Kurban

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 20 Juli 2021 – 07:53 WIB
Mal Hewan Kurban H Doni di Depok, Jawa Barat, menjual sapi berbagai ukuran untuk Iduladha. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kekerasan dan kekejaman terhadap binatang (animal cruelty, animal abuse) menjadi isu utama yang diperjuangkan oleh para aktivis hak-hak binatang (animal rights) di seluruh dunia, terutama di Eropa dan Amerika Serikat.

Di Prancis, aktris senior Brigitte Bardot menjadi tokoh utama pembela hak-hak binatang yang setiap tahun mengeluarkan kampanye anti-penyembelihan hewan oleh orang-orang Islam dalam Iduladha.

BACA JUGA: Demi Menjaga Prokes, Polda Metro Jaya Siap Membantu Bagikan Daging Kurban

Menurut Bardot penyembelihan hewan-hewan kurban itu bertentangan dengan hak-hak kebinatangan karena metode penyembelihannya masuk dalam kategori animal cruelty, kekejaman terhadap binatang.

Gerakan hak-hak binatang sering disebut sebagai gerakan pembebasan binatang (animal liberation) dan juga disebut sebagai ‘animal personhood‘ karena menyejajarkan binatang (animal) dengan perorangan (person).

BACA JUGA: Jokowi Serahkan Hewan Kurban di Masjid Istiqlal, Beratnya Sebegini

Para aktivis berpendapat bahwa sebagaimana manusia, binatang juga bisa merasakan rasa senang bahagia, sedih, dan kesakitan.

Di Australia gerakan hak binatang sudah muncul dan populer pada 1970 dengan munculnya filsuf Peter Singer yang secara khusus menekuni studi mengenai organisme binatang.

BACA JUGA: Kotak Amal Saat Salat Iduladha Ganti dengan Transfer

Menurut Singer, binatang bisa merasakan kesedihan ketika dipisahkan dari orang tua, kerabat, dan lingkungannya. Kalau manusia tidak bisa membahagiakan binatang, maka jangan membuatnya menderita. Begitu inti filosofi Singer yang kemudian mendapat banyak pengikut di Eropa dan Amerika.

Kekerasan dan kekejaman terhadap hewan tidak hanya terjadi di peternakan dan penjagalan, tetapi juga di perumahan, kelompok sirkus, dan juga jutaan hewan yang menjadi subjek penelitian ilmiah seperti tikus, anjing, kucing dan lain-lainnya.

Penyembelihan hewan kurban dalam Iduladha dalam beberapa tahun terakhir juga menjadi sasaran kritik dan kontroversi. Kalangan aktivis hewan menganggap metode penyembelihan bertentangan dengan standar modern, dan karena itu dianggap sebagai kekerasan dan kekejaman.

Dalam standar ajaran Islam prinsip utama dalam penyembelihan hewan kurban adalah tidak melakukan penyiksaan terhadap hewan. Dan tidak membuat hewan menderita baik fisik maupun mental, hewan tidak boleh mengalami stres apalagi depresi selama proses kurban.

Penyembelihan dilakukan dengan peralatan yang sangat tajam dengan satu gerakan yang mematikan ke arah tenggorokan. Hewan harus dipastikan mati dengan darah yang mengucur lepas dari nadi utama di tenggorokan dan nadi utama pernapasan.

Penyembelihan dalam standar Islam adalah pembunuhan berwelas asih (mercy killing).

Selama Iduladha setiap tahun umat Islam bisa menyembelih 100 sampai 130 juta binatang, dengan asumsi sepuluh persen dari 1,3 miliar umat Islam di dunia melakukan kurban.

Jumlah ini dilihat sebagai angka yang masif dalam sehari karena dilakukan terbuka, serempak, dan disertai ritual khusus, yakni salat Iduladha dan takbir.

Padahal jika dibandingkan dengan penyembelihan yang dilakukan untuk konsumsi masyarakat modern setiap hari jumlah itu terlihat sangat minim.

Hitunglah berapa konsumsi daging ayam setiap hari di seluruh dunia. Di Indonesia saja setiap tahun produksi dan konsumsi ayam potong mencapai dua juta ton atau dua miliar kilogram.

Kalau satu ekor ayam rata-rata beratnya dua kilogram maka ada satu miliar ayam yang disembelih tiap tahun.

Di Indonesia cara penyembelihan masih masuk dalam standar syariah Islam, tetapi di negara-negara lain penyembelihan dilakukan di luar standar. Bahkan banyak dilakukan dengan sengaja tidak mengalirkan dari dari tubuh hewan.

Islam mengajarkan untuk mengonsumsi hewan domestik yang bersih dan tidak liar atau galak, sehingga hewan bertaring dan berkuku tajam tidak dikonsumsi.

Beda dengan tradisi lain yang mengonsumsi hewan-hewan kotor yang malah disebut sebagai eksotik seperti anjing, ular, kelelawar, kalajengking, kelabang.

Kecurigaan yang sampai sekarang masih menyebar luas adalah bahwa penyebab penyebaran virus Covid 19 ini adalah akibat kebiasaan memakan daging kelelawar di kalangan masyarakat China di Wuhan.

Semua orang tahu bagaimana cara membunuh anjing untuk konsumsi, dimasukkan karung dan dikepruk kepalanya dengan benda tumpul supaya darah tidak keluar. Praktik ini diduga terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti Solo dan Sumatera Utara.

Kekejaman dan kekerasan terhadap hewan terjadi masif di dunia kapitalisme modern yang ditopang oleh konsumerisme. Jargon utama kapitalisme modern adalah “Belanjalah Makanlah”. Belanja dan makan bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup, tetapi menjadi gaya hidup, life style.

Media mengampanyekan iklan “Shop till You Drop”, belanjalah sampai kamu habis, dan “Your Are What You Eat”, status diri ditentukan oleh gaya makan.

Islam mengajarkan moderasi, tawasuth, dalam segala hal termasuk dalam makanan. Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Muhammad SAW menganjurkan agar sepertiga perut diisi makanan, sepertiga diisi air, sepertiganya dikosongkan. Muslim adalah kaum yang tidak makan kecuali lapar dan ketika makan tidak kekenyangan.

Makan daging adalah kebutuhan hidup akan kalori. Makan steak adalah expensive life style, gaya hidup yang mahal. Dan lebih mahal serta lebih gaya lagi adalah makan steak daging sapi wagyu dari Jepang yang lembut dan empuk.

Untuk memenuhi nafsu konsumerisme masyarakat modern sapi-sapi di Jepang itu harus mengalami penderitaan yang menyedihkan.

Sapi-sapi itu ditempatkan di kerangkeng seukuran tubuhnya, tidak bisa bergerak dan tetap berdiri seumur hidupnya tanpa boleh sedetik pun duduk. Tujuannya supaya dagingnya lembut berair dan ototnya halus tidak kenyal. Ia diberi makanan pilihan dan untuk minumnya diberi sake.

Setelah lima bulan dalam kerangkeng, sapi digiring ke penjagalan. Itulah kali pertama dan terakhir sapi itu berjalan. Islam tidak membolehkan hewan yang masih sangat muda untuk dijadikan hewan kurban.

Sekarang ini manusia di planet bumi jumlahnya tujuh miliar, sedangkan populasi hewan liar di seluruh dunia tidak sampai seratus juta. Manusialah penyebab kepunahan hewan-hewan liar itu.

Mereka masih dibunuh dan selebihnya didomestifikasi, dijinakkan dan diternakkan untuk kemudian dimangsa oleh manusia menjadi sate, soto, dan steak.

Populasi hewan ternak di dunia sulit diperkirakan, tetapi bisa dipastikan jumlahnya sepuluh kali lipat manusia.

Selandia Baru yang penduduknya cuma empat juta manusia populasi sapinya berjumlah 40 juta ekor. Semuanya untuk melayani nafsu konsumerisme manusia modern.

Sampai sekarang, aktivis animal rights masih tetap menuduh Islam melakukan kekejaman terhadap binatang (animal abuse/cruelty) karena menyembelih massal jutaan hewan setiap Iduladha.

Pelaku animal cruelty paling sadis adalah kapitalisme dan konsumerisme, yang menjagal miliaran hewan setiap hari untuk dijadikan pemuas nafsu manusia modern. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
kurban   sapi   Iduladha   Cak Abror  

Terpopuler