jpnn.com - DEPOK - Kelompok tani di Kota Depok mulai merasa resah melihat perkembangan pembangunan perumahan belakangan ini. Pasalnya, ribuan hektar lahan sawah yang ada di kota satelit Jakarta itu mulai tergerus oleh perumahan yang makin menjamur.
Ketua Kelompok Tani Kota Depok Yusminar Aridin mengatakan, pihaknya ingin pemerintah segera menentukan titik batas zona perumahan. Jika tidak, dampaknya akan sangat buruk bagi petani.
BACA JUGA: Tragis, Ratusan Anak di Bekasi Menderita Gizi Buruk
”Harus bisa diterapkan, acuannya Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Petani sekarang sudah tidak dapat melakukan masa tanam, karena saluran air sudah tak ada lagi. Harus ada penentuan titik lokasi mana yang dapat dibangun perumahan dan mana yang tidak," katanya kepada INDOPOS saat dikonfirmasi kemarin, Minggu (31/01).
Data Kelompok Tani Depok menyebutkan, sat berpisah dari Kabupaten Bogor 15 tahun lalu, jumlah lahan pertanian di Depok mencapai 700 hektar. Namun, kini jumlah lahan produktif itu mulai menyusut hingga tersis 164 hektar.
BACA JUGA: Waspada, 34 Kelurahan Terancam Banjir
Kini banyak petani yang tersisa pun tidak bisa menanam lantaran saluran irigasi mereka terpotong pembangunan rumah. ”Kalau pun ada sekarang hanya penyiraman saja. Padi sudah tidak berani kami tanam, karena irigasi tidak ada. Yang masih bertahan sekarang itu hanya petani sayur dan buah saja,” ujar Yusminar.
Lebih jauh, Yusminar menyebutkan, selama kurun waktu 5 tahun satu persatu pertani terpaksa menjual lahan pertanian mereka ke investor perumahan. Itu dilakukan karena lahan yang ada tidak lagi produktif akibat saluran irigasi hilang. Karena itu, Yusminar pun memprediksi pada 2020 mendatang lahan pertanian di kota berikon belimbing ini hilang.
BACA JUGA: Gara-Gara Wanita, Dua Pria Nyaris Kehilangan Nyawa
Menanggapi itu, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Depok, Etty Suryahati mengaku, sulit mengimplementasikan UU No 41 Tahun 2009. Pasalnya syarat yang tertuang dalam UU tersebut tak dapat terpenuhi.
”Persoalannya Pemkot belum menetapkan wilayah pertanian dititik mana saja. Kami pun tidak dapat mengklaim lahan itu, karena kemauan petani menjual,” tutur mantan Sekertaris Daerah ini.
Etty pun menambahkan, saat ini pihaknya sedang melakukan kajian terhadap payung hukum itu bersama DPRD. Kajian itu kata dia dilakukan untuk membuat peraturan daerah dalam melindungi lahan pertanian. Distankan juga telah mengirimkan surat ke Kementerian Pertanian untuk membantu menyelesaikan hilangnya lahan produktif oleh laju pembangunan.
”Lahan yang bisa dilindungi, dan yang bisa dijadikan lahan LP2B itu persyaratan harus ada hamparan 25 Hektar. Disitu sulitnya dilapangan tidak bisa memenuhi. Kebijakan Pemerintah Depok kan di tata ruang hanya untuk ruang terbuka hijau,” pungkasnya. (cok/dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengamat Ingatkan Megawati tak Termakan Trik Ahok
Redaktur : Tim Redaksi