jpnn.com - Ribuan nasabahnya Credit Union Eka Pambelum Itah (CU EPI) Sampit, Kotawaringin Timur, Kalteng, menjerit.
Pasalnya, dana sebesar Rp 65 miliar yang mereka setor ke koperasi tersebut lenyap tak berbekas.
BACA JUGA: Gara-Gara Status Facebook, 2 Geng Remaja Tawuran
TAMAMU RONY - Sampit
Pagi itu, Senin (4/12), Wiro lebih sibuk dibanding biasanya. Dia menyiapkan sejumlah berkas sebelum berangkat ke kantor.
BACA JUGA: Jembatan Ambruk, Guru Hamil Ikut Tercebur
Setelah berkas yang berkaitan dengan CU EPI dirasa lengkap, Wiro kemudian menghubungi sejumlah orang melalui seluler, rekannya sesama nasabah lembaga koperasi tersebut.
Rencananya, mereka akan bertemu di kantor CU EPI. Meminta kejelasan mengenai uang mereka yang sudah setahun belakangan tak ada kabarnya. Setelah janji temu, Wiro bergegas menuju kantor.
BACA JUGA: Video Mesum Siswi Cantik Beradegan di Lahan Terbuka, Heboh
Wiro merupakan nama samaran. Karena alasan khusus, dia meminta identitasnya tak disebutkan, terutama pekerjaannya.
Wiro menggeber sepeda motornya perlahan menyusuri jalanan Kota Sampit yang sudah cukup padat. Setibanya di kantor, dia beraktivitas seperti biasa.
Ketika jarum jam menunjuk pukul 09.30, Wiro izin ke rekan-rekannya. Termasuk atasan. Niatnya keluar kantor selama sekitar satu jam. Alasannya, dia ada urusan.
Wiro mengarahkan kendaraannya ke kantor CU EPI Sampit di Jalan Ahmad Yani, depan rumah jabatan Bupati Kotim.
Tak sampai lima menit, dia sudah tiba. Jarak antara tempatnya bekerja dengan kantor CU EPI tak sampai satu kilometer.
Bersamaan dengan Wiro, tujuh orang lainnya yang sebelumnya dihubungi melalui ponsel, juga baru tiba. Mereka adalah Yuli, Mila, Theresia, Silvana, Isnawati, dan Maryeni.
Bangunan kantor itu besar. Megah. Dari beton. Berlantai dua dengan kombinasi warna biru dan putih berornamen khas Dayak. Di sekitar gedung itu dikelilingi pagar kayu.
Sejak CU EPI dinyatakan merugi pada 2016 lalu, gedung itu dijadikan ajang silaturahmi sesama nasabah.
Mereka kerap berkumpul untuk membahas segala sesuatu tentang upaya mengembalikan dana yang sudah terlanjur tersangkut arus polemik yang pelik.
Setelah memarkirkan kendaraan, lima orang lainnya berjalan beriringan menuju pintu masuk. Mereka menenteng buku tulis dan beberapa dokumen. Wiro sendiri terlihat masih bercakap-cakap dengan dua orang rekannya.
Sekitar semenit kemudian, mereka masuk ke gedung, menyusul lima rekannya yang lebih dulu masuk. Wartawan Radar Sampit (Jawa Pos Group) mengikuti dari belakang. Rombongan nasabah itu langsung menuju sebuah ruangan berukuran kira-kira 6 x 7 meter.
Untuk ukuran tempat pertemuan, ruangan itu tergolong sempit. Saat CU EPI masih aktif, ruangan itu difungsikan sebagai ruang tunggu khusus tamu koperasi.
Kursi ditata sedemikian rupa, melingkari meja di depannya. Ruangan itu berbatasan langsung dengan ruang administrasi dan arsip.
Delapan orang yang sejak tadi sudah berkumpul, duduk bersama. Wiro masih menenteng buku tabungan dan beberapa dokumen.
Dokumen itu merupakan arsip berisi catatan penting sejarah menabungnya di CU EPI.
Dia kemudian membuka menyinggung soal siapa pelaku yang diduga menilap dana Rp 65 miliar di CU EPI.
”Jangankan uangnya. Hantunya (pelaku) sendiri pun kami tidak tahu siapa. Tapi, kalau dilihat dari gelagatnya, sudah pasti si Nono itu,” kata Wiro, dengan suara cukup keras.
Dia kemudian melempar tumpukan buku tabungan dan dokumen ke atas meja dan duduk di kursi paling pojok.
Buku tabungan itu milik beberapa anggota keluarga Wiro yang ikut ketiban apes karena berinvestasi di CU EPI, setahun silam. Menurut Wiro, total kerugian yang ditanggungnya sekitar Rp 1,8 miliar.
Angka segitu belum ditambah dengan dana keluarga besarnya. Mulai dari mertua sebesar Rp 700 juta, uang pamannya Rp 200 juta, dana anggota keluarga lainnya yang totalnya sekitar Rp 300 juta.
Semua uang tersebut dititipkan kepada Wiro yang kemudian dimasukkan ke CU EPI.
Harapannya, mendapatkan keuntungan bunga sebesar 14 persen, seperti yang dijanjikan koperasi tersebut.
Apabila ditotal, kerugian Wiro bersama keluarganya menembus angka Rp 2,5 miliar. Hal itulah yang kemudian membuatnya stres.
Keperluan rumah tangga ayah dua anak itu kian naik, ditambah beberapa keperluan pribadi lainnya yang semakin bertambah.
Hal itu memaksanya berpikir keras menyelamatkan keluarga kecilnya dari lubang keterpurukan ekonomi.
Hal itu juga yang jadi alasan, dalam pertemuan yang digelar setiap Senin itu, Wiro selalu nampak emosional.
Dia tak mampu lagi membendung rasa bencinya pada siapa pun yang tega menghancurkan koperasi kepercayaannya itu dan membuatnya terpuruk.
Sudah berkali-kali Wiro mengupayakan dan mendesak banyak pihak, mulai dari mantan pengurus lama CU EPI hingga aparat penegak hukum untuk menguak misteri lenyapnya dana nasabah koperasi itu, agar semua uangnya bisa kembali.
Namun, proses yang panjang dan tidak adanya kejelasan proses penyelidikan, membuat Wiro mulai pasrah.
Yang dia bisa lakukan hanyalah tak pernah absen menghadiri pertemuan yang dilakukan seperti saat ini. Meski solusi untuk mengembalikan dana tersebut hampir mustahil.
Namun, dengan cara berkumpul bersama, mampu menyenangkan hatinya. Membuat pikiran stresnya mengendur.
Wiro membuka pertemuan itu dengan doa. Sebelum akhirnya mempersilakan beberapa orang yang hadir menceritakan kondisi keuangan masing-masing.
Sejak CU EPI bermasalah di penghujung 2016 itu, para anggota/nasabah yang tidak dapat mengambil dana mereka di koperasi, sering berkumpul membahas kondisi keuangan masing-masing.
”Untuk melepas penat, stres, dan kegundahan karena dana yang macet. Caranya dengan berkumpul dan bertemu. Dengan melakukan pertemuan seperti ini, hubungan antarnasabah bisa terjalin. Kami bisa saling menguatkan satu sama lain, karena setiap bertemu, kami selalu sharing,” ujar Mila, nasabah yang duduk di antara tujuh orang lainnya dalam ruangan itu.
Tujuh orang selain Wiro yang berkumpul semuanya ibu-ibu. Wiro merupakan satu-satunya pria. Tujuh wanita yang sudah bersuami itu kemudian mulai membicarakan Nono, Ketua CU EPI yang sebelumnya menjabat sebagai manajer. Suasana menjadi riuh. Beragam kecaman terlontar dari mulut mereka.
Pertemuan itu mulai dijadikan ajang bergosip. Hingga salah satu dari mereka menenangkan yang lainnya dan melunakkan suasana.
”Sebaiknya, rapat ini kita tunda dulu. Suasananya terlalu emosional. Rasanya tidak akan ada yang bisa kita dapatkan dengan situasi seperti ini,” kata Mila.
Mereka sepakat menunda rapat sampai pekan depan. Delapan orang itu hanya berbincang biasa. Suasananya berubah kembali. Lebih mirip arisan ketimbang rapat.
Wiro bergabung dengan CU EPI Sampit sejak koperasi itu berdiri pada 2007 lalu. Dia tergiur ajakan Nono yang menawarkan bunga setoran sebesar 14 persen.
Hampir dua kali lipat lebih besar dari suku bunga bank yang ditetapkan 6,5 persen saat itu. Nono juga memintanya mengajak orang lain.
Karena tergiur dengan profit yang tinggi, Wiro mencoba menyetor dana pertamanya kepada CU EPI sebesar Rp 1,5 juta. Saat itu, Wiro masih coba-coba. Tidak ada maksud untuk menambah simpanannya.
Setelah membuktikan sendiri bunga yang dijanjikan menguntungkan, dia menambah uangnya dengan ritme setoran kepada CU EPI sebesar Rp 20 juta setiap bulan selama setahun.
Dana yang disetorkan Wiro merupakan hasil keuntungannya berbisnis travel dengan lima mobil. Ditambah usaha warung makan dan kebun sawit.
Pada 2007, karena dirasa lebih menjanjikan menabung di CU EPI ketimbang ketiga bisnisnya, Wiro menjual seluruh aset yang dimiliki. Hasilnya disetor ke CU EPI.
”Awalnya untuk investasi masa depan keluarga besar saya. Terutama untuk anak-anak dan istri saya,” ujarnya.
Awalnya tidak ada masalah dengan keuangannya. Wiro rutin mengambil profit yang dimilikinya setiap bulan untuk keperluan yang penting saja.
Dia tidak menghitung total keuntungan yang menjadi haknya. Hanya mengambil uang tersebut seperlunya. Rata-rata Wiro mengambil Rp 3 juta – Rp 5 juta setiap bulan.
Keuntungan menabung di CU EPI ia rasakan selama hampir 10 tahun. Hingga pada November 2015, muncul masalah tak terduga.
Dia tidak bisa lagi menarik dana dari CU EPI. Alasan yang diberikan bagian keuangan saat itu, karena kas koperasi menipis.
Wiro lantas menghubungi kantor Badan Koordinasi Credit Union (BKCU) Kalimantan di Pontianak, induk CU EPI Sampit.
Dia ingin meminta pertanggungjawaban, setelah sebelumnya tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari manajemen CU EPI.
Upayanya nihil. BKCU Kalimantan enggan memberikan bantuan. Alasannya, tidak tahu masalah yang sedang terjadi di Sampit.
Wiro tidak sendiri. Ribuan nasabah cabang CU EPI yang tersebar di Kotim juga mengalami nasib sama.
Pada 8 Maret 2016, mereka kemudian berkoordinasi dengan manajemen CU EPI saat itu untuk meminta pertanggungjawaban.
Setelah mengalami masa-masa awal kebangkrutan, pihak manajemen melalui Nono yang baru saja diangkat sebagai Ketua CU EPI TP Parenggean pada 20 Februari, menyurati BKCU Kalimantan untuk meminta bantuan mengatasi polemik.
Tim audit didatangkan oleh pengurus pada pertengahan Juni 2016. Anggotanya dua orang. Tidak banyak informasi mengenai dua orang ini.
Radar Sampit hanya mendapatkan nama, yakni Ferdian dan Richard. Setelah melakukan pengecekan data selama dua hari, tim audit menemukan kerugian koperasi sebesar Rp 65 miliar.
Nasabah yang mengetahui hal itu dibuat marah dan meminta diadakan pertemuan akbar. Setelah didesak nasabah, manajemen bersama pengurus CU EPI dan BKCU Kalimantan mengadakan rapat anggota luar biasa di Gedung Serbaguna Sampit pada 24 Oktober 2016.
Rapat yang digelar sejak pukul 08.30 itu berujung ricuh. Tim audit yang membacakan kerugian tidak mampu memberikan rincian kerugian RP 65 miliar itu.
Beberapa anggota/nasabah mulai panas. Mereka bahkan melempar kursi dan meneriaki para pengurus yang hadir.
Kemarahan para nasabah saat itu mulai bertambah ketika sang ketua, Nono, tidak mampu menjelaskan secara rinci bagaimana CU EPI di bawah kepemimpinannya bisa merugi sebesar itu.
Rapat yang digelar selama enam jam tersebut tidak menghasilkan keputusan pasti soal dana nasabah. BKCU Kalimantan kemudian membentuk Tim Penyehatan Jilid I saat itu juga untuk membantu memulihkan keadaan dengan melakukan pendampingan kepada seluruh lapisan CU EPI, mulai dari manajemen hingga nasabah.
Tim penyehatan itu beranggotakan tujuh orang, yakni Martha Ujai, Maryeni, Sempung, Sawuh, (almarhum) Palmer Manurung, Sibarani, dan Dermawan.
Dalam laporan kerja tim penyehatan, tugas mereka bertujuh melakukan pendampingan atau memberikan kuasa hukum kepada orang yang ditunjuk untuk kepentingan CU EPI, misalnya menyewa advokat.
Tim yang diketuai Martha itu juga dapat menonaktifkan anggota pengurus, pengawas, dan pengelola sementara, serta dapat mengambil alih tugas mereka.
Selain itu, bertanggung jawab mengumpulkan data/informasi yang diperlukan untuk keperluan pemulihan CU EPI.
Mereka juga diberikan keleluasaan memeriksa dan menggunakan segala catatan/arsip koperasi demi kepentingan tugas dan tanggung jawab yang mereka emban.
Namun, meski sudah bekerja secara sistematis, tim penyehatan tidak mampu mengembalikan kerugian.
Kinerja mereka bahkan mulai diragukan para nasabah. Padahal, waktu itu, menurut Martha, manajemenlah yang tidak mau kooperatif dengan timnya dan terkesan menutup akses informasi soal dana Rp 65 miliar tersebut.
”Tidak ada yang mampu menyelesaikannya (polemik kerugian CU EPI). Soalnya, semua manajemen CU EPI itu menutupi semua kelakuan mereka. Padahal, kalau saja mereka terbuka dengan kami, tim penyehatan jilid satu ini, problem dapat teratasi,” ujar Martha kepada Radar Sampit.
Martha menuturkan, sebelum Nono diangkat menjadi ketua, koperasi tersebut dilaporkan tidak bermasalah.
Padahal, disinyalir sudah merugi sejak 2007. Artinya, sejak Nono menjabat sebagai manajer, CU EPI sudah bangkrut.
Ditopang Anggota
Sejak pertama didirikan, secara nasional Credit Union yang merupakan lembaga nonperbankan ini memiliki sistem sirkulasi dana yang unik.
CU memiliki banyak cabang yang tersebar di seluruh Indonesia (seperti halnya CU EPI, cabang dari CU Kalimantan). Koperasi itu berjalan dengan proses perputaran uang tanpa bantuan bank maupun deposito.
Target segmentasi pasar CU merupakan warga kalangan menengah ke bawah dari beragam profesi, seperti petani, buruh, karyawan, peternak, dan lainnya.
Sistem yang ada di CU tidak hanya unik, namun ”ajaib”. Setiap yang menabung akan dijamin dengan profit sebesar 14 persen untuk standarnya.
Namun, di satu sisi, perputaran uang itu tidak digunakan untuk bermain saham atau berinvestasi dengan produk pendanaan di bank manapun.
Artinya, uang anggota paling sering didiamkan. Alih-alih diputar, masuknya juga ke kantong penyetor tadi.
Berdasarkan laporan pembukuan BKCU Kalimantan tahun 2015, dari anggota terhimpun aset sebesar Rp 5,4 triliun. Sebanyak Rp 4,83 triliun merupakan total simpanan milik 414.071 orang anggota. Rata-rata simpanan sebesar Rp 11,6 juta per anggota pada jaringan BKCU Kalimantan.
Nilai kekayaan BKCU Kalimantan naik pada 2016. Pada periode awal tercatat sebesar Rp 5,7 triliun. Artinya, selama sekitar setahun sejak 2015, kekayaan meroket sebesar Rp 300 miliar.
Di situlah letak ajaibnya. Uang tidak berputar, koperasi jelas-jelas merugi. Namun, keuangan jalan terus dan makin beranak pinak.
Dalam skala nasional di tahun yang sama, koperasi simpan-pinjam tersebut memiliki total nilai aset sebesar Rp 22 triliun, dengan anggota sebanyak 2.530.000 orang yang tersebar dalam 36 puskopdit dan 921 CU primer.
”Dana CU murni dari para anggota, tidak ada dana asing, tidak ada dana sponsor, tidak ada dana titipan pihak mana pun, selain uang rakyat Indonesia yang telah bergabung menjadi anggota,” ujar Dewi, staf CU EPI Sampit yang kini masih bekerja melayani nasabah.
Masalah pengelolaan dana simpanan di Credit Union seperti di Sampit sebenarnya pernah terjadi di daerah lain.
Pada Januari 2015 lalu, misalnya, belasan anggota CU Sanqti Pasuruan, Jawa Timur, menyegel kantor koperasi itu. Mereka menduga pengurus koperasi menggelapkan uang simpanan anggota senilai miliaran rupiah.
Merugi
Total kekayaan CU EPI Sampit pada 2015 menurut laporan keuangan koperasi mencapai Rp 105,9 miliar, dengan jumlah anggota sebanyak 6.400 orang.
Dana itu disimpan di empat bank berbeda, yakni BNI, Mandiri, BPK, dan BRI. Pada 2016, jumlah anggotanya turun menjadi 5.899 orang. Musababnya, mereka ramai-ramai menarik diri setelah CU EPI bermasalah.
Pola investasi CU EPI Sampit agak berbeda dibanding CU lainnya. CU EPI Sampit menawarkan deposito kepada nasabahnya, namun tidak ada penggandaan uang di sana. Selain itu, ada sejumlah usaha yang dijalankan, seperti SPBU, perkebunan, dan lainnya.
Sejak berdiri pada 2007 – 2015 lalu, koperasi tersebut ternyata sudah mengalami kerugian cukup besar. Bahkan, kerugian itu meninggalkan aroma tak nyaman. Jejak hitam yang diduga menyimpang.
Berdasarkan catatan laporan keuangan CU EPI, terdapat selisih pendapatan dan bunga pada periode 2007 hingga 2015 sebesar Rp 20 miliar.
Biaya organisasi juga disebut-sebut mencapai angka Rp 16 miliar pada periode yang sama. Tak dijelaskan secara rinci mengenai laporan itu.
Selain itu, terdapat juga permasalahan yang disinyalir sebagai data manipulatif yang diduga sengaja dibuat pihak manajemen untuk mengelabui tim penyehatan.
Tujuannya untuk menyamarkan dana puluhan miliar yang raib tak jelas. Dalam laporan, tertulis ”kesalahan operasional” dengan total nilai Rp 21 miliar.
Laporan itu membuat tim penyehatan curiga. Martha menuturkan, setelah dia bersama timnya melakukan pengecekan berkas laporan yang berisi sejarah perjalanan karier CU EPI, dia tidak menemukan kesalahan operasional tersebut.
Dari laporan keuangan yang sama juga disebutkan, jumlah biaya organisasi dan perjalanan yang belum dibukukan. Nilainya mencapai Rp 862 juta.
Ada juga masalah lain yang dinilai mencurigakan. Di dalam data itu ditulis, tiga tempat pelayanan (TP) CU di Kotim kerampokan dan kemalingan. Nilai totalnya Rp 1 miliar lebih.
Rinciannya, insiden kerampokan di TP Sebabi sebesar Rp 336 juta lebih, TP Parenggean Rp 608 juta lebih, dan pencurian di TP Sampit dengan total nilai Rp 100 juta.
Kejadiannya tercatat pada periode 2013 hingga 2015. Anehnya, tak ada laporan ke Polres Kotim. Hal ini diperkuat ketika Radar Sampit mengecek ke SPKT Polres.
”Hal tersebut tentu aneh,” ujar Martha.
”Kemalingan uang sebanyak itu, tapi, kok tidak dilaporkan? Sulapan namanya,” lanjut perempuan berusia 70 tahun yang juga aktivis sekaligus mantan politikus Golkar itu dengan nada tinggi. Wanita yang rambutnya memutih seiring dengan usianya yang kian senja itu terlihat menahan amarah.
Berdasarkan dokumen pertanggungjawaban pengurus CU EPI yang diperoleh koran ini dari Martha, tertulis sejak 2007 – 2014, laporan pertanggungjawaban pengurus dalam kegiatan Rapat Anggota Tahunan (RAT) tidak disajikan secara transparan kepada anggota lainnya.
”Tidak ada yang jujur sejak awal berdirinya CU EPI. Termasuk pengurus inti. Yang dilaporkan pengurus, selalu menyebut, koperasi dalam kondisi ideal dan tidak ada masalah. Tapi, jika dilihat dari analisis kesehatan lembaga, baru diketahui kalau CU EPI bermasalah,” ungkap Martha.
Dokumen itu menyebutkan, dari segi usaha yang dijalankan, dana CU EPI digunakan pengurus untuk berinvestasi dalam bidang perminyakan (SPBU), bahan kebutuhan pokok, dan pembelian hasil kebun karet.
Transaksi keuangan yang digunakan untuk beberapa usaha tersebut dilaporkan mencapai angka Rp 103 miliar.
Dana sebesar itu dinilai tidak logis untuk ukuran sebuah upaya pembukaan suatu bisnis yang akhirnya gagal. Lebih luar biasanya lagi, tidak ada catatan keuangan dengan jumlah Rp 103 miliar seperti yang dilaporkan pengurus.
Melihat situasi yang kritis dari laporan tersebut, tim penyehatan yang bekerja sekitar enam bulan, memutuskan berhenti mengambil alih polemik. Pasalnya, ribuan nasabah dengan pihak manajemen CU EPI tak kompak.
Nasabah tidak percaya lagi dengan manajemen yang tak pernah memberikan pemberitahuan soal kondisi keuangan CU EPI sejak awal didirikan.
Mereka tahu-tahu sudah dikejutkan dengan kerugian Rp 65 miliar. Itu pun dari hasil pengecekan tim audit.
Selanjutnya, pada 24 dan 25 Februari 2017, BKCU Kalimantan menurunkan Edward, seorang akuntan publik untuk melakukan audit ulang. Hingga kini, proses audit itu masih berlanjut.
Setelah dimulainya audit kedua itulah, Tim Penyehatan Jilid I rehat sekitar dua minggu sebelum akhirnya dibubarkan.
Pada 12 Maret 2017, mereka digantikan Tim Penyehatan Jilid II dengan anggota sebanyak 6 orang yang diketuai Parimus (Wakil Ketua II DPRD Kotim).
Sekretarisnya dijabat Arkedeus. Empat anggota lainnya meminta namanya diinisialkan, yakni LU, ST, YU, dan DO.
Tim Penyehatan Jilid II dibentuk untuk melanjutkan kerja tim pertama. Tugas mereka sama. Hingga kini, tim tersebut masih menjalankan tugasnya, selain menunggu hasil audit dari Edward. (***/ign)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terios Oleng, Tabrak Tebing, Rusak Berat
Redaktur & Reporter : Soetomo