Laboratorium Klinik Cito Buka Layanan Pemeriksaan Farmakogenomik, Sebegini Biayanya

Minggu, 17 Juli 2022 – 22:12 WIB
CEO Laboratorium Klinik Cito dr Haryadi Ibnu Junaedi memperkenalkan layanan terbarunya berupa pemeriksaan farmakogenomik. Foto: Dokumentasi Laboratorium Klinik Cito

jpnn.com, SEMARANG - Laboratorium Klinik Cito memperkenalkan layanan terbarunya untuk pemeriksaan farmakogenomik.

Farmakogenomik merupakan bentuk pengobatan informasi gen atau protein untuk mencegah, mendiagnosis atau mengobati penyakit.

BACA JUGA: Cegah Penyakit Kronis, TNI AL Gandeng Laboratorium Cito-BPJS

Tak hanya itu, CEO Laboratorium Klinik CITO dokter Haryadi Ibnu Junaedi SpB menjelaskan farmakogenomik merupakan contoh penting dalam bidang precision medicine yang bertujuan menyesuaikan tata laksana medis untuk setiap orang atau sekelompok orang, dan melihat DNA mempengaruhi cara merespons obat.

"Dalam beberapa kasus, DNA dapat mempengaruhi apakah memiliki reaksi buruk terhadap obat atau apakah obat itu membantu atau tidak," kata dr Haryadi.

BACA JUGA: Waspadai Penyakit Autoimun, Kenali Gejalanya, Ternyata

Pemeriksaan farmakogenomik yang menjadi layanan terbaru pada laboratorium yang berdiri sejak 10 April 1967 dan telah memiliki 21 cabang di Indonesia juga bermanfaat untuk mengetahui obat yang tepat dan aman untuk dikonsumsi.

Pemeriksaan ini juga membantu dokter dalam menemukan obat yang paling cocok untuk pasiennya.

Dokter Haryadi menjelaskan berdasarkan sifat fisiknya, secara antropologis, manusia digolongkan dalam berbagai suku dan ras.

Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi badan, dan sebagainya.

"Secara genomik, perbedaan-perbedaan morfologis tersebut disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap perbedaan fenotipe dari masing-masing etnik tersebut," terangnya.

Lebih lanjut dr Haryadi menerangkan varian DNA baru yang saat ini lebih banyak dipakai sebagai penanda (marker) disebut sebagai single nucleotide polymorphisms (SNPs).

SNPs terjadi bila satu jenis nukleotida dalam posisi tertentu tersubstitusi dengan jenis nukleotida lainnya pada individu lain.

"Sebagian besar perbedaan manusia dipengaruhi oleh adanya perbedaan SNPs yang terjadi pada genomnya, dan berhubungan dengan jenis penyakit tertentu ataupun respons tubuhnya terhadap penggunaan obat," jelasnya.

Beberapa SNPs yang berada pada lokasi non-coding regions, lanjutnya, ternyata juga dapat mempengaruhi stabilitas mRNA dan kecepatan transkripsinya. Perbedaan sekecil apapun dapat mempengaruhi fungsinya.

"Oleh sebab itu dapat diduga bahwa perubahan dalam struktur dan fungsi protein yang menjadi target kerja obat akan mempengaruhi respon obat dalam tubuh," ujarnya.

Menurutnya, beberapa gen yang bertanggungjawab sandi ekspresi dari enzim-enzim metabolisme obat, yaitu CYP2C19, CYP2D6, CYP2C9, dan SLCO1B1.

Variasi struktur dan fungsi dari enzim-enzim tersebut dapat menyebabkan meningkatnya efek samping dari berbagai jenis obat.

"Hingga 70 persen dari reaksi obat yang merugikan ini memiliki hubungan genetik yang tinggi, yang berarti bahwa bahaya tersebut dapat dengan mudah dihindari dengan pengujian genetik," ungkapnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Laboratorium Klinik CITO menghasilkan produk terbaru farmakogenomik yang tujuannya untuk memilih obat yang tepat terhadap individu (personalized medicine) berdasarkan profil genetik, sehingga tidak ditemukan kembali adanya ADR.

"Produk tersebut kami beri nama 'CitoGen Pharmaco-Gx'," sebutnya.

Produk itu, kata dr Haryadi, juga dianalisis menggunakan software berbasis genetik yang menggunakan bioinfomatika ras Asia.

Software ini berfungsi mengumpulkan dan menganalisis data yang dihasilkan dari staf Laboratorium Klinik Cito.

"Hasil dari pemeriksaan produk ini juga terdapat rekomendasi-rekomendasi yang akan membantu dokter untuk memberikan obat yang sesuai untuk pasiennya," paparnya.

Laboratorium Klinik Cito menyediakan 10 panel pemeriksaan.

Panel yang paling lengkap mencakup lebih 160 jenis obat, yang hasil pemeriksaannya akan membantu dokter untuk memberikan obat yang cocok untuk pasiennya dengan menganalisis empat gen yang paling sering menyebabkan reaksi obat yang merugikan.

Setelah menerima hasil, pasien dapat berkonsultasi kepada dokter keluarga atau dokter yang menangani penyakitnya selama ini.

Jika pasien mengikuti medical check-up di Lab Cito, dapat berkonsultasi ke dokter spesialis farmakologi klinik secara virtual atau dokter medical check-up Cito secara offline.

Sementara, untuk melakukan pemeriksaan Farmakogenomik, biaya yang dikeluarkan mulai dari Rp 1,7 juta-2 juta untuk kategori per penyakit, misalnya diabetes mellitus, hipertensi, antikolesterol, terapi antitrombosit, beta blocker, tamoxifen, PPI (obat yang menghambat asam lambung), NSID (antiinflamasi nonsteroid atau kelompok obat yang digunakan untuk mengurangi peradangan, meredakan nyeri, dan menurunkan demam) dan lain-lain.

Sedangkan bila ingin mendapatkan data base untuk 160 lebih jenis obat (termasuk obat-obatan seperti di atas), dapat mengikuti pemeriksaan Ready Rx , maka cukup dengan biaya Rp 2,5 juta saja.

Adapun yang bisa melakukan pemeriksaan tersebut, yaitu pasien peserta medical check-up dapat mengikuti Ready Rx yang cukup lengkap, sehingga pasien memiliki data base respon terhadap terapi berdasarkan genetik masing-masing.

“Selain itu, untuk pasien yang menderita penyakit kronis, seperti terapi hipertensi, DM, penyakit jantung, gastritis dan lain-lain juga perlu mengikuti pemeriksaan ini karena akan menggunakan obat-obatan dalam jangka panjang,” pungkas dr Haryadi. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler