbondong-bondong mengunjungi kota ini," katanya.

Antarnegara bagian dan kota di Amerika memang bersaing untuk bisa menarik migrasi di dalam negeri. Untuk itu, selain menciptakan keamanan daerah, masing-masing negara bagian atau kota berlomba untuk memberikan insentif dan kenyamanan kepada warganya. Mulai insentif pajak hingga layanan publik.

Karena itu, besaran pajak setiap negara bagian berbeda. Misalnya, di Florida 6 persen, Louisiana 4 persen, Utah 4,7 persen, California 7,5 persen, dan New York 8,5 persen. Berbagai fasilitas juga disediakan secara gratis. Seperti di Salt Lake City Utah, angkutan masal tak berbayar. Setiap hari ada trem yang bisa dimanfaatkan dengan gratis. Bila hari libur, ada bus yang akan membawa warga keliling antarpusat perbelanjaan.

Begitulah, setelah diterjang badai Katrina, warga New Orleans menginginkan terjadinya perubahan dalam tata pengelolaan kota. Dan, perubahan itu dimulai dengan terpilihnya wali kota baru, dua tahun setelah badai. Wali kota terpilih itu kemudian mereformasi berbagai bidang. Mulai kepolisian, kejaksaan, dan jajaran birokrasi. Lembaga baru untuk mengawasi kinerja birokrasi juga dibentuk. Akses warga ke pemerintahan kota dibuka lebar.

Beberapa LSM yang mengontrol kinerja pemerintah dan kepolisian bermunculan. Wali kota dan kepolisian tidak bisa lagi seenaknya menjalankan fungsi pemerintahan seperti sebelum terjadi badai Katrina. Karena itu, tingkat tanggung jawab para pejabat dan aparat lebih berat.

Beberapa saat setelah badai, lebih dari separo pegawai kota dipecat. Ini setelah kota itu bangkrut dan tak kuat membayar gaji para pegawai.

Namun, kini kota itu hidup kembali. Pemerintah mulai merekrut pegawai baru dengan kualifikasi yang lebih baik. Juga menambah aparat kepolisian yang sebelumnya ikut dipangkas. "Sekarang polisinya jauh lebih bagus. Apalagi, gaji mereka juga sudah dinaikkan dan cukup untuk hidup layak," kata Radosti.

Letnan Richard William dari Public Integrity Bureau NOPD menjelaskan, gaji terendah polisi New Orleans sekarang USD 4 ribu (sekitar Rp 38 juta dengan kurs USD 1 = Rp 9.600) per tahun atau sekitar Rp 3,2 juta per bulan. Gaji itu belum termasuk upah lembur yang standarnya di atas USD 10 setiap jam. Gaji tersebut juga belum termasuk hak pensiun dan jaminan kesehatan mereka.

Dengan berbagai langkah itu, kehidupan di New Orleans kini lebih baik dibanding sebelum amuk badai Katrina. Kawasan wisata di kota ini mulai dijejali pengunjung. Kehidupan di pusat kota makin menggeliat. Para musisi memperoleh kebebasannya kembali untuk berekspresi. Di sepanjang Bourbon Street dan sekitar French Market orang berlalu lalang menikmati malam di bar dan kafe dengan sajian musik blues dan jazz.

Setiap saat, polisi berpatroli di blok-blok yang ramai pengunjung. Tampak beberapa orang membuat karnaval kecil keliling kota. Dengan bus terbuka mereka menari mengikuti iringan musik yang disetel keras-keras sambil melempar kalung ronce plastik yang biasa dipakai dalam karnaval Mardi Gras pada setiap Februari.

Anak-anak sekolah dengan semangat berlatih drum band melalui jalan utama. Tentu semua itu menjadi tontonan gratis bagi warga dan para turis. Sungguh menghibur dan menyenangkan. Di New Orleans, badai Katrina membawa hikmah bagi kehidupan warganya. Tapi, haruskah terjadi bencana lebih dulu sebelum berubah menjadi baik? (*/c2/ari/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Axel Moeller, Presiden Audax Indonesia, Penyelenggara Event Bersepeda Long Distance Paling Populer (2-Habis)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler