Kursi Roda untuk Penderita Stroke, Digerakkan Sinyal Otak

Rabu, 03 Februari 2016 – 07:44 WIB
Arjon Turlip, penemu kursi roda otak, sedang menjelaskan cara kerja kursi roda otak bersama tim LIPI. Foto: Zalzilatul Hikmia/JAWA POS

jpnn.com - TANGAN robot karya I Wayan Sutawan (Tawan) dari Bali sempat memicu polemik. Penggunaan teknologi sinyal otak untuk menggerakkan lengan robot itu diragukan. Namun, penggunaan sinyal otak melalui teknologi electroencephalography (EEG) benar adanya. Salah satu buktinya adalah kursi roda otak yang dibuat peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Arjon Turnip dan tim.

Zalzilatul Hikmia, Bandung 

BACA JUGA: Ketika Narapidana Bertani, Setahun Hasilkan 4 Ton Cabai dan 4,5 Ton Terong

’’Konsentrasi, ya,’’ tutur Muhammad Agung, 25, setelah memasang cap elektroda di atas kepala dan menyuntikkan gel di lubang-lubang cap. Ada 32 titik di kepala yang disambungkan dengan cap elektroda itu. Sebelum mulai digunakan, elektroda harus dipastikan menempel pas di kulit kepala.

Agung kemudian mengulik laptop yang telah terpasang di atas kursi roda. Hal itu dilakukan untuk memasukkan sinyal yang dihantarkan listrik kepala melalui cap elektroda ke amplifier sehingga bisa diolah di software EEG di laptop. 

BACA JUGA: Gue jadi Ngeri nih Pesan Kopi...

Tidak lama kemudian, koneksi pun terbangun. Di layar laptop muncul grafik sinyal yang dikirimkan otak. Setiap memikirkan sesuatu atau tak sengaja menggerakkan tangan, mata, atau bagian tubuh lainnya, bentuk grafik akan berubah. 

Setelah itu, sinyal diolah kembali. Sinyal yang masuk difilter dari noise-noise yang ada dalam pikiran. Hanya disisakan untuk sinyal dengan frekuensi 9 hertz yang berarti instruksi maju. Lalu, 8 hertz untuk mudur, 6 hertz ke kiri, dan 7 hertz ke kanan. 

BACA JUGA: Sedih, Tak Pernah Ribut tapi Suami Pergi Bawa Anak, Gabung Gafatar?

Sinyal itulah yang dikirim ke pengontrol di bagian bawah kursi roda. Pengontrol tersebut kemudian menerjemahkan perintah ke kursi roda untuk bergerak. 

Grafik di layar laptop pun langsung berganti dengan layar hitam yang dihiasi empat kotak yang berkedip-kedip. Masing-masing kotak berada di sisi kanan, kiri, atas, dan bawah. 

’’Sekarang coba konsentrasi dan perintahkan untuk maju ke depan,’’ ujar salah seorang anggota tim peneliti kursi roda otak itu. 

Menggerakkan kursi roda tersebut ternyata tidak semudah dugaan awal. Meski sudah berkonsentrasi dan berusaha menggerakkannya, laju kursi roda sering tidak sesuai dengan yang dimaksud. Hal itu terjadi karena konsentrasi sering terputus.

’’Hahaha... Ini kok nggak bisa maju lurus?’’ kata Ari Supriyanti yang berkesempatan mencoba langsung kursi roda otak itu di balai Unit Pelaksana Teknis (UPT) LIPI Bandung, Rabu (27/1).

’’Coba sambil lihat gambar kotak di layar,’’ ujar Agung. 

Pria alumnus Fakultas Fisika, Universitas Islam Negeri (UIN) Gunung Djati, Bandung, itu langsung mengarahkan pandangan mata Ari ke empat kotak di layar.

Saran itu pun lebih memudahkan. Stimulan gambar membuat kursi roda berjalan sesuai dengan arah yang diinginkan. Meski, Ari merasakan delay selama beberapa detik saat instruksi berubah. Misalnya, dari perintah gerak lurus ke depan, lalu beralih belok kanan. 

Delay juga terjadi saat perintah untuk berhenti. Respons yang terlalu lama sering membuat kursi roda terbentur kaki meja di ruangan. ’’Memang tidak akan bisa seluwes saat digerakkan dengan tangan. Namun, untuk mengantisipasi, kami sudah pasang sensor sejauh 30 sentimeter sehingga laju akan berhenti bila sensor mendeteksi adanya benda,’’ jelasnya.

Memang masih banyak pekerjaan rumah untuk mengembangkan kursi roda otak itu. Sebab, penggunaannya juga cukup melelahkan. Sebab, otak dituntut berkonsentrasi penuh saat menjalankan kursi roda.

Arjon Turnip, peneliti utama kursi roda otak tersebut, mengakui bahwa penelitian itu memang baru tahap imajinasi. Dia pun sudah berencana menindaklanjutinya secara serius agar kursi roda tersebut bisa digunakan. Dia mengaku telah berkomunikasi dengan sejumlah dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung untuk melakukan kajian bersama.

’’Agar bisa tahu secara medisnya bagaimana. Terus terang, kursi ini memang belum diujicobakan ke pasien. Karena itu, kan tidak bisa sembarangan,’’ tegas alumnus Pusan National University, Busan, Korea Selatan, tersebut. Namun, imbuh dia, dari sisi engineering, kursi roda tersebut dijamin aman karena tidak akan melukai pengguna.

Arjon baru empat tahun mendalami teknologi tersebut di tanah air sepulang meraih doktor di Korea Selatan, 2011. Arjon yang mendapat banyak ilmu soal EEG di sana langsung menyalurkannya kepada anak didiknya di Bandung.

Dalam praktiknya, aplikasi EEG masih digunakan untuk hal-hal sederhana. Misalnya, untuk mobil-mobilan. Lambat laun, dalam benaknya muncul keinginan untuk mengembangkan teknologi EEG itu agar bermanfaat. Dia pun membuat aplikasi brain mapping dan mengembangkan lie detector. ’’Lalu, pada 2013 mulai berpikir bikin kursi roda,’’ ungkapnya. 

Pemikiran itu muncul setelah Arjon mengamati perkembangan penyakit yang diderita masyarakat Indonesia. Menurut dia, saat ini, di antara semua penyakit yang tidak menular, stroke menempati posisi ketiga teratas. Karena itu, pria yang genap berusia 42 tahun pada April nanti tersebut berharap bisa memberikan sumbangsih untuk meringankan beban mereka. 

Mengajak sejumlah rekan sejawat dan anak didiknya, Arjon memulai penelitian kursi roda yang digerakkan dengan pikiran. Mereka dibagi dalam beberapa tim. Ada bagian yang menerjemahkan algoritma untuk membuat software. Ada pula tim yang bertugas membuat pengontrol untuk meneruskan perintah sinyal otak ke kursi roda.

Prosesnya pun tidak mudah. Selama lebih dari dua bulan, tim harus mengulang percobaan untuk mengetahui berapa besar frekuensi yang dikirim otak untuk perintah maju, mundur, serta belok kanan dan kiri. ’’Pengelolaan sinyal dari otak itu ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Artinya, sangat sulit ditangkap dan banyak ’sampah’-nya,’’ ujar pria kelahiran Panangkoha, Samosir, Sumatera Utara, tersebut.

Setelah berhasil membuat formulanya, dia menyinkronkannya dengan database di software. Akhirnya, kursi roda bisa dijalankan dengan sistem EEG pada awal 2014. ’’Terus kami sempurnakan hingga sekarang agar betul-betul bisa digunakan,’’ tegasnya.

Meski alat tersebut masih dalam tahap penyempurnaan, banyak pihak yang sudah menyatakan tertarik dan memesan. Belum ada target pasti untuk komersial. Namun, diprediksi, satu kursi roda otak tersebut bisa dipasarkan Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. (*/c5/end)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Namanya Ganjar, Pekerjaan...Pendaki Gunung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler