Laduni Dinyatakan Aliran Sesat

Kamis, 13 September 2012 – 13:09 WIB
MEULABOH-- Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Barat, Rabu (12/9), menyatakan Laduni adalah aliran sesat. Keputusan tersebut dikeluarkan dengan Nomor 451.7/51/MPU-AB/2012, usai melakukan kajian mendalam selama beberapa hari.

“Aliran Laduni telah menyimpang dan sesat dari ajaran islam yang murni. Sehingga perlu ditaubatkan serta disyahadatkan kembali,” demikian kata Ketua MPU Aceh Barat, Tgk. H. Abdul Rani Adian, di aula kantornya.

Melihat hasil kajian itu, MPU Aceh Barat merekomendasikan Pemerintah setempat untuk melarang kegiatan beragama jama’ah Laduni, dan tidak memberi peluang berkembangnya ajaran sesat tersebut di tengah masyarakat Bumi Teuku Umar. Juga dilakukan pembinaan secara mendalam kepada jama’ah Laduni, sampai batas waktu yang dianggap memadai.

Sedangkan adanya salah seorang Jama’ah laduni yang berstatus guru, atau PNS, Abdul Rani meminta Pemerintah Aceh Barat agar mengnonaktifkan Bakhtiar dari statusnya sebagai guru pengajar di salah satu sekolah di Kabupaten Aceh Barat.

Kalangan ulama ini, juga mengharapkan pihak Kepolisian setempat, untuk terus mengusut keberadaan aliran Laduni ini hingga tuntas. Apakah aliran ini hasil bentukan di Aceh Barat atau aliran yang sengaja dimasukan dari luar Aceh? Sebab, informasi yang diperoleh Abdul Rani dari kakak kandung salah seorang jama’ah Laduni, kalau adiknya sering  ke  Jawa  dengan mengunakan biaya dari Malaysia. “Kakak seorang pengikut Laduni pernah melarang adiknya untuk PP Aceh – Jawa, tapi adiknya (Jama’ah Laduni) mengakui kalau ia memiliki uang dari Malaysia,” detail Ketua MPU Aceh Barat.

Fatwa sesat ini, diharapkan Abdul Rani, dapat dilanjutkan oleh MPU Provinsi Aceh untuk diberlakukan bagi seluruh daerah Serambi Mekkah (wilayah Aceh). Karena, dari dua puluh jama’ah Laduni yang diamankan di Mapolres Aceh Barat, dinilai merupakan perwakilan dari daerah Aceh. “Saya khawatir, dari dua puluh jama’ah laduni itu, merupakan perwakilan dari daerah yang telah memiliki pengikutnya, karena ada yang dari Aceh Timur, Abdya, dan beberapa daerah lainnya,” jelasnya.  

Buku atau kitab berjudul “Hakekat Insani”, yang selama ini menjadi pedoman aliran Laduni dalam beribadah, harus dilarang beredar di daerah Aceh, karena sangat berbahaya keberadaannya di tengah masyarakat awam.“Buku-buku yang selama ini menjadi pegangan aliran Laduni, tidak sesuai dengan nilai akademis, sehingga sebagian materi  yang ada di dalam buku tersebut dapat berpeluang salah tafsir bila dikonsumsi oleh masyarakat,” perjelasnya.

Kapolres Aceh Barat, AKBP Artanto SIK, mengaku jajarannya terus intensif menelusuri jejak aliran Laduni di wilayah hukumnya. Namun, baru sebatas mengumpulkan informasi tentang kecurigaan dari sejumlah pihak, tapi belum mampu mengumpulkan sejumlah bukti keterlibatan pihak luar Aceh, terutama Malaysia, terkait keberadaan aliran Laduni ini.”Memang benar beredar di tengah masyarakat, kalau aliran laduni ini merupakan aliran yang dimasukan pihak luar, tapi sampai sekarang kami belum mengumpulkan bukti konkrit terkait kebenaran itu,” jawabnya.

Terkait sanksi hukum bagi dua puluhan kalangan jama’ah Laduni ini, Artanto mengaku, belum bisa memberikan tindakan hukuman tegas sesuai regulasi Penetapan Presiden RI (PNPS) Nomor 1  Tahun 1965 tetang pencegahan penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Sebab, kedua puluhan jama’ah Laduni ini masih dalam pembinaan dari sejumlah Ulama di Aceh. Namun, jika telah dikembalikan ke tengah masyarakat, tapi kembali mengulangi penyalahgunaan dan penodaan agama itu, maka baru dapat diberikan sanksi tegas berupa kurungan selama lima tahun penjara.     

Sementara dua orang perwakilan kelompok aliran Laduni yang sedang diamankan di Mapolres Aceh Barat ini, yakni Zubaidi (wakil kelompok Laduni) Abu Bakar (anggota Laduni), mengaku khilaf, sehingga tersesat. Dengan tulus, Zubaidi, meminta mohon maaf yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Kabupaten Aceh Barat. “Kami meminta maaf dengan masyarakat Aceh. Dan kami berjanji tidak akan mengulang kembali perbuatan kami. Kami mengakui telah khilaf karena ilmu agama kami masih sangat minim, sehingga dapat terjerumus dalam kebodohan,” ujarnya.

Insaf ini, bilang Zaubaidi, usai mereka mendapat tausiah dan bimbingan dari kalangan ulama di Aceh, sebanyak 25 kali. Sehingga kecerdasan dan kedewasaan mampu mengembalikan kami kepada ajaran Allah yang sebenarnya. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Datang jika Rumah Sudah Dirobohkan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler