Suhardi, pemilik rumah makan Upit, menerangkan, tahun 2009 pernah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Kerinci senilai Rp 1 miliar. “Namun mark up nilai kwitansi dalam kasus dugaan korupsi APBD Kerinci tahun 2009 senilai Rp 1,7 miliar tersebut bukan di rumah makan saya,” tegasnya.
Saksi menjelaskan, pihak rumah makan tidak pernah memberikan stempel dan kwitansi pembayaran utang pada pemkab. Dari bukti kwitansi, tercatat sekitar seratus kwitansi lengkap dibubuhi stempel dan tanda tangan. Suhardi pun dia tidak tahu siapa yang membuat kwitansi fiktif tersebut. "Stempel dan tanda tangan bukan dari kami," tegas saksi kepada majelis hakim yang diketuai Suprabowo.
keterangan saksi lain, Harpan Putra, pemilik Toko Buku Citra, juga mengaku tidak pernah kerjasama dengan Pemkab Kerinci. Harpan diperiksa terkait faktur pembelian alat tulis dan kantor. Pembelian yang dilakukan di tokonya dilakukan dengan sistem cash and carry. “Saya sendiri terkejut ketika mengetahui ada faktur fiktif senilai Rp 198 juta, dan stempel yang dipalsukan,” ungkapnya.
Dugaan penyimpangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2009 di Setda Kabupaten Kerinci ini menjadikan dua pegawai negeri sipil (PNS) sebagai terdakwa. Mereka diduga membuat surat pertanggungjawaban (SP) fiktif pada pengeluaran bagian umum sekretariat daerah. SPJ fiktif ini digunakan untuk makan dan minum, surat pembayaran perjalanan dinas (SPPD), sewa gedung dan pembayaran majalah.
Atas perubuatan itu, terdakwa dijerat Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (ira)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bidan PTT Minta Kejelasan Status
Redaktur : Tim Redaksi