JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) akan memeroses lahirnya vonis 66 hari terhadap DY (11 tahun) oleh hakim tunggal Roziyanti di Pengadilan Negeri Pematangsiantar, Sumatera Utara. Vonis ini melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa anak sampai 12 tahun tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Putusan MK tersebut memperbaiki pasal 363 ayat 1 ke 4e KUHP juncto pasal 4 Undang Undang (UU) nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada 24 Februari 2011. Sebenarnya sudah ada UU baru pasal nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
UU peralihan yang baru bisa efektif pada 2014 itu juga senada dengan putusan MK. Tertuang dalam pasal 21 pada intinya anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana diputuskan untuk diserahkan kembali kepada orangtua/wali, atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial.
Komisioner Komisi Yudisial (KY) bidang Pengawasan Hakim, Suparman Marzuki, mengatakan bisa saja mereka berkelit UU terbaru efektifnya pada 2014. Tetapi hakim dalam memutus suatu perkara tidak boleh kacamata kuda. "Ini yang diadili anak.
Ada persepetktif-perspektif seperti hak asasi manusia, hak anak, yang harus dia perhatkan. Dari sudut ini hakim setempat tidak perhatikan," ujarnya saat dihubungi, Jumat (7/6).
Selain itu, kata Suparman, MK sudah batalkan ketentuan lama dari usia 8 tahun batasannya menjadi 12 tahun dan itu wajib dipatuhi. "Semangatnya (MK) untuk diperhatikan dan diberlakukan secepat mungkin harus diterapkan. Maka boleh jadi dia tidak mengerti kalau ada putusan MK. Kalau dia tidak tahu ini kan fatal," tegasnya.
Tidak ada alasan bagi penegak hukum tidak mengetahui putusan MK tersebut. Meskipun, menurut Suparman, bisa saja hakim itu tahu tetapi tidak peduli dengan perkembangan hukum. "Oleh karena itu kita akan minta putusannya, daftar pertimbangannya apa," ucapnya.
Kalau memang ada indikasi pelanggaran, menurutnya, hakim itu bisa saja dikategorikan melakukan pelanggaran unprofesional conduct atau tindakan profesional. "Tidak profesionanlnya itu sebagai hakim. Putusan itu tidak bisa kita batalkan, tetap berjalan dan harus kami hormati. Tapi dia harus bertanggungjawab," pastinya.
Bentuk pertanggungjawabannya itu lah yang akan ditelusuri KY dari putusan dan wawancara kepada hakim terkait. "Setiap hakim harus responsif dengan kesalahan hukum karena tentukan nasib orang, nyawa orang, harta orang. Tidak bisa dia putus berdasarkan undang undang yang tidak berlaku," paparnya. (gen)
Putusan MK tersebut memperbaiki pasal 363 ayat 1 ke 4e KUHP juncto pasal 4 Undang Undang (UU) nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada 24 Februari 2011. Sebenarnya sudah ada UU baru pasal nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
UU peralihan yang baru bisa efektif pada 2014 itu juga senada dengan putusan MK. Tertuang dalam pasal 21 pada intinya anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana diputuskan untuk diserahkan kembali kepada orangtua/wali, atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial.
Komisioner Komisi Yudisial (KY) bidang Pengawasan Hakim, Suparman Marzuki, mengatakan bisa saja mereka berkelit UU terbaru efektifnya pada 2014. Tetapi hakim dalam memutus suatu perkara tidak boleh kacamata kuda. "Ini yang diadili anak.
Ada persepetktif-perspektif seperti hak asasi manusia, hak anak, yang harus dia perhatkan. Dari sudut ini hakim setempat tidak perhatikan," ujarnya saat dihubungi, Jumat (7/6).
Selain itu, kata Suparman, MK sudah batalkan ketentuan lama dari usia 8 tahun batasannya menjadi 12 tahun dan itu wajib dipatuhi. "Semangatnya (MK) untuk diperhatikan dan diberlakukan secepat mungkin harus diterapkan. Maka boleh jadi dia tidak mengerti kalau ada putusan MK. Kalau dia tidak tahu ini kan fatal," tegasnya.
Tidak ada alasan bagi penegak hukum tidak mengetahui putusan MK tersebut. Meskipun, menurut Suparman, bisa saja hakim itu tahu tetapi tidak peduli dengan perkembangan hukum. "Oleh karena itu kita akan minta putusannya, daftar pertimbangannya apa," ucapnya.
Kalau memang ada indikasi pelanggaran, menurutnya, hakim itu bisa saja dikategorikan melakukan pelanggaran unprofesional conduct atau tindakan profesional. "Tidak profesionanlnya itu sebagai hakim. Putusan itu tidak bisa kita batalkan, tetap berjalan dan harus kami hormati. Tapi dia harus bertanggungjawab," pastinya.
Bentuk pertanggungjawabannya itu lah yang akan ditelusuri KY dari putusan dan wawancara kepada hakim terkait. "Setiap hakim harus responsif dengan kesalahan hukum karena tentukan nasib orang, nyawa orang, harta orang. Tidak bisa dia putus berdasarkan undang undang yang tidak berlaku," paparnya. (gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aniaya Pramugari Bukti Mental Pejabat Ogah Ditegur
Redaktur : Tim Redaksi