Badai Katrina membawa hikmah bagi imigran asal Vietnam yang tinggal di wilayah timur New Orleans. Jumlahnya sekitar 10 ribu jiwa. Berikut catatan terakhir ARIF AFANDI, mantan wartawan Jawa Pos yang kini menjadi presiden direktur Wira Jatim Group, BUMD milik Pemprov Jatim, yang baru pulang dari sana.
= = = = = = = = = = = =
RIBUAN warga Vietnam itu hengkang ke Amerika Serikat setelah negaranya dilanda perang berkepanjangan pada 1957-1975. AS bersama sekutunya membela Vietnam Selatan, sedangkan Rusia dan RRT mem-back up Vietnam Utara yang berhaluan komunis. Selain ke AS, banyak warga Vietnam yang eksodus ke Australia dan Eropa.
Mereka yang memilih tinggal di AS kebanyakan berprofesi sebagai petani dan nelayan. Namun, meski sudah lama tinggal di negeri Paman Sam, umumnya mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Pendidikan mereka juga rendah. Untuk menyambung hidup, mereka tetap meneruskan tradisi bertani hingga kini.
"Bertahun-tahun masyarakat Vietnam di sini tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Baru setelah terjadi badai Katrina, kawasan komunitas Vietnam mulai dibangun," kata Khai Nguyen dari Mary Queen of Vietnam Community Development Corp. Organisasi nirlaba yang dibentuk pada 2006 itu mendorong komunitas pengungsi Vietnam untuk berperan aktif membangun masyarakat di kawasan New Orleans Timur.
Aktivis muda ini menceritakan, pengungsi Vietnam tinggal di New Orleans sejak puluhan tahun lalu. Selama ini mereka diurus gereja Katolik yang pengaruhnya cukup besar di negara bagian Louisiana itu. Adapun perhatian pemerintah setempat dinilai minim.
Karena itu, lewat Mary Queen of Vietnam Community Development Corp, masyarakat Vietnam-Amerika bergabung dengan organisasi nirlaba lain untuk memperjuangkan penyatuan mereka dengan masyarakat kota. Mereka juga aktif memperjuangkan peran serta masyarakat dalam mengontrol pemerintahan kota.
Lain lagi yang diperjuangkan New Orleans Coalitian on Open Governance (NOCOG). Koalisi LSM yang dipimpin Kaye Harris ini beranggota delapan organisasi. Mereka aktif memperjuangkan keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam proses-proses pengambilan keputusan di pemerintahan Kota New Orleans.
"Sebelum badai terjadi, partisipasi masyarakat di sini amat rendah. Karena itu, pemerintahan berjalan tanpa kontrol. Badai tersebut menyadarkan kami betapa korupnya pemerintahan di sini. Kami tidak ingin hal itu terulang kembali," kata Kaye saat bertemu rombongan peserta International Visitors Leadership Program (IVLP) dari Indonesia. Dia didampingi Khai Nguyen dan Keith Twitchell, direktur Comittee for Better New Orleans.
Sementara itu, LSM yang dipimpin Keith lebih fokus pada masalah peningkatan kualitas pendidikan. Dunia pendidikan ikut hancur ketika badai Katrina melintasi kota itu. Sejumlah gedung sekolah roboh diterjang banjir. Banyak guru yang akhirnya pindah ke kota lain atau di-PHK karena pemerintah tak kuat membayar gaji mereka.
"Kami mengajak warga untuk mau terlibat dalam pembangunan kota ini. Kami sedang mendidik kepemimpinan di kalangan anak muda," kata Keith menggebu-gebu.
Pria yang berusia di atas 60 tahun ini menceritakan, dulu warga New Orleans tidak peduli akan persoalan kotanya. Korupsi di pemerintahan kota marak karena tidak ada yang mengawasi. Badai Katrina, kata dia, memberikan kesempatan kepada warga untuk berbuat agar keadaan seperti dulu tidak terjadi lagi. Kini warga lebih terlibat untuk ketahanan mereka sendiri.
Direktur Kantor Kinerja dan Akuntabilitas New Orleans Oliver Wise mengakui, sebelum ada badai Katrina, sistem pendidikan di kotanya sangat tidak membanggakan. Rating-nya terburuk di Amerika. Banyak remaja usia sekolah yang tidak lulus SMA. Setelah badai terjadi, pemerintah negara bagian langsung mengambil alih urusan pendidikan di kota.
Mereka merekrut tenaga guru dari kota lain. Pasalnya, sekitar 75 persen guru di New Orleans tidak bisa bekerja lagi atau memilih pindah ke kota lain.
Dia menggambarkan, setelah terjadi badai, pemerintahan betul-betul kolaps. Dari enam ribu pegawai, tinggal 2.400 orang. Separo lebih pegawai dipecat karena pemerintah kota tidak punya uang untuk menggaji mereka.
"Bahkan, saat itu sempat muncul wacana di Washington untuk membubarkan Kota New Orleans. Selain karena secara geografis rentan bencana, pemulihan akibat bencana juga sangat lamban. Namun, wacana itu tidak berlanjut," kata Wise.
Sekadar diketahui, di Amerika pemerintahan kota yang dianggap bangkrut dan tidak bisa hidup sangat mungkin dilikuidasi atau dimerger dengan kota lain. Hal yang sama terjadi di Jepang. Ini berbeda dengan di Indonesia yang tetap memelihara kota atau kabupaten yang sulit berkembang dan lebih banyak mengandalkan sebagian besar anggarannya dari pusat.
Menurut orang dekat wali kota New Orleans itu, perombakan di pemerintah kota tidak terbatas pada penggantian para pejabat senior. Juga dibentuk beberapa lembaga baru seperti The Office of Performance and Accountability, semacam Dinas Bina Program di Pemerintah Kota Surabaya. Lembaga ini punya tugas mengontrol dan meningkatkan kinerja serta transparansi setiap dinas di pemerintah Kota New Orleans. Di beberapa kota yang saya kunjungi seperti Jacksonville (Florida), Salt Lake City (Utah), dan Los Angeles (California), lembaga seperti itu sudah lama ada.
Lantas bagaimana hasil reformasi pascabadai? Menurut Wise, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan di berbagai bidang. Misalnya, soal pertumbuhan jumlah penduduk. Sebelum badai, jumlah penduduk Kota New Orleans hanya 420.080 jiwa. Setelah badai, jumlahnya turun hingga titik terendah. Baru pada 2008 mulai meningkat menjadi 343 ribu jiwa dan kini tumbuh menjadi 360 ribu jiwa.
"Saat ini pertumbuhan penduduk kami lebih bagus dibanding kota-kota lain di Amerika. Ekonomi tumbuh, lapangan pekerjaan tersedia sehingga menarik warga kota lain untuk pindah ke kota ini. Harga tanah pun jadi naik tajam," katanya.
Geliat ekonomi tersebut juga saya rasakan selama empat hari berada di kota ini. Banyak kegiatan konferensi internasional berlangsung di sini. Penerbangan dari dan menuju New Orleans selalu penuh. Jalanan pada jam-jam berangkat dan pulang kerja juga macet.
"Beberapa tahun terakhir jalanan di sini macet pada jam-jam tertentu. Bikin boring (membosankan, Red)," kata Enrico, sopir taksi asal Puorto Rico, yang sudah tiga tahun bekerja di New Orleans.
Pembangunan fisik kota tampak di mana-mana, terutama di pusat kota. Selain merupakan program kerja pembangunan tahunan, New Orleans sedang menyiapkan diri menjadi tempat perhelatan liga nasional football tahun depan.
Dengan APBD USD 1 miliar atau hampir Rp 10 triliun per tahun, New Orleans berusaha bangkit dari keterpurukan akibat bencana. Hanya, meski anggaran belanja pemerintah kotanya mencapai hampir Rp 10 triliun "bandingkan dengan APBD Surabaya yang Rp 5 triliun untuk 3 juta penduduk" gedung Balai Kota New Orleans sangat jelek untuk ukuran Amerika. Dari luar tampak kumuh dan kurang terawat. Beberapa bagian lantai dan plafonnya dibiarkan cuwil dan catnya mengelupas.
Tentu masih butuh waktu lama bagi New Orleans untuk kembali menjadi kota yang diperhitungkan secara ekonomi maupun sosial-politik-budaya. Meski belum segagah Washington DC, setenang Jacksonville, seindah salju yang turun di Salt Lake City, dan segemerlap Los Angeles, New Orleans kembali memberikan harapan hidup bagi warganya.
Yang sudah pasti, saya pun bisa menikmati lengkingan saksofon dengan rasa aman sambil lesehan di Reservation Hall, bangunan kecil dan kuno tempat para musisi jazz legendaris menyuarakan hatinya. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kunjungi New Orleans Tujuh Tahun setelah Hancur Dihantam Badai Katrina (1)
Redaktur : Tim Redaksi