jpnn.com, JAKARTA - Beragamnya standarisasi dan sertifikasi justru akan menghambat upaya membangun SDM unggul untuk Indonesia maju. Karena itu perlu disinergikan agar jangan sampai keberadaan badan standardisasi justru membingungkan masyarakat.
"Saat ini kita punya Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang dikenal dengan keluaran SNI untuk produk barang. Di sisi lain UU Sisdiknas memberikan amanat kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menetapkan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Nah ini sebaiknya disinergikan untuk percepatan SDM Indonesia unggul," tutur Ketua Masyarakat Standarisasi (Mastan) Supandi dalam diskusi yang digelar Forum Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
BACA JUGA: Kepala BSN: Penerapan SNI Tidak Harus Dipaksa lewat Regulasi
Anggota BSNP Waras Kamdi mengatakan, salah satu kewenangan mereka adalah menetapkan standar kompetensi lulusan. Baik untuk pendidikan formal (sekolah) maupun non formal melalui satuan pendidikan lembaga kursus dan pelatihan (LKP).
UU Sisdiknas mengamanatkan lulusan lembaga kursus dan pelatihan dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi maka dibentuklah LSK.
BACA JUGA: Perguruan Tinggi Diminta Membuat Kurikulum Bermuatan Adaptif
"LSK yang melaksanakan sertifikat kompetensi kepada peserta didik dan masyarakat sebagai pengakuan terhadap Kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi," terangnya.
Dia melanjutkan, peserta didik harus memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi dan berkomunikasi. Kemampuan ini menjadi ruh dalam setiap proses pembelajaran agar peserta didik memiliki kecakapan dalam menyelesaikan masalah.
Untuk memberikan kemampuan tersebut, tidak bisa diterapkan dalam materi kurikulum pembelajaran. “Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan proses pembiasaan dan mendekatkan proses pembelajaran pada realitas,” ujar Waras.
Menurutnya, ketika anak atau siswa belajar pada realitas kehidupan, mereka akan menyadari problem dan persoalan di masyarakat. Dari persoalan-persoalan mereka menemukan alternatif penyelesaian dan peluang untuk menjadi pilihan hidup atau profesi yang mereka tentukan.
Dia berharap hal tersebut dilakukan mengingat kondisi peserta didik di Indonesia sudah mengalami perubahan terutama dari sisi cara belajar minat kerja. Menurutnya, para peserta didik saat ini memiliki kecenderungan agar keinginan mereka didengar sehingga perlu model pembelajaran berbeda.
Di sisi lain, lanjutnya, kurikulum pendidikan yang ada masih bertumpu pada pekerjaan-pekerjaan yang ada. Padahal sudah banyak pekerjaan yang tidak lagi relevan dan para peserta didik harusnya diberi ruang untuk menjadi pencipta pekerjaan baru.
“Ke depan akan sulit bagi kita untuk memprediksi lapangan pekerjaan. Maka, perlu cara berpikir dan kecakapan lain yang sumbernya dari C4 (Communication, Collaboration, Critical Thinking and Problem Solving, dan Creativity and Innovation) agar anak mampu menciptakan jenis pekerjaan baru. Jenis pekerjaan dan profesi apa yang sudah lahir sekarang bukan diciptakan guru atau instansi pendidikan, tapi anak-anak. Mereka penciptanya,” tutupnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad